Vote sebelum membacaš
.
.
Perlahan pemilik bulu mata lentik bergerak, merasakan sinar metahari menerobos melalui celah gorden. Hal pertama yang dia lihat adalah punggung seorang pria yang tengah duduk menghadap cermin, matanya terpejam, tapi tangannya mengetuk tangan kursi menandakan dia tidak terlelap. Lumina tidak bersuara, tapi pria itu menyadari dia telah terbangun.
Segera, dia memalingkan pandangan saat mata hitam itu terbuka, menatapnya lewat cermin sebelum bangkit dan mendekat.
Lumina beringsut mundur, memegang selimut yang memeluknya. Dirinya tahu ini bukan mimpi, pria di depannya bukanlah manusia.
"Kau takut?"
"Apa yang kau inginkan?" Tangannya meremas pakaiannya yang robek akibat ulah Enzo, menghindarinya terbuka, Lumina mengeratkan selimut. "Siapa kau sebenarnya?"
"Kau tahu siapa aku, Lumina."
"Iblis," gumamnya membuat senyuman miring terpatri di wajah tampan Lucius, dia berhenti melangkah tepat di depan ranjang. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Lucius mengamati, bagaimana wajah takut Lumina membuat aroma itu semakin samar. Aroma teratai itu akhirnya memudar, tertutup seperti saat mereka pertama kali bertemu. Meskipun begitu, Lucius tahu apa yang dia cari ada dalam tubuh Lumina.
"Bukankah kau menyukaiku?"
Menggeleng, bahkan menatap matanya saja Lumina enggan.
Pria itu tertawa. "Kau malu apa yang pernah kita lakukan?"
"Itu hanya mimpi."
"Maka akan aku buat kenyataan!" Menarik selimut, melemparkannya jauh hingga Lucius bisa melihat jelas tubuh Lumina dalam balutan baju tidak layak pakai. Pria itu menahan Lumina saat hendak lari. Memegang kedua tangannya hingga dengan jelas dia melihat wajah cantik Lumina. "Kita pernah dalam posisi ini."
"Lepaskan aku." Melawan hasrat yang mulai menguasai.
"Bahkan aku kita pernah melakukan ini," ucap Lucius mendaratkan ciuman pada leher Lumina, menahan kedua tangan Lumina, sementra tangan kiri Lucius menelusup mengusap perut datar Lumina. Membuat perempuan itu menggeliat mencoba lari dari perasaan aneh yang menjalar, apalagi saat Lucius mencium bibirnya. Membuat Lumina hampir kehabisan napas, perempuan itu mengambil napas dalam begitu ciumannya terlepas.
Mata lelahnya menatap Lucius yang menyeringai. "Kau ingin melanjutkan? Melebihi mimpi?"
Tentu saja Lumina menolak, dia menggeleng dengan napas terengah. "Berhenti, kumohon."
Wajah lelah Lumina adalah hal baru yang disukai Lucius. Permintaannya tidak dikabulkan, Lucius malah memberikan ciuman pada perut Lumina sebelum menyingkab baju yang dipakai perempuan itu.
Lumina masih dalam keadaan lelah, dia tidak dapat menahan Lucius yang menggodanya, seakan tahu titik kelemahannya. Pria itu menggigit telinganya, menyusuri pipi sebelum kembali menciumnya.
Beruntung bagi Lumina, suara ketukan pintu menghentikan aksi Lucius. Pria itu berdiri, melemparkan selimut untuk menutupi tubuh Lumina yang hampir telanjang. Pemilik mata biru itu menunduk, menahan tangis yang akan pecah. Malu, merasa hina pada diri sendiri, bagaimana bisa dia menikmati semua itu, seperti dalam mimpinya.
"Signore," ucap seseorang yang masuk sambil membawa baki berisi makanan.
Heran bagi Lumina, Dorothy tidak terlihat kaget ataupun memarahi dirinya yang berada di ranjang milik tuan besar. Wanita itu melah menunduk padanya, sebelum menyimpan baki makanan di nakas. "Sarapanmu, Lumina."
Pria berkaos hitam itu hanya membalas hormat Dorothy dengan datar, dia kembali mendekat pada Lumina dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Tangan Lumina menahan selimut, dengan tatapan waspada pada pria itu.
"Katakan apa yang kau inginkan."
"Makan."
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"Haruskah aku menciumu kembali?"
Mata Lumina berair menahan tangis, dia mengambil sarapannya, melahapnya cepat tanpa merasakan. Mengingat bagaimana Enzo terbunuh membuatnya ketakutan. Lumina tidak bisa apa-apa, dia diam ketika Lucius menyingkirkan rambut ke belakang bahu, membiarkan pria itu mengusap lehernya yang merah akibat cekikan. Rahangnya mengetat, seakan menahan godaan untuk melakukan sesuatu yang kejam.
Dan Lumina melihat itu. "Bunuh saja aku jika itu yang kau inginkan."
Pria itu terkekeh. "Aku menyukaimu, Lumina."
***
Tiga iblis yang sedang berdiskusi itu berhenti bicara begitu sang pangeran kegelapan mendarat dengan sayap hitamnya. Harsha, wanita iblis berbaju ungu dengan lilitan ular di sepanjang tubuhnya itu tersenyum melihat kedatangan Lucius, dia menyilangkan tangan di dada. "Lihat, ini dia pelukis terkenal kita."
