Chapter 9 - Bab 9

Vote sebelum membaca😘

.

.

"Diamlah!" Teriak iblis berkulit hitam dengan perut buncit, tingginya hanya sebatas anak umur 5 tahun. Namun, siapapun yang melihatnya pasti akan ketakutan, apalagi tangannya dipenuhi oleh kuku panjang dan cacing mengerikan.

Para manusia yang dikurung begitu ketakutan, mereka saling memeluk satu sama lain ketika makhluk itu mendekat, memegang pintu besi dan menampakan wajahnya lebih dekat. "Akan aku makan kalian jika terus berisik."

Wanita maupun pria menangis tersedu, menyalahkan nasib yang diambil. Dua puluh lima orang dalam satu sel adalah pemandangan menyenangkan bagi iblis bernama Sarcnal, iblis penyerap jiwa manusia. Tidak pandang bulu, dia menyerap energy mereka yang menurutnya menarik, apalagi memiliki ketakutan lebih besar.

Sarcnal mengalihkan perhatian begitu menyadari seseorang memasuki wilayahnya, dia keluar dari ruangan penyekapannya, di mana berjajar sepuluh sel dengan banyak manusia di dalamnya.

"Pangeran," ucapnya begitu dia melihat Lucius tengah mengamati ruangan di sekitarnya. Sarcnal mengubah wujudnya menjadi manusia normal, berparas tampan dengan rambut sebahu. "Kenapa kau datang?"

"Kau menculik para budakku?"

"Hei, ayolah." Dia tertawa dan membawakan botol anggur dari balik batu yang menempel di dinding. "Aku dengar kau suka minum lagi."

"Kembalikan mereka," ucap pria berjubah hitam tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan yang sama persis seperti yang ada di kamarnya.

"Aku hanya membantu mereka menyerap rasa takut. Kau tahu? Ketakutan terbesar datang dari tempatmu, pelayanmu tidak nyaman tinggal di sana."

"Aku tidak peduli."

Sarcnal yang memiliki watak kekanak-kanakan itu mendekat, menyodorkan botol anggur pada Lucius. "Akan aku kembalikan mereka malam nanti."

Tatapan tajam yang diberikan Lucius membuat Sarcnal kembali melanjutkan, "Akan lebih sempurna jika aku menyerap ketakutan mereka bersamaan. Tenang saja, mereka tidak akan ingat apapun."

"Ya, itu membuat mereka hidup tanpa ketakutan dan menjadi manusia mengerikan."

"Setidaknya aku membuat teman bagi bangsa iblis," ucapnya cekikikan.

Lucius mengambil paksa botol itu dan memecahkannya. "Serap mereka di waktu yang berbeda, secara acak!" Merasa kesal dengan sikap Sarcnal yang membawa para pelayannya tanpa izin.

Iblis itu ketakutan, Sarcnal hampir kembali ke wujudnya yang asli, setengah kakinya berubah hitam dan memendek. "Baik, baik, aku akan mengembalikan mereka semua dengan ingatan terhapus."

"Perbaiki dirimu, kita akan ke Istana."

Wujudnya perlahan kembali normal, meninggi dan sempurna kembali. Dia mengikuti Lucius yang berjalan keluar dari tempatnya. "Istanamu atau istana ayahmu?"

"Istana Lucifer," ucap Lucius membentangkan sayap, membuat Sarcnal hampir terjungkal. Tanah yang dipenuhi lava berjalan menuju kaki Lucius, cairan merah itu diserap, masuk melalui kakinya dan membuat sayapnya berubah merah selama beberapa saat.

Sarcnal segera berubah bentuk, dengan wujud aslinya dia berlari di bawah Lucius yang terbang. Pangeran iblis kembali ke asalnya. Tempat para iblis bersarang, tanah yang gersang dipenuhi lava, pohon kering, air yang berwarna hitam, kabut yang bertebaran. Gelap, sunyi, tapi mematikan.

Lucius bukan yang pertama datang, di sana Arcsull baru saja keluar dari sungai hitam dan merubah wujudnya. "Kalian terlambat."

Tanpa berkata, Lucius berjalan ke dalam istana bersamaan dengan sayapnya yang mulai hilang di udara. Api dan lava mengelilingi istana ini, dimana-mana ada mata yang mengawasi, para iblis setia yang memuja sang raja.

"Lucius..." Makhluk yang sedang memejamkan mata di singgasana itu tertawa. Membiarkan api yang membakar tubuhnya semakin besar.

Arcsull, Sarcnal menunduk, tahu dia tidak sehebat iblis bertanduk itu. Seluruh giginya tajam, kulitnya terlihat keras dan berwarna merah, seluruh bola matanya berwarna hitam, sungguh iblis menakutkan bagi keduanya, apalagi ukurannya dua kali lebih besar. Berbeda dengan Lucius, kepalanya tetap tegak. Bahkan, terbentuk pedang di tangannya dan siap digunakan jika Lucifer tidak bangkit dari singgasananya.

"Singkirkan pedangmu, Nak."

