Vote sebelum membaca :))
.
.
"Aku benar-benar diluar kendali, aku tidak tahu apa yang terjadi," mencoba menjelaskan dengan raut wajah penuh penyesalan.
Pria bermanik hitam itu tidak menghiraukannya, menulikan telinganya seakan menahan geram dan amarah untuk menghabisinya dengan api. Tangan Lucius yang mengepal dia sembunyikan dalam selimut, berharap iblis dalam dirinya bersabar untuk waktu yang masih lama.
Lumina tidak mempercayainya, dan itu karena penyihir yang masuk ke dalam otak dan meracuni pikirannya. Tidak akan Lucius biarkan hal itu terjadi, dia berdiri dan menjatuhkan diri dari jendela. Lumina meneriaki Namanya meminta kembali, bersamaan dengan sayapnya yang membentang melawan gravitasi.
Pikirnya, Lucius begitu marah padanya hingga dia pergi meninggalkan. Sedangkan bukan itu yang ada dalam pikiran Lucius, dia hanya ingin menyingkirkan semua hambatan yang membuat Lumina ragu untuk mencintainya, mempercayainya.
Kesalahpahaman itu membawa malapetaka bagi Lumina, dia membenci keadaan hingga melemparkan pisau itu keluar jendela. Tanpa diketahuinya pisau itulah yang seharusnya mengungkap kebenaran, memberinya jalan yang tepat dan terlepas dari para iblis yang menjebaknya.
Lumina menangis. Ini pertama kalinya dia mendapatkan kasih saying, pertama kalinya hatinya berlabuh pada seseorag yang dia anggap malaikatnya. Keadaan menjadi kacau, Lumina sendiri tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Dia ingin semuanya baik-baik saja, itu sebabnya dia keluar kamar dan berniat mencari Lucius. Tempat pertama yang dia ingat adalah danau dibelakang lembah.
Namun, di saat dirinya menuruni tangga, Lumina melihat para pelayan itu berjajar dengan rapi menghalangi pintu utama. Mata mereka terjaga, dengan wajah tanpa ekspresi yang membuat Lumina berusaha menelan ketakutannya. Mereka iblis, dan Lumina harus menemukan malaikatnya apapun yang dia lewati.
"Ini sudah malam, Nona. Kembalilah ke kamar," ucap mereka bersamaan, tatapan kedelapan pelayan itu tertuju padanya. "Bergegaslah."
"Aku harus menemukan Lucius."
"Kembalilah," ucap mereka bersamaan sambil maju selangkah memberi ketakutan lebih besar.
Lumina tetap pada pendiriannya, dia ingin menemui Lucius, lumina tengah melabuhkan hatinya pada pria itu, apapun yang menghalangi akan coba dia lewati. Luciusnya, itu adalah kesalahannya.
Kembali melangkah bersamaan dengan kata yang sama, "Kembalilah."
"Lumina." Perempuan itu mengalihkan pandangannya mendengar seseorang memanggil Namanya. Michelle yang membawa segelas air itu mendekat. "Kenapa kau di sini?"
"Mereka—" ucapannya terhenti ketika Lumina tidak mendapati siapapun di pintu depan, mereka hilang. "Mereka berada di sini sebelumnya."
"Ayolah, kau harus kembali ke kamarmu."
"Tidak." Lumina melepaskan tangan Michelle, mendekat ke arah pintu mencoba membukanya. "Ini terkunci."
"Ayolah, aku antar kau ke kamarmu."
"Aku harus keluar," ucapnya dengan penuh beban. "Tolong bantu aku."
"Tidak boleh ada yang keluar pada jam seperti ini."
"Aku pernah keluar pada jam ini saat bekerja dulu."
Tangan Michelle kembali menggenggamnya. "Aku pernah lihat makhluk aneh di jam seperti ini," bisiknya memperingati. "Istana ini dikelilingi iblis, Lumina."
Tentu saja pemilik mata biru itu tidak terkejut sama sekali, tidak ada perubahan raut wajahnya yang panik. Bahkan dirinya pernah bertemu yang lebih mengejutkan dari iblis.
"Tuan Lucius akan marah jika kau pergi."
"Apa yang kalian lakukan?"
Sebuah suara yang kali ini sangat mereka kenal, membuat Michelle memejamkan matanya ketakutan. Dia menjelaskannya sesaat sebelum diperintahkan pergi oleh Dorothy. Wanita tua itu menatap Lumina yang memalingkan wajah. "Sebaiknya kau kembali ke kamarmu."
"Aku harus menemui Lucius."
"Dan sebaiknya kau mempersiapkan diri jika dia kembali nanti daripada menyusul dan semakin membuatnya marah."
Lumina terdiam, menatap mata wanita tua itu penuh kekhawatiran. "Dia membenciku?"
"Tergantung kesalahan apa yang kau perbuat."
