Chapter 4 - Bab 4

Vote sebelum membaca😚

.

.

"Ini sprei yang kau butuhkan."

"Terima kasih, Nani." Lumina mendekap sprei putih itu. Langkahnya terhenti di ujung tangga, menatap lantai dua yang belum pernah dia pijak sebelumnya. Di setiap langkahnya, jantungnya semakin berdetak kencang.

Suasana di lantai dua lebih mencekam. Cahaya matahari begitu terbatas, terdapat tumbuhan dalam pot di pinggir jendela yang menghalangi cahaya masuk. Kembali, Lumina mendapati patung meyeramkan, sejenis hewan dengan taring dan tanduk juga sayap yang menutup. Saat melangkah melewati koridor, hanya ada pencahayaan dari lampu dinding, berwarna kuning. Semakin menambah kesan menakutkan. Terlebih lagi banyak lukisan aneh. Seperti yang membuatnya berhenti melangkah saat ini, lukisan warna hitam dengan dua mata merah di tengah.

Lumina bergidik. "Lindungi aku," gumamnya kembali berjalan.

Selama dia melangkah menuju kamar tuan besar, hanya ada satu pelayan yang ditemuinya. Itu juga di dekat tangga. Untuk selanjutnya, hanya ada kesunyian dan barang-barang menakutkan lainnya.

Seperti perintah Dorothy, Lumina mengetuk pintu dua kali sebelum membuka pintu. Hanya ada dua ruangan di ujung koriodor, yaitu tempat bersantai yang terbuka dan menyatu dengan koridor, lalu kamar tuannya. Dinding yang tersusun dari batuan membuat Lumina merasa kalau istana ini seharusnya jadi bangunan wisata.

Hal itu semakin meyakinkan saat masuk ke kamar tuannya. Tempat ini gelap, hanya ada dua cahaya api yang menerangi. Seperti dalam film, terdapat obor kuno sebagai pencahayaan, kursi kayu, dinding batu dan ranjang. Hal aneh kembali terjadi, ranjang itu sudah sangat rapi. Seperti belum tersentuh, sedingin angin musim gugur.

Suara seseorang tengah mandi membuat Lumina menelan ludahnya kasar, dia harus segera pergi dari kamar sebelum tuannya selesai. Dan sial, pintu itu tiba-tiba terkunci. Berkali-kali Lumina mencoba membuka, tapi tidak bisa.

"Apa yang terjadi?" gumamnya panic. Lumina menarik gagang pintu kuat, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Pintu itu seolah terbuat dari beton, menahannya untuk tinggal.

"Apa yang harus aku lakukan?" Panik melandanya, dia mendekat ke arah jendela. Membukanya dan, "Aaaa!"

Lumina menjerit saat dia melihat bangkai burung gagak itu ada. Dia menutup mulutnya, kepalanya condong, melihat ke dinding luar. Jeritannya tertahan saat melihat darah itu masih ada di sana.

Mata Lumina berair menahan tangisan, dia mundur perlahan mencoba memastikan salah lihat. Dirinya yakin, pagi tadi tidak ditemukan apapun. Kembali memastikan, Lumina kembali melihat. Dan itu masih sama.

Hanya mengatur napas yang dia bisa lakukan. Dirinya terjebak di kamar tuannya yang misterius, ditambah kejadian barusan menambah keyakinan kalau semalam dirinya bukan salah lihat.

Sebuah sentuhan di bahu membuatnya menjerit kuat. Begitu membalikan badan, Lumina berhadapan dengan seorang pria dengan tatto di dadanya, bergaris menyerupai tumbuhan. Begitu pekat, berwarna hitam dengan gambar mata di bahu bagian kirinya. Perlahan mata Lumina terangkat, dia menunduk sedetik setelah menatap mata hitam milik tuannya, Lucius.

"Akkhhh!" Lumina menjerit saat pria yang hanya memakai handuk di pinggangnya itu mencekik, begitu kuat hingga dia hamper kehabisan napas. Apalagi saat Lucius mengangkat tubuhnya, dengan jelas memaksanya menatap mata kelam itu.

"Who are you?"

"I....., Sir," ucapnya disertai rontaan meminta oksigen.

Yang Lumina rasakan hanya sesak, berkunang ketika pria itu melemparnya keluar kamar. Keningnya yang terbentur dinding berdarah, membuatnya pusing hingga tidak bisa melihat dengan jelas. Namun, telinganya masih bisa mendengar, "Jangan pernah masuk ke sini. Lagi."

