Vote sebelum membacaš
.
.
"Lumina mengapa kau terburu-buru?"
"Hati-hatilah, ini masih gelap," ucap pria lain yang disetujui Ali. Mereka bertiga, yang bertugas membawa gerobak berisikan sayuran itu mempercepat langkah mengikuti Lumina yang memegang lampu gantung dengan keranjang berisikan anggur.
"Lumina, hati-hati," teriak Ali saat perempuan itu melewati sungai daripada jembatan di atasnya.
"Mengapa dia selalu melewati sungai padahal ada jembatan?"
Ali menggeleng menjawab pertanyaan temannya yang sedang duduk di atas roda miliknya, diantara jagung. "Dia suka air," gumamnya memperhatikan perempuan yang kembali naik ke permukaan dengan langkah cepat.
Pukul empat dini hari Lumina sudah terjaga, mengambil kebutuhan dari kebun. Sayuran dan buah segar harus dipetik langsung dari kebun. Setiap hari membawa segerobak sayuran, rasanya dalam kebun itu tidak ada habisnya. Dan di kastil, mereka cepat habis dalam waktu sehari.
"Lumina!"
Pemilik nama itu mengabaikannya, memilih melangkah lebih cepat untuk sampai di kastil. Bukan karena takut, hanya saja ada yang harus Lumina pastikan. Tidak ada yang harus ditakutkan, tiga pria dibelakangnya mampu menolongnya jika terjadi apa-apa.
Lumina ingin mimpi itu tidak datang lagi. Hal aneh kembali terjadi. Semalam, saat dirinya merasa dicekik oleh sesuatu tidak kasat mata, membuatnya mengejang hingga diambang kematian, tidak ada tanda apapun saat pagi hari. Rambutnya rapi seperti sebelum tidur, tidak ada bekas apapun di lehernya. Tidak ada lecet di tubuh, bahkan Lumina merasakan bugar saat bangun di pagi hari.
Membuatnya kembali menarik kesimpulan bahwa ini hanyalah mimpi. Namun, Lumina mengingat jelas sentuhan pria itu, bagaimana lancangnya dia menyentuh yang seharusnya tidak boleh dia sentuh.
Lumina ingin menghentikan kegilaan ini.
Matanya menatap sentu kastil yang tersusun dari batuan itu, sampai kapan dirinya akan terjebak? Itu yang dia tanyakan pada dirinya sendiri.
"Kau yang di sana," tunjuk seseorang begitu dia masuk ke pintu kayu. "Cuci pakaian di sini."
Pukulan pada bagian betisnya membuat Lumina menjerit, dia menatap Dorothy yang ada di belakangnya, mengintrupsi untuk segera melakukan pekerjaan itu.
Pakaian yang harus dicuci tidak sedikit, ini milik para pelayan. Entah mengapa, Lumina merasa yakin kalau hampir semua orang yang ada di sini begitu tidak menyukai dirinya. Ada saja pekerjaan yang memberatkannya, seperti mencuci yang biasanya dilakukan oleh masing-masing.
Tidak ada mesin cuci, kastil mewah ini tidak begitu modern untuk ikut peradaban. Lumina merasakan dirinya berada di zaman kuno. Lelah dan perbudakan. Beberapa jam tidak cukup untuknya.
Merasa Dorothy tidak ada di sekitar, Lumina segera pergi dari tempat mencuci.
"Aku selesai, tinggal menjemur masing-masing," lapornya pada wanita seumuran Dorothy yang sedang mengawasi makanan untuk disajikan.
"Kenapa kau tidak menjemurnya sendiri?" Ā
"Bawakan air ini, Tuan Lucius sedang sarapan!" Teriak Serena yang sedang menyiapkan makanan untuk para pelayan.
Tanpa berkata, Lumina mengambilnya, dia berjalan cepat menuju ruang makan. Alih-alih menuangkan dalam gelas, Lumina menyiramkannya di atas kepala Lucius. Berhasil membuat semua pelayan yang melihatnya shock. Terutama Dorothy, dia menampar Lumina seketika, menjambaknya lalu melemparkannya tepat di kaki Lucius. "Minta ampunan," perintah wanita itu.
Lucius mengusap wajahnya yang terkena air, dia meninggalkan sarapan dan terfokus pada perempuan yang menatapnya penuh amarah. Bibir Lucius menyungging, membuat perempuan bermata biru itu lebih kesal hingga dia hendak kembali menyerang Lucius. Beruntung Dorothy mencegah, dia kembali membenturkan kepala Lumina ke lantai hingga dia merasa pusing.
"Hentikan kegilaan ini, Tuan," gumamnya memegang kepala yang berdarah. Lumina terbaring lemas, penglihatannya yang buram menangkap Lucius berdiri di depannya. Pria yang dibalut jas hitam itu menatapnya tajam, layaknya elang mengintai mangsa, lebih menakutkan dari singa yang kelaparan.
"Hentikan kegilaan ini. Berhenti datang padakku."
