Vote sebelum membaca😘
.
.
Begitu selesai dengan pekerjaanya, Lumina mendekat pada Serena yang terlihat sedang bersih-bersih. "Serena."
Wanita itu tersentak, dia nampak ketakutan, wajahnya berkeringat, bahkan tidak membalas tatapan Lumina. Dia buru-buru terfokus kembali pada pekerjaanya membersihkan kaca. "Serena, ada apa?"
"Tidak," jawabnya lalu berpindah ke kaca lain. Dia jelas ketakutan, matanya waspada, dan sesekali melihat keadaan sekeliling. Lumina menyadari ada yang tidak beres, dia segera menarik Serena untuk duduk sesaat. Awalnya wanita itu berontak, tapi Lumina menahan bahunya kuat.
"Serena, tenangkan dirimu. Apa yang terjadi?"
Saat tatapannya membalas manik biru laut, Serena mulai menenang. Kekhawatiran itu sekan hilang, mengalir bersama air saat menatap manik Lumina. "Aku bermimpi buruk semalam."
"Apa yang kau mimpikan? Signore Lucius?"
Serena tertawa, dia mengusap peluh di lehernya. "Aku akan bahagia jika memimpikan pria setampan dia. Yang aku mimpikan adalah monster hitam dengan tubuh mengerikan."
"Tenanglah, itu hanya mimpi." Menggenggam Serena kuat, mencoba menyalurkan keyakinannya bahwa semua akan baik-baik saja. terbukti dengan dirinya yang mulai terbiasa dengan mimpi yang sama setiap malam. Pandangan Lumina mengedar. "Ngomong-ngomong, kemana para pelayan lain?"
"Itulah yang aku khawatirkan lain," ucapnya menelan saliva. Serena melanjutkan, "Aku pikir mereka dijual. Entahlah, aku hanya yakin bukan hal baik yang menimpa mereka."
Itulah kenyataannya, istana begitu sepi. Sejak pagi, Lumina hanya menemui beberapa orang saja. bahkan, saat dirinya mengambil buah, hanya ditemani Ali. Pria itu memiliki gerak-gerik yang sama dengan Serena, terlihat ketakutan dengan sesuatu.
"Kita harus bekerja lebih keras, Lumina. Atau mereka menyingkirkan kita."
"Siapa saja yang pergi?"
Serena menggeleng. "Yang aku baru temui hari ini hanya 10 orang saja."
Menyadari Dorothy tidak ada di sini, dan keadaan istana telah bersih, Lumina berbisik, "Maukah kau ikut ke kamarku? Aku ingin menceritakan sesuatu."
Keterdiaman Serena membuatnya melanjutkan dengan kalimat, "Dorothy sedang keluar. Ayolah, aku buatkan the herbal."
Serena mengangguk, dia menarik napas dan berjalan lebih dulu ke kamar Lumina. Sementara pemilik manic biru itu membuatkan teh herbal. Sambil mengaduk bahan, Lumina berpikir, akhir-akhir ini Dorothy tidak pernah memerintahnya secara langsung, tidak pernah membentak ataupun memukul. Dia seakan menganggapnya tidak ada, Dorothy tidak bicara dengannya sejak kejadian dirinya keracunan beberapa hari yang lalu.
Entah apa yang terjadi, perasaan Lumina mengatakan Dorothy takut dengannya, terlihat dari bola matanya yang selalu waspada jika dirinya datang. Tapi, takut karena apa?
"Ini teh milikmu."
"Terima kasih." Serena menerimanya dengan senang hati.
Lumina memutar kursi rias menghadap Serena, dia menarik napas sebelum bercerita. "Aku juga mimpi aneh semenjak datang kemari. Lebih aneh lagi itu mimpi tentang orang yang sama."
Kebingungan Serena membuat Lumina kembali melanjutkan, "Signore Lucius datang dalam mimpiku, dan anehnya aku merasa itu adalah kenyataan."
"Pantas saja kau menggila saat itu," gumam Serena menatap malas, dia menggelengkan kepala. "Lalu?"