"Tutup mulutmu, Harsha." Sarcnal memperingati.
Alih-alih diam, Harsha duduk di pangkuan Lucius, menggoda pria itu dengan menyentuh bagian-bagian tubuh sang pangeran. Tidak tertarik sedikitpun, Lucius menatap Harsha datar. "Haruskah aku makan ularmu?"
Harsha berdehem, dia duduk di kusri sebelumnya, memilih mengamati Arcsull yang sedang berenang mendekat, iblis itu keluar dari danau membiarkan tanaman merambat pada tubuhnya sebelum berubah pada bentuk manusianya.
"Lucifer lebih dulu mendengar kalau keturunan Ratu Taleena yang hilang telah ditemukan, kita harus segera bertanya tentang Kristal itu," ucap Arcsull membuat sebotol anggur dari tanamannya.
Harsha menyipitkan mata. "Kau yakin wanita itu keturunannya?"
"Aku mencium teratai putih dalam tubuhnya, jelas dia memiliki darah duyung."
"Bagaimana dengan Kristalnya?" Sarcnal menyandarkan tubuh, menatap kuku tangannya yang memanjang dalam wujud asli. "Dia tahu di mana itu?"
"Dia bahkan tidak tahu siapa dirinya," ujar Harsha mendekatkan tubuh lagi pada Lucius. "Bukan begitu, Prince?"
Belahan dada Harsha membuat Arcsull yang memang memiliki gairah tinggi itu hampir kehilangan focus, dia merambatkan tanaman menutupi tubuh Harsha.
Sebelum wanita itu protes, Lucius lebih dulu berucap, "Kristal itu berada dalam tubuhnya. Dalam jantungnya."
"Apa? Bagaimana bisa? Maksudku, bagaimana kau tahu?" Tanya Sarcnal.
"Aku merasakan kekuatannya saat dia pertama kali datang."
Arcsull tertawa. "Lalu tidak kau rengut jantungnya? Membunuh dia seperti leluhurnya?"
"Itu yang membuatku berpikir. Saat aku menyakitinya, aku tidak bisa merasakannya, bahkan aroma teratai memudar. Berbeda saat dia menikmati mimpi-mimpi malamnya, aku merasakannya dengan jelas."
Harsha menepuk pahanya, mendapat kesimpulan dari ucapan datar Lucius. "Itu mantra pelindung para duyung. Jika kau menyakitinya, mantra itu semakin kuat melindunginya. Berbeda jika dia menyukaimu, mantra itu dengan sendirinya akan hilang, mengetahui ada pelindung yang lebih kuat."
Mulut Sarcnal terbuka, mengerti dengan perkataan Harsha. Wanita itu berdiri dan masuk ke dalam air, membuat iblis itu bertanya-tanya. "Apa yang dia lakukan?" gumamnya tidak memperhatikan Lucius dan Arcsull yang sedang berdiskusi.
"Jadi, bagaimana rencanamu, Lucius?" Tanya Arcsull.
Lucius menggeleng. "Aku ingin membunuh manusia duyung itu dengan cepat."
"Kita tidak akan dapat apa-apa jika seperti itu. Lucifer akan menghukum kita."
Sarcnall menyetujui ucapan Arcsull, matanya menyipit saat melihat kedatangan Harsha dari balik kabut, tepat di belakang Lucius.
"Sudah aku lakukan," ucap wanita itu memetik anggur, segera ditumbuhkan lagi oleh Arcsull.
"Apa yang kau lakukan?" Sarcnal bertanya.
"Membuat perempuan itu menantikanmu, aku membuatkannya minuman merah."
Kemarahan Lucius tidak ditunjukan dengan ucapan, melainkan api merah yang tiba-tiba membakar meja, membuat Harsha tertawa.
Sayapnya kembali membentang, Lucius terbang menembus awan hitam hingga akhirnya tiba di kamar, tempat di mana Lumina di kurung. Harsha tidak main-main, perempuan itu kini tengah menggaruk-garuk tubuhnya, merasakan gatal dan panas. Kulit lehernya memerah, dengan tubuh yang basah, menjadi bukti kalau Lumina sempat menyiram tubuhnya yang kepanasan.
Menyadari keberadaan Lucius, perempuan itu menatapnya tajam. "Apa yang terjadi?" Seakan tidak kuat dengan rasa panas itu, Lumina membuka kaosnya.
Lucius mendekat, mendorongnya ke atas ranjang, menindihnya seperti sebelumnya. Berbeda dengan sebelumnya, Lumina kini menerima Lucius, membiarkan pria itu menciumnya, menyentuhnya.
Permulaan, dia menjerit merasakan sakit pada bagian paha atas, hingga rasa sakit itu berubah menjadi hal lain.
"Signoreā¦."
"Aku menolongmu, Lumina. Lepaskan ituā¦." Mengusap kening Lumina yang basah akibat keringat.
Karena kesadarannya telah diambang batas, Lumina masuk ke dalam jebakan para iblis, dia kalah oleh napsu yang menguasainya. Iblis itu mengendalikannya.
Di detik-detik terakhir, Lucius menyeringai. 'Semakin cepat kau menyukaiku, semakin cepat aku membunuhmu.'
---
Love,
ig : @Alzena2108