Vote sebelum membaca :)))
.
.
Tangan putih itu merambat, menyentuh rahang kokoh kekasih hatinya. Menyalurkan rasa rindu yang tidak pernah usai, mendorongnya untuk memeluk lebih erat sebelum waktu kembali memisahkan. "Aku dengar kau bersama dengan sang putri."
Lucius berhenti mengelus rambut Nara, dia membalas tatapan manik cokelat belahan jiwanya. "Ya, dia bersamaku."
"Hmmmm...?"
Lucius terkekeh. "Apa yang kau pikirkan?"
"Kau bersamanya?" Nara menggoda, dengan nada bicara dan tatapan jahilnya. "Semalaman?"
"Kau tahu untuk apa aku melakukan itu."
Hening sesaat, Lucius tidak bisa menghitung kapan mereka terakhir bersama. Begitu Panjang waktu yang dilewati hanya untuk beberapa jam, semua pertarungan yang dilakukan Lucius semata-mata hanya untuk Nara. Iblis lemah yang bahkan tidak bisa menghidupi dirinya sendiri, tanpa kekuatan dari sang raja, maka mereka semua akan musnah. Menahan Nara adalah alasan kuat Lucius berambisi membunuh bangsa duyung, mendapatkan kristal dan hidup bersama dengan Nara.
Terpikir untuknya melawan Lucifer, tapi kekuatan Lucius belum sebanding dengannya. Entah jika detik ini. Meskipun kekuatan mereka kini imbang, Lucius tetap pada pendiriannya, ambisinya lebih besar ketika mengetahui kekuatan kristal yang bisa membunuh para dewa. Sayang, hanya Lucifer yang mengetahuinya, tidak dengan kedua saudarnya.
"Aku dengar kau tidur bersamanya."
"Ayolah, Nara, wajahmu yang terbayang dalam pikiranku."
Percakapan itu membuat Nara sedikit kesal, dia berdiri dari pangkuan Lucius, melangkah mendekati jendela, menatap sungai hitam yang ada di bawahnya. Sesekali sungai itu mengeluarkan udara dari dalamnya, begitu kental dan menjijikan untuk yang pertama kali melihat.
Nara merasakan Lucius memeluknya dari belakang. "Saat dia mempercayaiku, aku akan langsung merengut jantungnya."
"Bisakah kau melakukannya pada makhluk secantik itu?"
"Apapun demi dirimu," ucapnya mengecup ujung kepala Nara.
"Kau tahu apa yang aku lewati demi bisa bersamamu, Lucius."
"Itu akan segera berakhir, tenanglah, aku akan membawamu bersamaku."
Nara mengusap tangan Lucius yang memeluknya, bersandar pada dada bidang yang selalu memujanya. Selama beberapa detik tangan kokoh itu memainkan surai indahnya, pelan dan membuat Nara nyaman, apalagi ketika Lucius mencium lehernya. "Bertahanlah sedikit lagi, begitu mantra yang melindungi jantungnya hilang, aku akan membunuhnya."
Nara tersenyum kecil. "Aku akan menantimu sampai kapanpun, kau adalah hidupku."
Hingga detik-detik itu akhirnya muncul, dimana tubuh Nara menjadi debu, mulai hilang menyerupai udara. Lucius menatap tangannya, rasanya sesak ditinggalkan oleh sosok itu. Kehangatan yang didapatkannya hilang begitu saja, Nara telah pergi, waktu untuk kebersamaan mereka telah habis.
Meskipun begitu, Lucius masih enggan beranjak dari sana. Setidaknya dia masih bisa merasakan sisa-sisa peninggalan Nara yang memenuhi pikiran dan hatinya. Tatapannya kosong, tapi tangannya mengepal menyalurkan rasa marah pada Lucifer. Hingga Lucius mendengar suara pintu terbuka, Harsha masuk dengan langkah pelan.
"Bukankah kau seharusnya kembali ke istanamu? Wanita itu menunggumu."
"Biarkan dia mendapat pelajaran."
Harsha terkekeh. "Dia berniat membunuhmu?"
"Aku akan membunuhnya lebih dulu." Lucius tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya, dengan tatapan yang sama. "Akan aku bunuh dia hingga Nara bisa kembali ke pelukanku."
"Lucius.." Harsha ikut berdiri di samping pria itu. "Kau yakin Nara wanita tepat untukmu?"
Pertanyaan yang seketika membuat Lucius membalas tatapan wanita berpakaian ungu itu. "Kenapa? Kau pikir Nara tidak pantas untukku?"
