Vote sebelum membacaš
.
.
Mata itu terbuka seketika, matahari hampir terbangun, dan dia masih terbaring dengan tubuh yang penuh keringat. Jantungnya berdetak kencang, merasakan apa yang semalam terjadi bukanlah mimpi. Namun, nyatanya saat Lumina bangun, pakaiannya lengkap, tidak ada satupun yang rusak. Berbeda dengan apa yang terjadi semalam.
Lumina menutup wajahnya mengingat itu. Tidak mungkin Lucius benar-benar datang, menakutinya, menjilati lehernya lalu merusak pakaiannya. Setelahnya dia seperti mengendus mencium sesuatu dari tubuhnya. Mengingat itu membuat pipi Lumina memanas, tidak mungkin ini terjadi. Dia pasti bermimpi akibat kelelahan.
Suara pintu terbuka secara paksa membuatnya kaget.
"Kau masih berbaring?"
"Aku akan segera berpakaian," ucap Lumina masuk ke kamar mandi sebelum Dorothy memukulnya. Dia mencuci wajahnya, menyikat gigi lalu mengganti pakaian. Mengingat Dorothy yang pasti menunggunya di sana membuat Lumina tidak ingin menyia-nyiakan waktu.
Menggelung rambutnya asal adalah satu-satunya cara mempersingkat waktu. "Maaf, Madam."
"Balikan badanmu," ucap Dorothy dengan tangan yang memegang rotan.
Perlahan Lumina membalikan badan, menurunkan kaos kaki dan membiakan benda itu memukul betisnya sebanyak lima kali. Sakit, dapat Lumina rasakan darah yang keluar perlahan.
"Sumbat itu dengan apapun, setelahnya pergi ke kebun mengambil kubis."
"Baik, Madam." Lumina segera mengambil tissue, membasahinya dan membersihkan luka itu. Untuk menyumbat, Lumina menggunakan plester lalu kembali menutupnya dengan kaos kaki.
Segera dia keluar dari kamar, menuju dapur untuk mengambil keranjang. "Maaf aku telat, Ali," ucapnya pada pria berwajah timur itu. Ali yang juga bertugas mengambil bahan makanan segera mendorong roda yang berisikan benih, diberikan pada yang berjaga di kebun untuk ditanam.
"Ke mana yang lain?"
"Mereka masih memiliki tugas lain," jawab Ali tanpa menatap. Pria yang tingginya sama dengan Lucius itu mengingatkan kembali Lumina pada hal memalukan semalam. Bisa-bisanya dia mimpi basah dengan tuan besarnya.
"Apa kau nyaman tinggal di sini?"
"Aku mencoba untuk nyaman, Ali," jawabnya melepaskan sepatu lalu turun ke sungai.
Ali yang melihat itu terdiam dengan roda yang dipegangnya. "Di sini ada jembatan, Lumina."
"Aku sangat suka air di sini, begitu dingin," ucapnya tersenyum saat air mengalir membasahi kakinya, Lumina terdiam sesaat di tengah sungai dangkal itu. "Pergilah, aku akan menyusul."
"Baikā¦..," ucap Ali melewati jembatan kayu tua, bagian sisinya sudah ditumbuhi tanaman rambat, menandakan jembatan itu sudah lama ada. Apalagi sepanjang perjalanan hanya ada pepohonan, daun yang berguguran jatuh ke jembatan dan membuatnya lebih menyeramkan untuk yang pertamakali datang.
Lumina memilih meninggalkan sepatu dan kaos kakinya di sana. Dia berjalan tanpa alas menyusul Ali, dengan keranjang yang siap di isi buah-buahan. Di kaki bukit itu, Ali tengah mengganti isi roda dengan sayuran. Dari jarak 50 meter Lumina dapat melihat kuatnya pria itu mengangkat semua benih dan memasukannya ke dalam gudang.
Dia masih terdiam, menikmati alam yang menyegarkan. Nyatanya, kesegaran itu tidak bertahan lama, Lumina merasakan sesuatu menempel di pundaknya. Begitu menengok, dia tersenyum menemukan kupu-kupu biru sebesar telapak tangannya. Sayapnya yang bercorak hitam membuatnya tampak cantik.
