Vote sebelum membaca :))
.
.
Malam itu, langit gelap, badai petir datang bersamaan dengan angin kencang. Mereka semua berpesta di tengah lautan, membangkitkan ombak untuk menerjang mereka yang mendekat.
Tepat pukul enam malam, pembantaian itu di mulai. Para iblis keluar dari neraka, mewarnai lautan dengan darah. Tanpa ampun, tanpa belas kasihan mereka menghunuskan senjata pada makhluk indah yang sering disebut dengan duyung. Kedamaian itu berubah menjadi bencana, ritual yang para duyung lakukan untuk menghormati leluhur yang telah meninggal, berbalik menjadi pesta kematian mereka semua.
Sang pemimpin, dengan api yang tidak pernah padam di tubuhnya mendekat pada sang ratu yang terikat oleh besi panas. Air tidak mampu mengalahkan api yang dibawa raja iblis beserta puteranya.
Taleena, nama wanita yang menitikan air matanya melihat air di sekitarnya berubah menjadi merah. "Hentikan ini! Apa yang kau inginkan?"
"Kau tahu apa yang aku inginkan, Yang Mulia." Sang Raja iblis menjawab, dia mendekat, mengusap pipi wanita cantik itu lalu berkata, "Sayang sekali, aku tidak bias melihat air matamu."
Sedetik setelahnya sayapnya membentang, mencekik sang ratu dan membawanya untuk menghirup udara. Wanita itu kehabisan napas, tidak ada air yang membantunya mendapat kekuatan lebih. Dan perlahan ekornya berubah menjadi kaki, membuat Lucifer menyeringai menyukai kelemahan lawannya. Dia memaksa Taleena menunduk. "Lihatlah lautan yang berubah menjadi darah, kau masih tidak ingin mengatakannya?"
"Makhluk sepertimu tidak akan pernah mendapatkannya."
Lucifer murka, dia mencekik semakin kuat hingga Taleena kehilangan kesadarannya. Dia melempar begitu saja tubuh itu ke dalam laut. Begitu Lucifer hendak membawanya untuk disiksa kembali, Taleena mengubah kakinya menjadi ekor lalu berenang menjauh dari pria iblis itu.
Memanfaatkan tenaga yang tersisa, dengan sekuat tenaga dia berhasil melarikan diri.
"Larilah, Taleena, anakku akan menemukanmu." Sang iblis kembali menyelam, menyeringai menatap warna merah yang lebih kental mewarnai.
"Bunuh mereka semua, Nak," ucapnya pada sang putra.
Hanya empat iblis yang keluar dari tempatnya, tapi mampu menghabisi hamper semua makhluk yang jumlahnya ribuan. Arcsull, meracuni air hingga mereka semua berhenti bernapas. Sarcnal dan Harsha membuat mereka saling membunuh. Lucius membakar mereka dalam api neraka. Berbeda dengan sang raja, dia hanya menatap melihat sebagian dari duyung itu melarikan diri. Mengganti ekor mereka dengan kaki dan berlari menuju permukaan, dengan luka yang tidak sedikit.
Begitu pula dengan wanita bermata biru yang berhasil menyelamatkan diri, dia naik ke permukaan dengan kakinya yang penuh luka. Dia terjatuh di atas pasir. Hingga merasakan seseorang membawanya. Taleena membuka mata, mendapatkan seorang manusia yang menolongnya.
.
.
Mata biru itu terbuka seketika, ini mimpi yang pernah dia lihat saat masih kecil. Lumina memejamkan mata, menutupi wajah dengan telapak tangannya. Berpikir kalua dirinya terlalu menyukai cerita tentang duyung hingga mendapatkan mimpi itu.
Lumina mengerutkan kening mengingat kembali mimpinya, baru tersadar ada Lucius dalam mimpinya.
"Mengapa kau terbangun?"
"Aku baru saja mengalami mimpi," jawabnya gugup begitu Lucius masuk ke dalam kamar. Dia menatap laci di dekat ranjang, tempat di mana Lumina menyimpan pisau putih yang diberikan wanita aneh tadi.
"Apa yang kau pikirkan?"
Matanya terpejam merasakan sentuhan lembut Lucius pada pipinya, pria itu duduk di ranjang, menariknya hingga Lumina duduk di pangkuannya. "Apa yang kau mimpikan?"
"Kenapa kau menyukaiku, Signore?"
"Lumina, kenapa kau sangat suka bertanya seperti itu? Lihat matamu yang begitu indah, bibirmu yang ranum membuatku gila."
"Aku hanya manusia biasa, berbeda denganmu."
Tatapan Lucius mulai terlihat serius ketika mendapatkan Lumina yang menatapnya penuh keraguan. "Aku malaikat yang dikirim untuk menjagamu 'kan? Kau yang mengatakannya."
"Ya, dan aku masih mencari tahu kau melindungiku dari apa," gumamnya memalingkan wajah.
Lucius kembali membawa tatapan itu untuk membalasnya. "Katakan yang ada dalam otakmu."
"Aku baru saja bermimpi."
"Lalu?"
"Mimpi itu selalu datang ketika aku masih kecil, dan sekarang dia kembali menyerang otakku." Mengusap leher Lucius sebelum dirinya melanjutkan. "Aku sangat suka dengan cerita-cerita putri duyung, aku rasa itu alasan aku memimpikannya."
"Ceritakan lebih jauh."
