Chereads / Pangeran Kegelapan (Romance) / Chapter 13 - Bab 13

Chapter 13 - Bab 13

Vote sebelum membaca😘😘

.

.

.

Seperti pagi biasanya, istana yang tersembunyi di tengah hutan Vatikan itu begitu sunyi, apalagi pelayan berkurang drastis. Masih menjadi misteri kemana mereka dibawa, tidak ada yang tahu. Isu menyebutkan mereka dijual oleh tuan mereka. Hanya tersisa beberapa orang saja, seolah hal ini adalah kesengajaan. Seolah istana memang harus dibuat hening menjelang musim dingin.

Tidak seperti biasanya.

Serena yang tidak mendapati keberadaan temannya itu mendekati Dorothy. "Madam.."

Wanita yang sedang memeriksa beras merah itu berbalik, memperlihatkan mimic wajah penuh pertanyaan.

"Kemana Lumina pergi? Aku tidak melihatnya sejak tadi."

Dorothy menyimpan kembali butiran beras di tangan. "Semakin sedikit yang kau tahu, semakin bagus untuk keselamatanmu."

"Tapi…" Menahan Dorothy yang hendak pergi. "Lumina adalah satu-satunya temanku, dia wanita yang baik. Kalian tidak menjualnya 'kan?"

"Lumina berbahagia dengan takdirnya," ucap Dorothy penuh penekanan, tatapan tajamnya mampu membuat Serena melepaskan pegangannya seketika. Dia menunduk sebagai permintaan maaf, tidak lagi menghalangi kepergian wanita yang bertanggung jawab atas semuanya itu.

Menghela napas berat, Serena benar-benar khawatir dengan keadaan Lumina. Terakhir mereka bertemu, Lumina tidak dalam keadaan baik. Awalnya, Serena berpikir Lumina berada di kebun dan menginap di sana bersama Mae, tapi nyatanya Lumina belum kembali sejak kemarin.

Melihat kedatangan Michelle membuat Serena mendekat, dia membawanya ke tempat sepi, mendorong wanita itu hingga punggungnya menabrak tembok. Serena mengurungnya dalam kukungan tangan. "Apa yang kau lakukan pada Lumina?"

"Apa maksudmu?" wanita itu berusaha melarikan diri, tapi kekuatan Serena jauh lebih besar. Memiliki sifat pria adalah hal bagus bagi Serena di saat seperti ini, member tatapan intimidasi menyingkirkan keraguan. "Lepaskan aku!"

"Kau yang terakhir bersama Lumina kemarin 'kan? Kau yang memaksanya pergi ke kebun, sekarang dia tidak kembali."

"Lepaskan atau aku laporkan pada Dorothy."

Ancamannya tidak membuat Serena bergeming, dia tetap pada pendiriannya. "Orang yang datang dari kebun berbeda dengan orang yang pergi. Pasti terjadi sesuatu 'kan? Kau tahu itu?"

"Aku tidak tahu apa-apa!" Michelle memegang keningnya yanhg terasa pening. "Mungkin aku dekat dengan Dorothy, tapi aku tidak tahu masalah kehilangan mereka. Mungkin saja Lumina dan Enzo kini bertugas sebagai penjaga kebun." Mendorong dengan penuh kekesalan sebelum meninggalkan Serena sendirian.

Seseorang yang memanggil namanya mengembalikan kesadaran, Serena yang dipenuhi pertanyaan mendekat. "Ya, Madam?"

"Bawakan buah-buahan itu ke kamar Tuan Lucius, sepuluh menit setelah aku masuk."

"Ya, Madam."

Beberapa pelayan yang sedang duduk bersantai itu melihat heran Dorothy yang pergi membawa baki berisi sarapan. "Bukankah Tuan Lucius sedang berpergian?" pertanyaan salah satu pelayan membuat yang lainnya ikut penasaran.

"Untuk siapa Dorothy membawakan itu?"

"Cukup jangan bergosip." Michelle menatap tajam mereka yang sedang duduk bersantai. "Lanjutkan pekerjaanmu, atau kau mungkin akan dijual pada Bandar narkoba."

Peringatan membuat mereka bergerak, berbeda dengan Serena yang menatap datar. Hal itu membuat Michelle menatap menyebalkan seperti biasanya. "Bukankah kau harus mencuci buah?"

Di saat yang bersamaan, Dorothy memasuki kamar tuannya. Menyimpan baki itu di meja, Dorothy melangkah menuju kamar mandi begitu mendapati ruangan kosong. Seseorang yang dicarinya ada di sana, berendam dalam bathub dengan guyuran shower. Lumina terlihat bergulat dengan pikirannya, menatap busa di tangannya dengan tatapan kosong.

"Lumina?"

"Apa ini istana iblis?"

Dorothy berhenti mendekat, dia mematikan shower. "Ini istana peninggalan bangsa romawi. Jika istana iblis yang kau cari, minta pada Tuan Lucius."

"Apa yang sebenarnya dia inginkan?" Tubuh Lumina tersentak, kaget dengan wujud Dorothy yang menyeramkan. Kulitnya keriput, bagian kakinya terlihat melepuh, wajahnya hitam legam tanpa hidung dan telinga.

"Sebaiknya kau cukup diam, Lumina. Tuanku telah memberi apa yang kau inginkan."

