Chapter 8 - Bab 8

Vote sebelum membaca😙😙

.

.

"Lumina! Lumina!"

Mata itu dengan berat terbuka, meninggalkan mimpi indah yang menghilangkan rasa sakit. Serena, berdiri  di bibir sumur sambil menurunkan tali. "Bangunlah," ucapnya terdengar kesal. Ujung tali yang dibawah Serena gunakan untuk memukul Lumina agar terbangun. Bukannya sadar, pemilik mata laut itu kembali terpejam. Membuat Serena semakin semangat menggoyangkan tali hingga memukuli wajah cantiknya.

Lumina bangun, tapi masih terbaring. "What?"

"Ayo bangun. Aku bantu kau keluar dari sini."

Lumina dengan lemas bangun, dia menunduk menatap air yang membawa dampak negative padanya. "Kau tidak akan bisa, Serena."

"Pegang saja talinya!"

Lumina menurut, dia menggapai tali. Membantu Serena, dia menarik dirinya sendiri hingga bisa keluar dari lubang gelap itu. Lumina terbaring seketika, merasakan pegal di sekujur tubuh. Lumina tersenyum mendapati seorang pria dibelakang Serena yang membantunya. "Thanks," ucap Lumina saat pria itu keluar ruangan. "Siapa dia, Serena?"

"Kau tidak perlu tau." Membantu Lumina duduk dan bersandar di dinding batuan.

Pemilik mata laut itu menggoda. "Apa dia pacarmu?"

"Diamlah, aku akan mengobati lukamu. Huh?" Tangan Serena tertahan saat dia tidak mendapati titik luka. Darah kering masih berbekas, lumpur yang menempel, tapi tidak ada luka satupun. "Kau tidak punya luka."

"Aku terluka dibagian kepa….." Lumina mencari-cari sumber rasa sakit itu. Tidak ada satupun yang membuat tubuhnya terasa sakit. Keanehan kembali terjadi, tubuhnya terasa bugar meski kotor dan pantas dikasihani. "Ini aneh."

"Ya, aku merasakannya," gumam Serena menatap Lumina dengan waspada, seakan dia adalah monster yang kejam. Melihat perubahan raut wajah Serena, pemilik rambut panjang itu memukul pelan guna menyadarkan.

Lumina menggeleng. "Tidak seperti yang kau pikirkan. Aku Lumina, bukan siluman."

Sedetik setelahnya, Serena panic, dia berdiri dan menjambak rambutnya sendiri. "Apa yang harus kita lakukan? Semuanya kacau!"

"Apa maksudmu?"

"Kau harus terluka agar aku bisa menekan Dorothy."

Lumina malah terkekeh, dia membereskan rambut yang menutupi pandangannya. "Aku pantas menerimanya karena gila melakukan itu pada Signore Lucius."

"Lumina….." Serena berkata dengan begitu pelan, dia berjongkok memegang tangan Lumina yang penuh dengan lumpur. "Kau akan dikurung di sini selamanya."

Dia menggeleng tidak setuju. "Aku hanya di sini selama tiga hari, itu yang Dorothy katakan."

Keterdiaman Serena membuat Lumina kembali mengingat kalau itu hanya mimpi, di mana saat Lucius datang dan membakar Dorothy. Dia terdiam sesaat. Selamanya? Dia tidak siap untuk ini. Lumina menyesali keinginannya untuk mati. Ingatan tentang Jane membawanya pada penyesalan, gadis kecil yang selalu kedinginan saat musim dingin tiba. Seharusnya dia tidak memikirkan mimpi itu, seharusnya dia diam saja dan membiarkan semuanya mengalir bagaikan air. Penyesalan mendalam, jika seperti ini maka dirinya tidak akan bisa menolong Jane.

"Tidak mungkin si lidah hitam itu mengatakannya."

Lumina hampir terkekeh, mengingat kelainan genetic yang dialami Dorothy hingga lidahnya berwarna hitam pekat.

"Dorothy sedang keluar sebentar, itu sebabnya aku masuk," ucapannya masih belum membawa Lumina pada kesadaran. Serena melanjutkan, "Aku tahu cara kau bisa keluar dari sini, tapi..."

"Katakan padakku, aku sungguh menyesal, Serena. Ada anak yang membutuhkan uang dariku di luar sana." Memohon sambil memegang tangan perempuan berambut pendek. Serena melihatnya, penyesalan yang sangat mendalam dari mata birunya. Dia mencoba memaklumi, fakta akan berada di kastil ini selamanya memang membuat gila.

Serena berbisik, "Kau harus sekarat dulu."

"What?"

"Dorothy sangat senang dengan penyesalan orang yang sekarat, dengan begitu besar kemungkinan untukmu keluar penjara dan mendapat gaji."

"Jika aku mati?"

