Vote sebelum membaca😘
.
.
Tangan itu menelusuri leher sang pria, melihat jakunnya naik turun sebelum mengalihkan pandang pada dada bidangnya. Terdapat tattoo hitam, membentuk rupa abstrak namun terbantuk dengan indah. Lumina menyukai itu, tattonya sampai ke tangan kiri bagian atas, membuat pemilik otot kekar itu semakin mempesona. Kulitnya liat kecoklatan, membuat Lumina lebih liar daripada foto model pria yang dia temukan di belakang tempat laundry dulu.
"Aku mengamatimu sejak lama," ucap Lucius menghentikan gerakan tangan Lumina. "Muda, implusif, membuatku penasaran."
Kata-kata manis dari mulut Lucius berhasil membuat Lumina terlena, kehilangan rasa takut. Membuatnya terjebak dalam jebakan iblis. "Kau mematahkan hatiku saat menganggap bayangku hanya mimpi. Aku di sini, mengagumimu."
"Sejak kapan?"
"Sejak mata indahmu menatapku, membuatku gila hingga ingin menghancurkan kau yang membuatku tidak berdaya." Mengangkat wajah Lumina, memberikan ciuman pada bibir mungilnya, meneroboskan lidah memuaskan hasrat iblisnya. "Dan aku lebih gila jika tidak memilikimu."
"Kau bilang ingin melindungiku, apa yang kau maksud?"
Mata mereka beradu, Lucius mengeratkan pelukan, merebahkan diri hingga Lumina berada di atasnya, menatap dengan mata langit yang begitu indah. Perempuan itu merapikan rambut panjangnya ke bagian kanan bahu hingga pandangan pada Lucius tidak terhalang apapun.
Pria itu memegang leher Lumina. "Kau itu special."
Hal yang membuat Lumina tertawa dalam hati, dia menyipitkan mata. "Apanya yang special?"
Tangan putih itu memukul dada Lucius ketika dia menarik selimut hingga dada Lumina hampir terlihat. Lucius meletakan tangannya di dada kiri Lumina, merasakan debaran jantung yang terbilang normal. Selain itu, tanpa Lumina ketahui Lucius sedang merasakan seberapa kuat pelindung itu bertahan dengan Lumina yang mulai mempercayainya. "Dalam sini, jantungmu selalu berdetak kencang jika ada sesuatu yang salah bukan?"
Seketika Lumina memasang wajah terkejut. "Aku ingat sekarang!" teriaknya menahan rasa senang, dia menyandar pada dada bidang Lucius, mendengarkan jantungnya. "Nenek yang merawatku mengatakan, akan ada seorang malaikat datang untuk melindungiku."
Telinga Lucius terpasang mendengarka desahan lega yang keluar dari mulut Lumina. "Malaikat kegelapan, yang bersembunyi dalam bayangan api. Hidup, tapi tidak berdetak. Itu yang nenek ceritakan tentangnya."
"I'm evil, Lumina." Membelai bibir ranum perempuan yang menatapnya. "Not an angel."
"No, you're not. Â
"But you here, with me. Kau bilang akan melindungiku 'kan? Kau bilang kau menyukaiku, kau mengatakan aku special."
"Berpikirlah sesukamu." Lucius memindahkan tubuh Lumina ke bagian ranjang yang kosong. "Apapun itu, I will be there for you."
Tangannya menahan Lucius yang hendak beranjak dari ranjang. "Kau akan melindungiku bukan?"
"I'm your angel. Jika itu membuatmu senang." Memberikan ciuman dalam sebelum masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Lumina yang tersenyum menahan rasa senang. Nenek yang merawatnya sampai umur lima tahun memang mengatakannya, dia dilahirkan untuk membuat malaikat kegelapan memiliki sesuatu untuk dilindungi. Semua pertanyaan pada benaknya, tentang penyakit jantug yang Lumina kira derita tidak bisa dijelaskan secara medis, inilah jawabannya.