"Sehari sebelum mimpi itu muncul, aku melihat makhluk bersayap. Besar, dengan wujud manusia."
"Kau tahu Vatikan ada dengan kemesteriusannya."
"Tetap saja….." bergumam pelan, dia menunduk mengingat bagaimana dirinya mulai menyukai mimpi itu. Lumina bisa berbuat seenaknya, mengusap, memeluk, bahkan mencium pria yang sebelumnya membuat dia ketakutan. Mungkin dirinya benar-benar gila. Tidak pernah mendapatkan kasih sayang, membuat Lumina menyukai mimpinya. Pria itu benar-benar lembut dalam ingatan malamnya.
"Lumina… mungkinkah kau menyukai Signore Lucius?"
"Apa?"
"Aku tahu dia berparas tampan. Tapi tetap saja, pria itu tidak memiliki emosi, bisa saja dia adalah psikopat, kau harus hati-hati."
Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku mengerti."
"Ingat pesta ulang tahun Signore Lucius? Goda salah satu pria yang akan membebaskanmu."
Suara pintu terbuka membuat Lumina dan Serena berdiri seketika, mereka menunduk bahkan hanya dengan melihat bayangan seseorang yang berdiri di ambang pintu. Jelas dia tahu wanita yang menyilangkan tangan itu. "Apa kalian bekerja untuk bicara?"
"Maaf, Madam, se−"
"Aku yang membawa Serena kemari, memaksanya mendengar ceritaku," ucap Lumina mengangkat kepala membalas tatapan Dorothy. Tidak bertahan sampai tiga detik, Dorothy memalingkan wajah seakan enggan melihatnya.
Wanita tua itu berdehem. "Cepat bekerja, jangan membuat masalah."
Kepergiannya membuat Serena mengerutkan kening dalam, dia menatap Lumina penuh pertanyaan. Bertahun-tahun dirinya di sini, belum pernah mendapati Dorothy melepaskan sekecil masalah begitu saja. "Lumina, tidakkah kau merasa aneh?"
***
Pesta terlihat begitu meriah. Para wanita melebarkan senyuman mendapatkan pujian dari berbagai pria. Berbeda dari pesta sebelumnya, kini terlihat lebih modern. Lumina menyadari, orang-orang ini berbeda dari mereka yang datang ke pesta sebelumnya. Tidak ada gaun kuno, ini pesta yang pantas di zamannya. Lebih banyak tawa daripada keheningan. Dan singgasana yang biasa diduduki pria berkuasa, sekarang tidak ada.
'Aku sering melihatnya dalam mimpi, tapi setiap bertemu langsung terasa menakutkan,' gumamnya dalam hati begitu melihat sang tuan turun menuruni tangga sambil menggandeng seorang wanita bergaun ungu. Mereka terlihat begitu serasi, wanita cantik bagaikan bidadari, dan pria setampan jajaran dewa.
Lumina memegang dadanya begitu pria itu tidak sengaja menatapnya. Tidak ada lagi rasa sakit, jantungnya berdetak normal. Memang benar ada yang aneh di istana ini, isntingnya seakan mati seiring dia menikmati setiap mimpi malamnya.
"Lumina, ada apa?"
Perempuan itu menggeleng, saat berbalik matanya membulat menatap Serena yang terlihat berbeda, dia begitu cantik. "Wowo, you look so−"
"I know, I know. Hidangkan ini, dan buatlah bahasa tubuh yang menarik."
"Apa? Tapi kenapa tidak kau saja." Lumina enggan beranjak saat menerima baki berisi Champagne. "Kau sudah tampil cantik."
Serena yang terlihat bahagia itu menggeleng. "Aku mendapatkan mangsaku, dia menungguku di belakang istana."
"Bagaimana jika Dorothy menangkapmu." Lumina berkata penuh penekanan dengan bola mata hampir keluar.