Niat Dorothy untuk membawa Lumina pergi dari hadapan Lucius terhenti saat dia mendapatkan tatapan tajam dari tuannya. Hening, hanya terdengar suara langkah samar dan burung gagak di saat detik-detik Lumina melihat sayap dibelakang tubuh Lucius. Penglihatannya buram, darah menetes mengalir melewati kelopak matanya. Namun, dia masih bisa melihat bagaimana sayap itu membentang, sekuat baja, tajam melebihi pisau. Mereka mengkilap, hitam persis seperti mata Lucius.
Lumina terkekeh. "Kau iblis," gumamnya hendak menggapai Lucius. Tangannya terangkat, memohon untuk kembali menyalurkan emosinya. "Pergi dari otakku atau aku akan membunuhmu!"
Suara pukulan terdengar begitu keras. Dorothy tidak bisa menahan emosi, dia membenturkan Lumina hingga pingsan. Dia membungkuk. "Maaf, Tuanku, dia butuh pelajaran."
"Bawa dia ke ruang bawah tanah."
****
Pengab yang Lumina rasakan, karbondioksida lebih mendominasi di ruangan gelap itu. Dingin tidak bisa dia lawan, apalagi rasa sakit di sekujur tubuhnya. Yang dia ketahui, dirinya di masukan ke penjara bawah tanah, di mana di dalamnya terdapat sumur dengan air sebatas mata kaki. Di sanalah Lumina berada, dia dilempar dengan keji hingga luka-luka di tubuhnya bertambah. Penglihatannya mengandalkan sinar api yang berada di dekat pintu besi.
Tidak ada yang bisa mengetahui waktu di dalam sana, tapi Lumina cukup yakin ini sudah malam di luar sana. Dirinya terperangkap, tanpa makan, hanya air keruh yang bisa melepaskan dahaganya.
Pelan, sembari menahan sakit, Lumina mencoba tidur terlentang, tidak menghiraukan air yang masuk ke dalam telinga. Yang dia lihat hanya warna hitam. Tidak menakutkan untuknya jika harus mati di sini. Sekarang atau nanti, dirinya takkan pernah bisa keluar dari tempat ini. Untuknya sekarang, lebih cepat lebih baik.
Perlahan mata itu menutup, membiarkan alam membawanya.
Lumina tidak bisa membedakan ini mimpi atau bukan. Yang jelas, telinganya mendengar seseorang masuk ke dalam air, melangkah mendekat dan diam di sampingnya.
Mata birunya perlahan terbuka, menatap seseorang yang sedang mengelus rambutnya pelan.
"Sudah kuduga, ini mimpiā¦," ucapnya hampir terkalahkan suara angin. Lumina membiarkan seseorang itu membasuh wajahnya. Dengan gerakan pelan, Lumina benar-benar merasakan ini adalah mimpi. Tidak mungkin dia berada di sini, di bawah tanah dalam kubangan air bersamanya. "Kenapa kau selalu muncul dalam mimpiku?"
"Kau pikir ini mimpi?" Bertanya dengan suara berat, mata hitamnya focus pada luka Lumina.
"Ini memang mimpi, Bodoh. Sepertinya aku terlalu membencimu, Tuan Lucius."
Pria itu terkekeh, membuat Lumina kembali bergumam pelan, "Aku kalah dengan kegilaan." Mendekat dan membaringkan kepalanya di pangkuan Lucius, memaksa tangan itu untuk mengelus kepalanya. "Akan aku nikmati."
Suara pintu besi terbuka tidak Lumina hiraukan, dia benar-benar menikmati elusan yang dilakukan Lucius. Tepat di bibir sumur, Lumina melihat Dorothy tengah menatapnya, wanita itu melemparkan sepotong roti pada dirinya, yang jatuh pada air. "Itu makanan untuk tiga hari ke depan."
Lumina menatap datar. "Aku harap dia terbakar," gumamnya pelan.
"Kau ingin dia terbakar?"
Pertanyaan Lucius membuat Lumina tersenyum, pria itu ikut menatap ke arah Dorothy.
"Aku harap dia terbakar, mengapung di udara, lalu menghilang."
"Kau benar-benar gila," ucap Dorothy menatap jijik Lumina.
Perempuan bermata biru itu tidak menyangkal, mungkin dirinya memang begitu. Lucius tidak terlihat untuk Dorothy, yang berarti pria itu adalah bagian dari imajinasinya.
"Kau ingin sekarang?"
"Bakar dia, Tuan."
Sedetik setelah pengucapan, Dorothy terbakar seketika. Seperti keinginannya, dia mengapung dengan jeritan melengking menemani. Dia berontak, mencoba memadamkan api merah yang datang begitu saja. semakin lama gerakannya semakin pelan, hingga akhirnya dia hilang bersamaan dengan abu merah.
Tatapan mereka bertemu, pemilik mata biru itu tersenyum senang. "Mimpi yang indah. Aku gila," gumamnya kembali memejamkan mata, merasakan usapan lembut pada pipinya.
Sebelum kegelapan benar-benar membawanya, Lumina baru menyadari, bahwa air biasanya membuatnya tenang, focus, dan penghancur kesakitan. Dan air yang kini meredam tubuhnya kini sebaliknya, Lumina merasakan amarah yang belum terpuaskan, seakan ada bara api yang memenuhi dadanya, dahaga ingin segera terpuaskan.
"Air ini terbuat dari api, Lumina."
---
Love,
Ig : Alzena2108