Pedang merah, seperti besi yang baru saja dipanaskan itu kembali lenyap di udara. Pria itu berdiri, melangkah dan wujudnya mulai berubah normal. Wajah yang mirip dengan Lucius, hanya sedikit lebih tua. "Kau mendapatkannya?"

Dua pria di belakang Lucius bersimpuh begitu raja kegelapan mendekat, tapi tidak untuk sang pangeran, dia berdiri tegak mengangkat kepala tanpa rasa takut.

"Kami meminta waktu lebih banyak," ucap Lucius membuar Arcsull mengerutkan kening.

"Kita akan kehabisan waktu, Asmomeres mungkin akan mencium rencana ini."

"Kau akan menguasai tiga dunia, cukup beri kami waktu."

Lucifer tersenyum miring, dia mendekat dan memegang bahu puteranya. "Bunuh sang pelindung begitu kau menemukannya."

****

Burung gagak terdengar begitu nyaring, membuat mata itu perlahan terbuka. Tidak ada keterkejutan lagi ketika dia melihat keberadan seorang pria bertubuh besar sedang berdiri di sampingnya. "Kau mengagetkanku," ucapnya dengan nada sebal.

Pria itu masih mengamati dengan datar, membuat Lumina menarik tangannya. "Duduklah di sini. Aku masih tidak mengerti kenapa selalu memimpikanmu, dan anehnya terasa sanya," bergumam pada kalimat terakhir.

Lumina mendudukan dirinya, tatapannya tertuju pada air yang ada di meja rias, tangannya kembali mengusap Lucius, "Bisakah kau mengambilkannya?"

Tidak ada jawaban, pria itu membawakannya air. Lalu kembali menatap tanpa ekspresi.

"Lihat? Ini terasa nyata, lalu keesokan harinya ini akan berubah menjadi sekedar mimpi belaka."

"Anggaplah appun sesukamu," ucapnya membuka mulut. Matanya menyipit saat Lumina mendekatkan wajah, seakan meneliti bagian kepalanya. Perempuan itu menepuk pipi Lucius, lalu mencipratkan air ke wajahnya.

Pria itu memejamkan mata sebelum berucap dengan penuh penekanan. "Apa yang kau lakukan?"

Lumina menggedikan bahu. "Ini mimpiku, terserah akan melakukan apa," ucapnya merebahkan kepala di paha Lucius, mencari kenyamanan seperti pada mimpi sebelumnya.

"Kau meracuni dirimu sendiri?"

"Serena bilang hanya itu caraku keluar dari penjara dan mendapatkan banyak uang."

Lucius kembali mengusap kepala Lumina saat perempuan itu memintanya. "Uang untuk apa?"

"Anak-anak panti, mereka selalu kedinginan saat musim dingin."

Dalam diamnya, Lumina berpikir keras, dengan tubuhnya yang masih lemah dia merebahkan diri dan menatap langsung wajah yang selalu menerornya di malam hari. Dengan sangat jelas dia melihat alis yang tebal, mata hitam pekat, hidung yang mancung, rahang yang kokoh serta bibir kemerahan yang agak tebal. Dalam mimpinya pun Lumina merasakan kalau ini adalah kenyataan. Pria itu di sini.

"Ini aneh," ucapnya tidak melepaskan mata dari sang manic hitam.

"Apa?"

Tangan Lumina terangkat, mengusap bibir Lucius, lalu naik ke hidung dan berakhir dengan member sentuhan lembut pada rambut. "Ini mimpiku, seharusnya aku bisa mengendalikannya."

Lucius sama sekali tidak tertarik dengan percakapan itu, dia memilih focus pada indra penciumannya.

"Kenapa kau mencekikku saat muncul pertama kali dalam mimpi? Dan kini kau diam begitu manis, Signore?"

"Aku sangat ingin mencekikmu karena kegilaan ini," ucapnya membuat Lumina berhenti mengelus rambutnya.

Saat pandangan mereka beradu, Lumina bertanya. "Kenapa begitu?"

"Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku menginginkannya?"

"Kalau mencekikku bisa membuatmu mendapatkannya lalu pergi darikku, kenapa tidak kau lakukan?"

Lucius tersenyum miring, berhasil membuat Lumina begidik. Sama persis seperti aslinya.

"Menyakitimu tidak berhasil."

"Lalu?" Lumina mencoba menegakkan tubuh dalam keadaan lemasnya. "Apa yang bisa membuatmu pergi dari mimpiku?"

Perempuan itu menegang saat Lucius mengusap pipinya pelan, tangannya hangat membuat dirinya nyaman sekaligus waspada. Dan tanpa diduga, pria itu mendekatkan wajahnya, dan menggapai bibirnya.

Lumina membiarkan semuanya terjadi, ciuman itu membuatnya berpikir kalau dirinya memang gila. Semua ini adalah mimpi yang bermula dari imajinasi, tentang makhluk bersayap dan kegilaan karena kurungan selamanya di tempat itu. Karena itulah, Lumina membalas ciuman Lucius.

----

Love,

Ig : @Alzena2108