Neneknya tidak gila, malaikat itu ada, meskipun menakutkan pada awalnya. Pria pertama yang membuat Lumina ketakutan, berubah menjadi rasa suka hingga dia tidak bisa menjauh darinya. Mendapatkan tujuan hidupnya, bukan lagi sekedar rasa suka, melainkan berubah menjadi benih cinta untuk sang iblis.
Berbeda dengan Lucius, dia menatap dirinya sendiri dalam pantulan cermin. Membasuh wajahnya lalu menyeringai memperlihatkan mata hitamnya. 'Mangsa yang mudah,' gumamnya dalam pikiran.
Perkataannya omong kosong, Lucius melakukan itu untuk mendapatkan tujuan. Dirinya tahu, jika Lumina mulai mempercayainya, jika Lumina mulai mencintainya. Semakin cepat, semakin baik untuknya.
Hingga ruangan tempat Lucius berada tiba-tiba terbakar, menjadi debu dan berubah menjadi ruangan yang dipenuhi api, dengan seorang pria yang berdiri membelakangi Lucius.
"Father, kau mendengarnya?"
"Halsha tidak bisa menyembunyikan apapun dariku." Membalikan badan, mata hitam keduanya saling menatap. "Lakukan secepatnya, Lucius."
"Pelindungnya akan hilang begitu dia mempercayaiku sepenuhnya."
"Dan apa yang akan kau lakukan jika hari itu tiba?"
Tidak ada jawaban dari sang putra. "Kau akan melindunginya karena mulai menyukainya? Begitu?"
Keterdiaman Lucius membuat Lucifer murka, dia melemparkan api dari tangannya, yang seketika ditepis oleh pangeran kegelapan itu. Seluruh matanya berubah menjadi hitam, dia mendekat pada Lucifer dengan sayap dipenuhi api. "Aku akan merobek jantungnya, lalu membuang jasadnya pada iblis pemakan manusia. Akan aku buat semua keturunan duyung lenyap."
Lucifer tersenyum miring, dia menepuk leher bagian belakang Lucius hingga amarah putranya mereda. "Aku tahu kau akan melakukannya. Jangan kecewakan aku, anakku."
***
"Selamat, kau hampir menjual semua lukisanmu."
Mata hitam itu beralih pada seorang wanita yang sedang memegang anggur di tanganya, memutar anggur dalam gelas dan meminumnya sambil melemparkan tatapan balasan. "Dimana wanita itu?"
"Dia sedang pergi ke toilet."
"Berani sekali kau membawanya kemari, para iblis akan mencium senjata itu."
Lucius menyeringai. "Tidak, mantranya belum terbuka."
"Ya, tapi dia mulai mempercayaimu, dan kristalnya mulai tercium."
"Santailah, Halsha, aku iblis terkuat di sini," ucapnya meninggalkan wanita yang kini memandang lukisan danau bertaburan bintang. Sebelum kehilangan jejak Lucius, Halsha memperhatikan pria yang tengah berbincang dengan seorang pria tua yang terlihat memujinya. Lucius nampak puas dengan hasil karyanya, lukisan yang dipamerkan menarik perhatian manusia-manusia berpengaruh.
Lalu beralih ketika seorang perempuan bergaun biru baru saja datang dari arah koridor, membersekan roknya sebelum melangkah mendekati Lucius. Kebersamaan mereka menarik para mata iblis, mencium aroma kuat dari tubuh perempuan berbadan mungil. Lucius benar-benar mencari bahaya, para iblis itu bisa saja kehilangan akal dan mencari tahu apa yang ada di dalam tubuh Lumina.
Sebelum itu terjadi dan menghancurkan rencana mereka, Harsha menatap Arcsull, meminta pria itu menyamarkan bau Lumina hingga mirip lumut, dan iblis yang ada di sana akan kehilangan konsentrasi, mengira Lumina iblis sejenis dengan Arcsull.