Tubuh Lumina gementaran, wanita itu iblis. "Apa yang aku inginkan?" Matanya menatap tidak percaya, dengan terengah dia melanjutkan. "Dia mengam−"

"Dia memberikan apa yang kau minta, musim dingin tidak akan membuat anak-anak di Milan itu mati." Menunjukan sebuah foto.

Lumina menerima foto itu dengan ketakutan, rasa hangat di dadanya terasa saat melihat wajah bahagia anak-anak terlantar. Mereka diselimuti baju hangat, berfoto di depan bangunan baru, dengan taman bermain yang lengkap.

"Jika kau tidak bisa membayarnya dengan uang, maka turuti semua perkataan Tuan Lucius."

Saat kembali menatap, wujud Dorothy telah kembali normal.

Setidaknya, hancurnya tubuh Lumina tergantikan dengan hal yang sangat dia inginkan. Lucius mungkin membuatnya tidak perawan lagi, dia membencinya, tentu saja. Namun, melihat gambar itu membuat Lumina jauh lebih baik. main-set nya berubah, dari pandangan Lucius adalah iblis menjadi malaikat.  "Ya, aku mengerti."

"Sekarang bangunlah, kau harus makan agar bisa melayani Tuanku."

"Ya.." Lumina segera memakai handuk dan keluar dari kamar mandi, meninggalkan Dorothy yang membersihkan bekas mandinya.

Mata Lumina membulat saat melihat kedatangan seseorang, begitu pula dengannya. Mereka saling bertatapan. Serena tidak bisa menahan keterkejutannya. "Lumina? Kau bersama Tuan Lucius?"

"Ya…."

****

"My Lord." Dorothy menyambut paling depan pada Lucius yang baru saja datang.

"Bagaimana keadaannya?" Membuka kaca mata dan mengisyaratkan penjaga untuk mengambil lukisan dari dalam bagasinya. "Pajang di gudang anggur," ucapnya melangkah menaiki tangga menuju pintu utama.

"Dia baik-baik saja. Seperti perintah anda, dia tidak keluar kamar."

"Aku ingin semuanya lebih sunyi, kosongkan istana. Juga para penjaga, aku tidak lagi membutuhkan mereka."

"Si, My Lord."

Saat melangkah menaiki tangga, Lucius menangkap mata yang menatapnya tajam, seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan pelayan wanita berambut pendek itu. "Jangan biarkan wanita berambut pendek itu melayani Lumina."

"Mengerti, My Lord."

Dua hari dirinya meninggalkan Lumina untuk urusan dunia manusia. Profesinya sebagai pelukis tidak boleh ditinggalkan begitu saja, masih banyak yang harus Lucius amati dalam lautan manusia. Terutama mencari darah bangsa duyung yang tersisa, dirinya bersumpah di hadapan ayahnya akan membunuh semua keturunan bangsa duyung.

Dan yang tersisa kini adalah perempuan yang sedang berendam dalam bathub dengan wajah terpejam, seakan menikmati aroma lavender dari busa hangat. Lucius membuka pakaiannya, dengan tatapan tidak lepas dari Lumina.

Merasakan seseorang ikut masuk ke dalam bathub, mata Lumina terbuka, kaget mendapati Lucius yang bergabung bersamanya. "My Lord," ucapnya menutupi dada sambil beringsut mundur.

Bathub ini mungkin luas, tapi Lucius mendekat hingga terasa sangat sempit. Dibalik semua itu, Lumina merasa malu, apalagi saat tangan pria itu menyentuh pipinya yang basah, membelai bibirnya hingga tatapan mereka bertemu.

"Apa yang ingin kau katakan."

Bibir kecilnya terlihat ragu, sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih telah peduli pada mereka."

Pria itu terkekeh, dia menempelkan telapak tangan Lumina pada pipinya. "Bukankah kau suka menyentuh wajah ini?"

Lumina tidak munafik, dia memang suka menyentuh wajah Lucius setiap dia datang dalam mimpinya.

"Usap kembali."

Lampu hijau itu seakan menjadi jalan untuk Lumina menggerakan jemarinya, mengagumi ketampanan itu dalam keadaan sadar. Jantungnya berdebar, Lumina menyukainya, dia tidak bisa menolak saat pria dengan sejuta karisma yang dimilikinya kembali mencium bibir Lumina.

Dalam keadaan sadar, Lumina kalah oleh hasrat dalam dirinya. Dia suka saat Lucius menciumnya, menyentuhnya dan memeluknya.

"Signore…"

"Tetap sadar, Lumina."

Ketika punggungnya merasakan empuknya kasur, Lucius mengigit bibir bawahnya hingga Lumina mengaduh kesakitan. Dia memalingkan wajah saat pria itu mencium lehernya, melihat bayangan mereka di tembok. Dengan penuh kesadaran, Lucius memiliki sayap dalam bayangannya, tapi tidak dalam aslinya.

Sayap itu membentang, diselimuti oleh api. Hitam kelam. Lumina masih belum bisa memutuskan apakah Lucius iblis atau malaikat kegelapan. Yang jelas, pria itu kini membawanya pada ambang kesadaran.

"Bukankah…. Bukankah kau membenciku? Ingin membunuhku?"

"Tidak lagi," ucapnya meluruskan pandangan Lumina yang berpaling. "Aku membencimu karena membuatku gila."

---

Love,

Ig : @Alzena2108