Tangannya hendak menyentuh sayapnya, tapi terhenti ketika mendengar, "Hati-hati dengan pria bermata hitam,"
Tubuhnya menegang, dia menatap terkejut kupu-kupu itu. Menggeleng pelan saat pikirannya menanyakan hal yang tidak masuk akal. Lumina yang merasa dirinya mulai gila itu mengibaskan tangan mengusir makhuk bersayap itu. Sedetik kemudian dia berlari. Kain yang menjadi alas keranjang jatuh, Lumina memegang kepalanya. "Aku mulai gila."
***
"Terima kasih, Serena," ucapnya memberikan kembali mug berisi air gula dan jahe yang dibuatkan temannya itu, Lumina mengusap sisanya di ujung bibir.
"Cobalah bertahan, aku juga melewati fase-fase gila saat tahu aku terkurung di sini selamanya."
Matanya menatap perempuan yang berdiri di depannya. Lumina mengangguk. "Aku butuh istrahat."
"Good night, Lumina."
"Night, Serena," ucapnya melambaikan tangan saat Serena menutup pintu kamarnya. Satu hari yang sangat lambat untuk Lumina, kurangnya focus membuat Lumina mendapat tatapan tajam dari Dorothy. Mungkin, itulah yang membuatnya stress, membuatnya penuh dengan ketakutan hingga berhalusinasi.
Lumina mengikat rambutnya rapi sebelum membaringkan badan, dia menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Mengambil napas dalam sebelum mematikan lampu tidur di nakas. Lumina menghadap tembok, memejamkan mata dan mencoba meraih alam mimpi.
Lama kelopak matanya tertutup, Lumina belum juga terlelap. Hingga sebuah usapan di kepala membuat dia membuka matanya seketika, Lumina membalik badannya dalam gelap. Tubuhnya menegang merasakan hembusan napas hangat, tepat pada lehernya.
"Siapa kau?" Suaranya tercekat, seakan di bawa angin malam. "Jangan mimpi ini lagiā¦."
"Kau pikir ini mimpi?"
Lumina menelan ludah kasar, saat tangan kekar itu menelusup masuk ke dalam selimut, menelusuri kakinya, dari betis hingga berakhir di pangkal paha.
"Signore?" Lumina mencoba memastikan.
"Aku tuanmu," ucapnya dengan tangan meremas paha perempuan itu. Saat Lumina hendak berontak, pria itu menindihnya seketika, mengunci tangannya di atas kepala. "Jangan coba memberontak."
Kini Lumina yakin ini bukanlah mimpi. Seharian ini dia mencoba menghindari Lucius, malu dengan apa yang diimpikan malam lalu. Namun, tidak seperti perkiraan, ini nyata, pria ini dihadapannya. "Jangan berhenti bernapas, biarkan aku mencari tahu apa dirimu."
"Apa maumu?" Lumina memejamkan mata saat pria itu menjatuhkan kepalanya di ceruk leher miliknya. Membuat Lumina geli dan juga ketakutan. "Apaā¦. Maumu?"
"Kebenaranā¦"
"Tentang apa?"
"Mungkinā¦." Lucius mengangkat kepalanya, dia yang sedang duduk di atas Lumina itu menatapnya dalam kegelapan. Tangannya yang lain memegang leher Lumina dan mengusapnya pelan sebelum akhirnya melepaskan, menjauhkan tangannya dari perempuan itu.
Lucius melipat tangannya di dada, menatap Lumina yang mencoba menyingkirkan dirinya. Tidak selang satu detik, Lumina tiba-tiba menjerit kesakitan sambil memegang lehernya. Dia terbatuk, sesak seakan seseorang sedang mencekiknya begitu kuat.
Tidak ada yang mendengar jeritan Lumina, rasa sakitnya, saat dirinya diambang kematian. Koridor kastil begitu sepi, hanya pria yang kini tengah menatapnya yang tahu apa yang Lumina rasakan.
Pemilik mata biru itu mulai merasakan cairan asam, rontaannya mulai melemah. Dan sebelum matanya benar-benar terpejam, dia melihat mata pria di depannya menyala, merah bagaikan api yang marah.
Lucius menggeleng pelan. "Kau sedikit nakal."
---
Love,
Ig : @Alzena2108