***

"Lumina?"

"Astaga!" Dia mengusap dadanya.

"Kenapa kau banyak melamun akhir-akhir ini?"

"Aku, hanya sedikit tidak enak badan," ucap Lumina kembali terfokus pada bawang yang sedang dicincangnya.

Serena yang penasaran mendekat, dia menyandar pada meja. "Kenapa kau menutupi lehermu?"

"Aku sedang tidak sehat, Serena."

"I think yo−"

"Serena, lalukan tugasmu." Dorothy datang dengan bertolak pinggang, matanya mengedar mencari kesalahan. Hingga cukup puas dengan pekerjaan bawahannya, dia berdeham, "Tuan Besar akan tiba 15 menit lagi. Pastikan makan malam siap."

"Yes, Madam."

"Lumina?"

"Ya?" Dia membalikan badan seketika, menunduk dengan tangan bertautan. Beberapa hari di sini mampu membuatnya paranoid, apalagi mengingat kejadian-kejadian menakutkan.

"Ambil anggur di ruang penyimpanan, dengan label tahun 1976."

"Baik, Madam," ucapnya segera mengambil keranjang yang dialasi kain putih.

Ruang penyimpanan anggur yang jaraknya 50 meter itu membuat Lumina berlari, mengingat tuan besarnya akan segera tiba.

Dia terengah, penuh keringat dan rasa haus. Meminta izin penjaga sebelum masuk. Ruang penyimpanan yang luasnya sama dengan panti tempatnya dulu. Masih penuh pertanyaan kenapa ruangan ini terpisah jauh dari kastil.

Tangan putih itu menelusuri kayu yang menyangga anggur-anggur itu tetap pada tempatnya, bergumam kecil setiap membaca tahun pembuatan. Tersenyum tipis saat mendapatkan apa yang dipesan.

Ruangan yang cukup menakutkan, minim pencahayaan dan hanya kesunyian. Lumina tidak menyukainya, semenjak kejadian tadi dia tidak lagi suka kesunyian. Tidak ada orang yang akan membantu jika dia dalam masalah, itu yang dipikirnya. Apalagi ruangan ini dipenuhi tanaman merambat, penuh akar dengan lantai kayu yang usang. Luas memang, tapi tidak layak untuk manusia.

"Thanks, Mark." Lumina melambaikan tangan pada penjaga tua di sana.

Dia kembali berlari, kaki kecil yang diselimuti kaos kaki putih lalu dibalut sepatu hitam itu tidak ingin mendapat pukulan dari rotan Dorothy. Merasakan ketakutan itu merambat ke seluruh nadinya, Lumina sampai tidak sadar ada mobil. Dia menjerit ketika benda yang hamper mencabut nyawanya itu berhenti tepat satu jengkal dari arahnya.

Dengan tubuh yang masih gementar, matanya yang penuh ketakutan menatap seseorang yang keluar dari dalam mobil. Lucius, pemilik mata hitam yang menatapnya tajam selama beberapa detik. Lumina mendekap anggur itu, dia mundur perlahan dengan jantung berdetak kencang.

"Minggir dari sana," teriak supir menyadarkan Lumina, dia menepi, mendekati pintu utama di mana Lucius masuk dari sana.

Tidak sampai lima detik setelah mobil melaju, Lumina ditarik lalu ditampar begitu kuat. Matanya berkaca-kaca, menatap Dorothy yang melakukannya. "A−apa salah saya, Madam?"

"Kau membuat Tuan Lucius kesal, kau pikir aku tidak tahu apa yang kau perbuat huh?" Dia mendorong kepala Lumina kuat hingga terjatuh, menyebabkan anggur yang dilindungi botol kaca itu pecah.

Semakin panic, pemilik mata biru laut itu mengadah menatap Dorothy yang mengepul mengumpulkan amarah. "I−I'm sorry, Madam."

"Kau tidak akan dapat makan untuk sekarang dan esok. Itu hukuman karena kau bertindak ceroboh. Mengerti?"

"Yes, Madam."

Kepergian Dorothy berhasil mendobrak pertahanan Lumina, dia menitikan air mata. Kenapa dia selalu berbuat salah? Jantungnya bahkan tidak menyetujui keberadaannya di sini, ini bukan tempat yang tepat untuknya. Mengingat kembali ucapan wanita aneh malam lalu, mungkin benar dia harus berhati-hati dengan tuannya.

---

Ig : @Alzena2108