Chapter 5 - Bab 5

Vote sebelum membaca😘

.

.

Suara seseorang terjatuh terdengar begitu keras. Lumina mengadah, menatap seseorang yang melakukannya. Michelle nama wanita yang selalu memakai liontin berbentuk hati itu, dia dengan sengaja mendorong Lumina, menyebabkannya berguling dari atas meja. "Maaf, aku tidak sengaja," ucapnya kembali membersihkan atap ruang penyimpanan bahan makanan.

Lumina yang lemah itu kembali berdiri, menaiki meja dan menjangkau bagian yang kotor. Masa percobaannya belum berakhir, Dorothy menyuruhnya melakukan apa saja. Jika sudah melewati waktu satu bulan, maka akan ditetapkan dirinya akan bekerja di bagian mana. Setidaknya itulah yang dikatakan Serena padanya. Michelle datang satu minggu lebih awal darinya, yang artinya dia juga dalam masa percobaan.

Dengan sapu dia mencoba menjangkau bagian kotor. Sebagian atap ruang penyimpanan adalah kaca, membiarkan cahaya matahari masuk memanggang bahan makanan agar tidak busuk. Itu pula yang membuat Lumina sulit membersihkan, silau .

Entah apa tujuan Michelle, dia kembali menyenggol Lumina hingga dia kembali terjatuh. "Sorry….."

Lumina yang sudah sangat kesal itu menarik kaki Michelle, menyebabkannya berteriak lalu jatuh di atas keranjang berisikan bawang bombai.

Pemilik mata abu itu menatapnya tajam. "Apa yang kau lakukan?"

"I'm so sorry, tadinya aku akan naik, tapi kakimu tidak menahan tubuhku terlalu kuat," ucap Lumina tanpa menatap, dia kembali naik ke atas meja dan membersihkan bagiannya.

"Bersihkan ini," tunjuk Michelle pada bawang yang berserakan.

Lumina menatap sedetik, dia menggeleng. "Itu ulahmu, kau tidak menutup rapat bawang itu hingga dia terkena debu dan jatuh ke mana-mana."

"Bersihkan ini!"

Tidak mendapat jawaban membuat Michelle marah, dia menarik Lumina hingga dia ikut jatuh. Beruntung, kini Lumina mendarat di atas setumpuk tepung. Berdebu dan empuk.

"Kau yang memulai ini, Sciocco (bodoh.)."

Michelle tampak terkejut. "Come ti permetti! (Beraninya kau mengatakan itu!)" Pemilik rambut cokalat itu hendak menyerangnya, tapi Lumina mendorongnya lebih dulu.

"Sciocco, (bodoh.)" gumamnya meledek Michelle yang lebih lemah dari penempilannya.

"Hei, Lumina, hei hentikan." Seseorang menahan tubuh Lumina yang hamper menyerang Michelle, Serena mendorong pelan perempuan berambut hitam itu. "Lumina, tenang."

Serena berbalik menatap Michelle. "Dorothy memanggilmu, Michelle."

"Aku tidak tahan berada di sini." Lumina duduk di atas karung beras saat melihat Michelle menjauh. "Aku ingin keluar dari sini, apa tidak ada cara?"

"Sheter baru saja keluar," ucap Serena duduk di sampingnya. " Dia mengumpulkan gajinya selama 30 tahun untuk membayar dirinya sendiri pada Signore Lucius."

"Dan aku harus menunggu 30 tahun?" Menatap Serena dengan frustasi.

"Kau belum mendengar tentang Paquitta 'kan?"

Lumina menggeleng, dia menerima dengan bingung saat Serena memberinya sepotong roti. Menghapus kebingungan itu, Serena berucap, "Aku tahu kau belum makan dari kemarin."

"Ceritakan tentang Paquilla," ucapnya mulai melahap roti itu.

"Paquilla adalah pelayan, sama seperti kita. Suatu malam dia bertemu dengan tamu Signore Lucius, mereka jatuh cinta. Pria itu menebus uang untuk kebebasan Paquilla."

"Maksudmu? Kita harus menggoda para tamu itu?"

Serena terkekeh, dia mengangkat bahunya. "Mungkin. Dua minggu lagi pesta akan diadakan, pastikan kau mempersiapkan diri dari sekarang."

"Pesta? Again?"

"Ini dalam rangka ulang tahun tuan kita."

***

Tidak ada yang lebih nikmat dari sepotong roti setelah selesai bekerja. Lumina dengan keheningan malam, di dapur sendirian, memakan roti yang diberikan Dorothy. Mengolesinya dengan selai kacang menambah kenikmatan untuknya.

Malam sudah larut, mungkin hanya dia yang masih terjaga. Itu dikarenakan Lumina yang membereskan bekas makan malam tuannya dan pelayan lain, sebagai bentuk hukuman tambahan. Tidak ada yang membantu, Serena yang berniatpun ditahan oleh Dorothy. Wanita tua itu menyuruh seluruh pelayan kembali ke kamar mereka, mengingat tuan besar telah masuk ke kamarnya.

Selesai mengisi perut, Lumina meminum air dingin untuk menambah kesegaran. Dia tersenyum puas saat sendawa. "Ini begitu nikmat," ucapnya mengusap perutnya yang rata.

Selagi melangkah menuju kamarnya, Lumina membuka ikat rambut yang seharian ini mengikatnya. Dia juga melonggarkan ikatan baju di bagian belakang merasakan sesak di perutnya.

Kepalanya menggeleng pelan, melihat kamarnya yang gelap. Tidak ada sinar, bahkan bulan seakan tidak ingin terjaga mala mini.

Sebuah bayangan menghentikan Lumina yang hendak menyalakan lampu, dia mundur perlahan saat sosok itu mendekat. "S−siapa kau? Ak−hmmmppp!"

Pria itu membekap, menahan Lumina yang hamper menjerit. Tangannya yang lain mengunci kedua pergelangan tangan Lumina, mengangkatnya ke atas yang mana membuatnya semakin ketakutan.

Lumina meronta saat seseorang yang dia yakini adalah seorang pria itu mengendus lehernya lalu menjilatnya pelan. Dia menahan napas saat pria itu semakin rapat dengan tubuhnya.

"Who are you?"

Tubuh perempuan setinggi 148 cm itu menegang, mengenali suara ini. Saat pria itu berhenti membekapnya, Lumina dengan bibir bergetar memastikan, "Signore?"

"Siapa kau sebenarnya?" Tubuh Lucius merapat, menghimpit Lumina antara pria itu dengan dinding.

Pemilik mata biru itu semakin ketakutan, tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuhnya dikunci dengan sempurna.

"Apa yang kau tutupi?"

"Aku…. Aku tidak mengerti, Signore," ucapnya memalingkan wajah saat pria berparas tampan itu semakin mendekat. Bersamaan dengan itu, cahaya bulan memasuki kamarnya, membuat Lumina melihat dengan jelas mata hitamnya, hidungnya yang mancung beserta rahangnya yang kokoh. Pria dengan paras sempurna itu membuatnya ketakutan, apalagi saat dia tiba-tiba mencium lehernya, menjilat seakan itu adalah ice cream.

"Signore…..," ucap Lumina penuh ketakutan.

"You're my slave."

---

Love,

Ig : @Alzena2108