Terlihat jelas Lumina yang kesal dengan acara seperti ini, perempuan itu memilih menyingkir menuju tempat sepi, hatinya bergumam, 'Aku memilih tidur seharian di kamarnya.'
Mematikan rasa kesal itu, kakinya melihat-lihat lukisan buatan Lucius yang dipamerkan. Mereka begitu indah, terasa sangat hidup. Hingga langkahnya terhenti pada sebuah lukisan yang dinamakan, 'Bloody Night of the Queen.'
Entah mengapa lukisan itu seakan menyampaikan pesan sedihnya. Lukisan seorang wanita yang tenggelam dalam lautan darah, salah satu matanya bengkak. Lumina mengartikan wanita itu telah disiksa, dengan luka-luka di sepanjang tangannya. Kakinya tidak terlihat akibat lautan darah.
Tatapannya, kesedihannya terserap oleh Lumina. Dia seakan merasakan kesakitan wanita dalam lukisan itu, membuat air matanya jatuh tanpa dia sadari. 'Apa yang terjadi?' gumamnya dalam hati, menghapus air mata sebelum ada yang melihatnya.
"Sepertinya lukisan itu membuatmu terharu."
Mengalihkan pandangan pada seorang wanita yang berdiri di samping, sesaat Lumina tersenyum hingga akhirnya dia sadar pernah bertemu dengannya. "Kau… wanita yang itu?"
"Kenapa kau tidak menurut, Putri?"
Lumina terkekeh, mengusap tiara yang menghiasai kepalanya. "Aku bukan seorang putri, Nona. Permisi."
"Iblis itu menjebakmu."
Langkah Lumina terhenti, dia membalikan badan membiarkan wanita itu kembali mendekat padanya. "Kau terjebak dalam perangkat iblis."
"Aku tidak mengerti maksudmu." Lumina meremas gaunnya merasakan ketakutan pada wanita yang tidak berhenti menatapnya tajam.
"Kau sudah tahu dia iblis, kenapa kau masih bersamanya? Lari, aku bilang lari."
Lumina mencoba melepaskan tangannya dari wanita gila itu. "Lepaskan."
"Iblis itu akan membunuhmu, melempar tubuhmu ke parit bagaimana Ratu Taleena."
"Kau gila." Lumina mulai panic, dia melihat sekelilingnya yang sepi. Ternyata bukan hal bagus juga untuk menyendiri mencari tempat sepi, kini dirinya terjebak dengan wanita setengah waras. Melihat ekspresinya saja membuat Lumina ketakutan. "Lepaskan."
"Iblis itu akan memakan jantungmu."
"Dia malaikat, bukan iblis."
Ucapan yang keluar dari mulut Lumina membuatnya tertawa. Tanpa diduga wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya, membuat Lumina hampir muntah dengan penuh pertanyaan bagaimana benda sebesar itu bisa keluar dari mulutnya?
"Ini." Dia memperlihatkan pisau yang terbuat dari tulang. "Dibuat oleh leluhurmu. Tusuk jantungnya dengan ini, dan akan kau dapatkan siapa dirimu sebenarnya, siapa musuhmu dan siapa yang harus kau akui teman."
Tangan Lumina gementaran saat dipaksa menerima benda itu. Jijik dan takut disaat bersamaan. Setelahnya wanita itu melepaskannya, mundur perlahan sebelum memasang ekspresi normal dan bergabung dengan pesta.
Lumina menatap pisau itu, terdapat tulisan yang tidak dimengerti olehnya. Tapi ketika Lumina menyadari sesuatu, dia mendekati lukisan wanita yang menangis tadi. Menyamakan benda yang ada di tangannya, dan di tangan wanita dalam lukisan. Mereka sama, hanya dalam lukisan terdapat banyak darah.
'Apa yang sebenarnya terjadi?'
----
Love,
Ig : @Alzena2108