"Aku hanya berpikir, kau sangat manis pada Lumina, jadi aku pikir kau menyukainya."
Pria itu terkekeh. "Tidak ada yang bisa menggantikan Nara. Akan aku lakukan apa saja untuk bisa bersamanya."
***
Lumina tetap terjaga, waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Dia tetap duduk di dekat jendela, mengharapkan malaikat bersayapnya datang menghampiri. Namun, hanya angin yang membelai, menyapu wajah cantiknya. Lumina menyesal telah melakukan hal bodoh, dia ingin Lucius kembali padanya, perasaannya tidak bisa hilang begitu saja.
"Kemana kau pergi, Lucius? Kenapa meninggalkanku seperti ini?" bertanya pada angina yang mendinginkan tubuh. "kembalilah, maafkan aku."
Suara ketukan pintu menyadarkannya, Lumina yang berpikir itu Lucius segera membukanya dengan cepat. Raut wajah senangnya hilang saat melihat dibalik pintu itu adalah Dorothy. "Dorothy, kenapa malam-malam begini kau kemari?"
"Aku ingin menyampaikan pesan dari Tuan Lucius."
"Lucius?" Wajahnya sumringah seketika. "Dimana dia?"
"Tuan ada di bawah, dekat perapian, dia ingin kau datang ke sana."
Tanpa berkata apapun lagi, Lumina segera berlari menuruni tangga, melewati lorong hingga akhirnya sampai di tempat yang dimaksud. Di sana, Lumina melihat seorang pria tengah duduk mengadap perapian, bayangannya memperlihatkan wajah yang tampan, yang Lumina rindukan.
Dia segera mendekat, Lumina duduk bersimpuh di bawah kaki Lucius, tangannya menggenggam Lucius yang tengah memejamkan mata. Lumina pikir Lucius tengah tertidur, membuatnya merebahkan kepala di pangkuan pria itu, dan meletakan tangannya di antara rambut indahnya.
Tanpa diduga, tangan kekar itu bergerak, membuat Lumina memandangnya seketika. "Kau tidak tidur?"
"Bagaimana aku bisa tidur jika kau ingin membunuhku."
"Lucius, maafkan aku, aku mohon, aku tidak bermaksud begitu. Kau tahu, seperti..." Lumina benar-benar panic. "Seperti ada suara yang menyuruhku melakukannya, aku tidak menginginkan itu, tidak bermaksud seperti itu."
Lucius mengambil sesuatu dari balik sakunya, itu belati yang sama yang Lumina gunakan untuk menusuk jantung Lucius. "Bunuh aku jika kau menginginkannya."
"Tidak." Lumina menggeleng kuat, dia mengambil belati itu dan melemparnya asal. "Aku tidak ingin membunuhmu, percayalah padakku."
Manik biru itu berair, air matanya hampir saja menetes jika Lucius tidak menghapusnya. Lumina mengadah, meminta pengertian dari pria yang membuat perasaannya campur aduk. Mencoba menyampaikan pesan bahwa semua ini adalah kesalahan. "Aku tidak ingin membunuhmu, aku... aku mencintaimu."
Kalimat yang membuat Lucius berhenti mengelus pipi Lumina, dia menatapnya dengan manik hitamnya. Tanpa diduga, Lucius mencium bibir Lumina, membawanya duduk di pangkuannya. Pria itu memeluk pinggangnya dengan erat. "Katakan sekali lagi," pintanya tepat di depan bibir Lumina.
"Aku mencintaimu."
"Seberapa besar perasaan itu, Lumina?"
"Entah." Tatapannya menunduk. "Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."
Pria itu memegang dagu Lumina, mengarahkan agar dia menatapnya lagi. "Tetaplah seperti itu, Lumina, percaya padaku, maka kita akan baik-baik saja."
"Kau mencintaiku?"
"Aku memujamu, Lumina." Tangan kekarnya membelai pipi perempuan itu. "Hatiku milikmu, maka kau juga milikku!"
"Aaaaa!" Lumina menjerit tatkala Lucius menggendongnya seperti karung beras, pria itu membawanya menaiki tangga sambil berlari. Sesekali Lumina tertawa merasakan sensasi aneh, apalagi dia juga ketakutan jika terjatuh. "Lucius, turunkan aku!"
"Tidak akan!" pria itu malah memukul pantatnya kuat, membuat Lumina menjerit kembali. "Berhenti melakukannya, kau bisa membangunkan seluruh istana, Sayang."
****
LOVE,
IG : Alzena2108