Dan Serena hanya membalas dengan tawa, lalu berkata, "Dia sedang sibuk, seperti itu jika ada pesta. Pergi sana!" Mendorong Lumina hingga perempuan bermata biru mendengus kesal, dia memasang senyum manis, berjalan tegak seperti seharusnya para pelayan diajarkan.
Lumina berkeliling pesta, menawarkan minuman yang ada di tangan kanannya. Tidak ada yang tertarik dengannya walaupun Lumina menuruti kata Serena, para pria kaya itu tidak tertarik untuk menatapnya saja.
"Kurasa ini yang terakhir," ucap seorang pria mengambil gelas terakhir dari baki.
"Selamat menikmati, Tuanku." Lumina tersenyum, ini tidak semudah yang diajarkan Serena, dirinya memilih pergi daripada menggoda. Sayang, pria itu menahan tangannya.
"Aku ingin melihat wajah cantikmu lagi. Naiklah ke lantai atas, aku akan menemuimu," bisiknya penuh sensual.
Segera Lumina melepaskan tangan pria itu dan berjalan cepat, dadanya berdetak kencang merasakan itu bukan sesuatu yang baik. Kakinya melangkah menuju dapur, tapi terhenti tatkala melihat Serena yang sedang berciuman. Dia menutup matanya. "Maaf, maaf."
"Lumina, kemarilah." Serena mendekat dan menarik tangannya. "Perkenalkan, ini temanku Lumina."
"Arcsull, tidak." Pria itu menggeleng. "Maksudku Aidan." Saat tangannya menjabat Lumina denga kuat, dan tatapan tajam. Lebih menakutkan saat dia menyunggingkan senyuman.
Pemilik mata biru itu hanya mengangguk, mentap aneh Serena yang tertawa lalu berucap, "Kau salah memperkenalkan nama sejak tadi."
Tidak ada jawaban, pria itu tersenyum dan mencium pipi temannya. "Aku pergi.." Dia kembali memasuki pesta.
Sedetik setelahnya, Serena kegirangan. Dia memamerkan uang dari kantongnya. "Lihat yang aku dapat, meskipun dia tidak berniat menikahiku, tapi aku mendapatkan ini."
Sesaat Lumina terpana dengan uang yang begitu banyak. Jika itu miliknya, mungkin akan dia kirim langsung pada Jane. Hingga terpikir kembali tentang ucapan pria yang menggodanya tadi.
"Tunggu, ekspresi apa itu? Katakana padakku."
"Seorang pria mengajakku bertemu di lantai atas."
"Lalu apa yang kau tunggu!" Serena menaikan nada bicaranya, tidak berpengaruh pada Lumina yang masih berpikir. "Setidaknya dapatkan uangnya. Pergilah!" kembali mendorong punggungnya hingga keluar dari dapur.
Memberanikan diri, mengingat musim dingin hampir tiba, mendorong Lumina menaiki tangga menuju lantai dua. Setiap langkahnya, setiap keraguan bertambah. Dia memaksa, memejamkan mata dan berharap dia mendapatkan uang sebanyak Serena.
Menyusuri lorong panjang dan suram, bibir mungilnya memanggil, "Tuan? Tuan?"
Keningnya berkerut saat mendengar suara aneh. Lumina mengikuti indera pendengarannya, dengan pelan dia menuju ujung lorong.
"Aaaa!" Lumina sampai terjatuh, dia mundur ketakutan dengan tangan menutup mulut saat melihat pria yang menyuruhnya datang kini sedang sekarat. Lehernya ditusuk sesuatu hingga mengeluarkan banyak darah. Tangan pria itu terangkat, seakan meminta pertolongan.
Namun, sedetik sebelum Lumina berniat lari meminta pertolongan, sebuah pedang tiba-tiba menancap di kepala pria itu. Lumina menjerit ketakutan, melihat dengan jelas bagaimana pria itu mati.
Tatapanya terangkat pada sosok hitam yang memegang pedang, tudung hitam menutupi wajahnya. Dalam ketakutan, Lumina mendengar sosok itu berkata, "Kau milik pangeran kegelapan."
---
Love,
Ig : @Alzena2108