Lumina menahan napasnya begitu Lucius menciumnya dalam. "Mungkin aku memimpikan itu karena teman-temanku mengatakan duyung itu hanya mitos saat aku kecil."
"Aku ingin mendengar mimpimu, Lumina." Mengusap bibir ranum perempuan itu, menyingkirkan anak rambut yang menutupi leher sebelum memberinya kecupan. "Katakan."
"Aku bermimpi tentang pembantaian besar, di tengah laut dalam pusaran badai."
"Katakan lebih jelas." Masih menciumi leher Lumina.
"Aku melihatmu dalam mimpiku, kau yang membantai mereka semua."
Keterdiaman Lucius membuat Lumina melanjutkan. "Mungkin karena aku suka makhluk mitos itu dan agak takut saat pertama bertemu denganmu. Jadi....," ucapan Lumina sepertinya diabaikan. Membuat pemilik mata biru itu merangkup wajah Lucius yang terlihat berpikir. "Ada apa?"
"Tidak ada, hanya aku tidak menyukai mahluk itu," ucapnya menurunkan Lumina ke atas ranjang.
Tangannya menahan Lucius yang hendak pergi. "Apa duyung itu nyata?"
Tidak ada jawaban dari pemilik mata hitam itu, dia berdiri menatap keluar jendela yang sudah memperlihatkan langit malam. Lumina tidak bias membohongi dirinya sendiri, dia menyukai pria itu. "Maaf, aku tidak akan membahasnya lagi jika kau tidak suka."
"Apa lagi yang mengganggu pikiranmu?"
Dengan ragu dia menjawab, "Kau bilang akan melindungiku, tapi dari apa?"
"Bagaimana nenekmu memberitahumu?" Dia berbalik, menyandarkan punggung pada tembok dengan tangan terlipat.
"Nenek bilang kau akan melindungiku dari segala hal."
Lucius berjongkok, dia menggenggam tangan Lumina. "Maka percayalah pada hal itu, aku melindungimu," ucapnya perlahan mengangkat kaos yang dikenakan Lumina.
Peempuan itu mengerutkan keningnya. "Apa yang hendak kau lakukan, Signore? Aaakkhh!" Lumina menjerit begitu Lucius memasukan kepalanya ke dalam kaos, membuat Lumina kegelian mendapatkan ciuman bertubi-tubi pada perutnya.
***
Rasa geli di perutnya membuat pemilik mata biru itu terjaga, dia menatap pria yang tengah terpejam begitu damai. Lumina mengusap pipinya sebelum beranjak menuju kamar mandi. Menggunakan kaos kebesaran milik Lucius untuk menutupi tubuhnya.
Dia menatap pantulan dirinya dalam cermin, wajahnya begitu kusut, bibirnya bengkak dengan leher yang penuh dengan kissmark. Memikirkannya membuat Lumina malu sendiri. Dia mencuci wajah, menghilangkan rasa kantuk.
Lumina tersentak seketika ketiga mengangkat wajah, dalam cermin itu pantulan dirinya berbeda dengan apa yang sedang dilakukannya. Tangannya gementar ketika melihat dirinya sendiri tersenyum menakutkan, persis seperti wanita kemarin.
"Kenapa kau tidak membunuhnya?"
"Apa yang kau maksud? Siapa dirimu?" Lumina mencoba menenangkan napasnya.
"Kau melihat dengan jelas mimpi itu, kenapa kau tidak mendengarkan?"
Perlahan kabut memenuhi bagian dalam cermin, sosok itu berubah menjadi wanita yang kemarin dia temui. "Kau tidak tahu siapa dirimu sendiri, tidak ada penjelasan kenapa air menenangkanmu, kenapa jantungmu selalu memberi petunjuk, dan mengapa pangeran iblis itu bersamamu."
"Dia malaikat, bukan iblis."
Wanita itu tertawa. "Kau masuk lebih dalam, itu jebakan!"
"Kau iblis, dan dia malaikat."
"Tusuk jantungnya, maka kau akan tahu kebenarannya."
Dan sosok itu menghilang, membuat Lumina mengusap wajah dan bergegas keluar dari kamar mandi. Dirinya duduk beberapa saat di atas ranjang, sesekali menatap Lucius yang tertidur nyenyak. Menepis godaan untuk melakukan hal salah. Lucius adalah malaikat, dia menolong banyak anak, dia yang melindunginya, juga pria yang diceritakan neneknya.
Namun, ada sesuatu yang tidak bias dia bohongi bahwa dirinya juga penasarn dengan siapa dirinya sebenarnya. Hidup tanpa orangtua, mengalami hal-hal aneh hingga malaikat dating padanya.
Dalam keadaan setengah sadar, Lumina mengambil pisau itu dari laci. Seakan ada mantra yang membisikinya, matanya berubah menjadi abu bersamaan dengan asap yang dating tiba-tiba.
Pisau itu digenggamnya, siap dia tancapkan pada jantung Lucius.
Ketika Lumina mengangkat tangannya, pria itu membuka mata hitamnya. Membuat Lumina tersadar seketika dengan apa yang sedang dilakukannya.
"Si.... Signore..."
Lucius melempar pisau itu seketika, dia menatap tajam Lumina dengan tangan menggenggam kuat pergelangan perempuan itu. "Apa yang sedang kau lakukan?"
****
Love,
Ig : Alzena2108