"Aku membuatnya membenciku." Lumina mengusap wajahnya menahan air mata yang hampir jatuh. Dia duduk di sofa, menutupi wajahnya dengan tangan sebelum kembali menatap Dorothy dengan matanya yang memerah. "Apakah dia akan membenciku?"
"Apa kau mencintainya, Lumina?"
Terdiam sesaat sebelum menjawab dengan pelan, "Aku mungkin tidak pantas melakukannya, tapi aku mencintainya."
Jawaban yang berhasil membuat Dorothy tersenyum lebar, begitu pula dengan beberapa pasang mata yang bersembunyi dalam gelap. Mereka tersenyum, menampakan gigi mereka dengan raut wajah yang begitu menakutkan.
***
Sepasang mata hitam itu membuka matanya begitu sang putra masuk melewati pintu api miliknya. Dalam wujud sesungguhnya, sang pangeran menutup sayapnya, tattoo dengan corak tidak beraturan merambat keluar menuju jemari tangan.
"Kau mengecewakanku, son."
"Aku bahkan tidak tahu penyihir itu akan berkhianat."
Lucifer berdiri, mengubah wujudnya menjadi sempurna, dengan jubah kebanggannya sebagai raja iblis. Alih-alih mendekat pada Lucius, pria itu berjalan mendekati jendela, menatap keadaan sekitar yang dipenuhi kabut. "Kau tahu—"
"Asmomeres dan Leviamoth tidak akan mengetahuinya."
"Itu yang kita harapkan. Saudaraku hanya tahu saat ajal mereka datang."
Lucius mengangguk mengerti. "Aku takkan mengecewakanmu, Father."
"Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau gagal."
Tangannya mengepal, menahan amarah yang ingin tersalurkan. Lucius dapat melihat pria itu tersenyum menyeringai merasakan kemarahannya.
Saat Lucifer mengatakan, "Aku mengeluarkannya, kau bisa menemuinya untuk sesaat." Amarah Lucius reda.
Tanpa berkata apapun lagi, dia membalikan badan dan keluar dari tempat itu. Langkah lebarnya membawa Lucius pada bagian sayap kanan istana, bagian gelap dan dihuni iblis yang bergelantungan, menunggu perintah sang raja untuk bisa memakan. Mereka iblis liar, dan seseorang yang Lucius cari ada di sana.
Begitu dia membuka ruangan di ujung lorong, hal yang pertama dia lihat adalah keberadaan Harsha yang sedang tertawa menatap ke luar jendela. Senyumannya semakin lebar mendapati kedatangan Lucius. "Prince."
"Where is she?"
"Who?"
Sebelum pria itu terbakar amarah, Harsha beringsut mundur sambal berkata, "Dia menuju kemari, tenanglah."
Lucius yang tidak sabaran berniat keluar dan mencarinya di ruangan lain, tapi perkataan Harsha menghentikan. "Kau masih mencintainya?"
Lucius terkekeh, dia berbalik membalas tatapan Harsha. "Jika tidak, aku tidak mungkin membantai semua duyung itu."
"Ya, aku hanya penasaran karena kau menghabiskan waktu lama Bersama Lumina."
"Kau tahu aku punya tujuan untuk itu, Harsha."
Begitu Lucius berbalik, seseorang membuka pintu. Membuat tubuh Lucius menegang dengan mata yang menatap tidak percaya.
Harsha segera mengerti. "Aku akan keluar," ucapnya disusul suara pintu tertutup.
Meninggalkan dua orang yang saling menatap tidak percaya. Ketika sang wanita menyentuh pipi Lucius pelan, pria itu memejamkan mata seolah merasakan hal yang begitu dia dambakan sejak lama.
"Lucius....." Begitu mata hitamnya terbuka, dia disambut senyuman dari wanita yang dia cintai, mengelus pipinya sebelum Lucius menciumnya dalam. Wanita itu bergumam kecil, "Aku merindukanmu."
Suara kekehan Lucius seakan hal biasa baginya. "Maafkan aku membuatmu tersiksa, Sayangku."
"Aku akan baik-baik saja jika hatimu masih bersamaku."
"Aku milikmu, Nara," ucapnya kembali mencium wanita itu.
Tidak semua iblis memiliki kekuatan besar, sebagian dari mereka dibawah kendali iblis lain. Dan itulah yang terjadi dengan Nara, kekasih hati Lucius yang dikurung Lucifer, disembunyikan darinya untuk menuntut kewajibannya sebagai seorang pangeran iblis. Bukan tanpa alasan Lucius melakukan semua kejahatan, termasuk menghapus darah duyung dari dunia dan mendapatkan kristal yang diciptakan Ares, itu semua demi wanita yang dicintainya.
"Kau milikku, Lucius."
***
LOVE,
IG : Alzena2108