Keterdiaman Serena membuatnya mengerti. "Itu resikonya 'kan?"

Anggukannya tidak membuat Lumina kehilangan penyesalan terhadap perbuatannya. Ini harus dicoba. "Bagaimana caranya aku sekarat?"

"Minum racun ini."

****

"Yang kau lakukan itu keterlaluan, Lucius."

Tidak ada jawaban selain senyuman licik terpatri di wajah tampannya. Lucius meneguk botol berisi cairan merah, menatap kabut tebal yang menyelimuti sekitar danau hitam. Dengan santainya, Lucius duduk di sebuah tenda yang dipenuhi tumbuhan merambat, matanya tidak berpaling dari seorang pria yang tengah berenang di tengah danau.

Dia mendekat ke tepian. Arcsull, nama iblis air itu. Seluruh matanya putih, tangan dan kakinya berselaput. Dalam wujud asli, seluruh tubuhnya tertutup lendir, seluruh giginya tajam, dengan telinga hitamnya yang panjang. Begitu dia menginjak tanah, rupanya berubah seperti manusia normal. Pria tampan dengan otot yang terpatri.

"Wanita akan berlari jika melihatmu seperti itu."

"Ah." Arcsull menatap tubuhnya, dia menggoyangkan tangan hingga kain menutupi tubuhnya. "Iblis tidak memakai pakaian."

"Just you."

Arcsull tertawa, dia memakan anggur yang ada di meja, lalu duduk di kursi depan Lucius. Dia berdehem. "Jadi, akankah kau memberita−"

"No!" Tegasnya menatap dengan mata hitam. "Dia milikku, akan aku bunuh wanita itu oleh diriku sendiri. Lucifer hanya akan melihat akhir cerita."

Tawa Arcsull kembali terdengar. "Beritahu aku jika kau akan melakukannya, aku bantu kau mengoyak dagingnya."

Keterdiaman Lucius membuatnya penasaran, dia terdiam seakan mendengarkan dan merasakan sesuatu. Persis seperti yang dia lakukan sebelum pergi. "Ada masalah apa kali ini?"

"Ada keributan."

"Come on, keributan melanda kastilmu setiap hari." Arcsull memetik anggur dari tanaman yang merambat di belakang kursi, dia memukulkannya pada botol kosong hingga kembali terisi penuh. "Nikmati, Lucius, ini tempatmu."

Gerakan Lucius terhenti begitu tanaman rambat menahan tangan dan kakinya, member batas untuk bergerak. "Arcsull."

"Kembalilah ke Istana, duduki singgasana milikmu."

"Arcsull." Matanya mulai memerah sebelum akhirnya api membakar tanaman yang menahannya. Lucius mencekik Arcsull kuat, hingga mata Arcsull berubah menjadi putih. Dia tidak bisa menahan rasa sakit yang ditimbulkan tangan api itu. "Jangan pernah membicarakan neraka denganku."

Dengan kuat, Lucius melepaskan cekikannya sebelum Arcsull kembali ke wujud asli sepenuhnya. Pria itu terbatuk-batuk.

"Ingat itu," ucap Lucius berdiri, dia melangkah beberapa kali sebelum membentangkan sayapnya yang besar. Kepakannya mampu membuat kabut berlarian, dia terbang begitu tinggi dengan sayap kuatnya dan menembus awan hitam. Suara petir terdengar jelas begitu Lucius masuk ke dalamnya.

Arcsull mencebik, "Pangeran iblis."

Di waktu yang sama, Lucius menginjakan kakinya di karpet dari bulu harimau, dia meregangkan ototnya. "Ada masalah apa, Dorothy?" Bertanya pada wanita di belakangnya.

Wanita tua itu tetap menunduk dengan ketakutan, tangannya bergetar. "Lumina sekarat, dia meminum racun."

Begitu tangan Lucius mengeluarkan api, Dorothy mundur ketakutan, dia bersimpuh memohon. "Ampun, Tuanku, akan saya turuti perintah anda."

Lucius membalikan badan, api di tangannya mulai padam. Dia mendekat dan berdiri di depan Dorothy. "Rawat dia dengan baik sampai pulih, atau kau akan kembali terbakar."

"Ya, ya, Signore," ucapnya segera keluar dari kamar Lucius.

Pemilik mata hitam itu tersenyum miring, dia memejamkan mata mengingat kembali aroma yang dia cari cukup lama. Walaupun masih samar, tapi Lucius merasakannya. Yakin bahwa itulah yang dia cari. Dirinya cukup mencari tahu cara membuka segel yang melindungi Lumina, hingga dia merasakan dengan jelas keberadaan benda yang dicarinya.

Tatapannya beralih pada lukisan, gambar permata biru yang diselimuti darah.

----

Love,

Ig : @Alzena2108