Chapter 3 - Bab 3

Vote sebelum membaca😚

.

.

"Aku tidak bisa melupakan ucapan wanita itu," gumam Lumina pada dirinya sendiri, bahkan masih terbayang bagaimana tajamnya tatapan, ucapan yang penuh penekanan. Berhasil membuatnya terus menerus terjaga di sepanjang malam. Lumina ingin keluar menghirup udara segar, tapi ada aturan bahwa setelah tuan besar terlelap, maka tidak boleh ada yang keluar kamar.

Dan Lumina bukanlah orang yang bisa menahan keinginan sebesar itu, dia butuh udara, butuh kesegaran yang membuatnya lebih baik. Karenanya, dia keluar mengendap, begitu perlahan hingga serangga pun tidak menyadari keberadaannya. Bukan hal biasa untuk kabur semacam ini, saat di panti Lumina sering melakukannya.

Tahu pintu depan selalu dikunci, Lumina memilih jalan belakang. Di mana ada jendela kayu yang tidak pernah dikunci, dekat dengan bagian penyimpanan bahan makanan.

"Akhirnya." Lumina melepaskan ikatan rambut, membiarkan angin malam menerpanya. Beruntung di area sepi ini penjaga jarang terlihat.

Vatikan, kota yang membuatnya takut saat kecil. Para pengasuh selalu menakut-nakuti anak nakal dengan kota ini, berkata bahwa Vatikan penuh dengan hal-hal mistis, melenyapkan jiwa-jiwa hampa, penculik anak-anak dan menguburkannya hidup-hidup.

Memang, kota ini terasa sunyi, apalagi istana yang ditempati Lumina. Kemajuan teknologi seakan tidak berpengaruh, istana masih mempertahankan gaya kunonya dengan barang-barang yang membuat Lumina sedikit risih. Patung naga, pakaian para pelayan dan tuannya, juga tatapan tajam seakan ingin membunuh.

Langkahnya terhenti di dekat kolam, tempat dia bertemu wanita aneh itu. Lumina memasukan kakinya ke dalam air, mendesah pelan mengekspresikan kenikmatan.

"Aku akan menghasilkan uang yang banyak, Jane. Kau tidak perlu khawatir saat musim dingin tiba," ucapnya mengingat anak kecil dengan wajahnya yang cacat, tiga tahun mengenalnya membuat Lumina sangat menyayanginya. Dia ingin membebaskannya dari sana, Jane selalu jadi bahan bullyan. "Saat waktunya tiba, kau akan keluar dari sana dan mendapatkan apa yang layak."

Kakinya berayun menikmati dinginnya air. "Tujuanku saat ini hanyalah menghasilkan uang, dan member Jane kehidupan yang layak."

Dia tersenyum pedih. "Kuharap semudah itu, aku tidak tahu sampai kapan akan di sini. Mengabdi pada Tuan yang bahkan membuat jantungku sakit, tidak ada aura positif di wajahnya."

Tiba-tiba burung gagak berterbangan, membuat Lumina berdiri seketika dan bersembunyi di bawah pohon. Dia menatap ke langit, sekelompok gagak itu terbang seakan dikejar sesuatu. Entah apa yang terjadi, burung-burung itu menabrakan diri ke dinding istana, tepat di sekeliling jendela kamar tuan besar. Jantung Lumina berdetak kencang, terasa sakit saat cahaya bulan memperlihatkan darah gagak yang menghiasi.

"Apa yang terjadi?"

Sedetik kemudian, Lumina hampir berhenti bernapas. Bersamaan dengan bulan yang tertutup, Lumina melihat seekor burung yang besarnya berpuluh-puluh kali lipat terbang membelah langit. Tangannya mengepal menahan takut, burung itu lebih besar daripada dirinya. Takut, panic, saat pemilik mata laut itu merasakan langit semakin gelap, udara semakin dingin. Angin berhembus kencang, terdengar jelas suara kepakan sayap. Menakutkan.

"Tidak mungkin," ucapnya saat melihat lebih jelas. Itu bukan burung, melainkan manusia bersayap, dan itu masuk ke dalam kamar tuannya, melalui jendela terbuka. Tidak berhenti, burung-burung gagak it uterus menmabrakan diri. Anehnya, tidak ada yang masuk ke melalui jendela, semuanya mati menghantam dinding.

Tubuh Lumina bergetar hebat. "Makhluk apa itu?"

***

"Lumina, sadarkan dirimu."

Perempuan yang tengah mencuci anggur itu tergelonjak, dia menatap Dorothy yang memegang sebatang kayu tipis, berguna untuk memukul pelayan yang lalai, seperti yang dialami Lumina sekarang. Punggungnya dipukul tiga kali. Setiap kali Lumina bersuara saat menerima hukuman, maka pukulan akan dikali dua. Alhasil, Lumina mendapatkan enam.

"Kerjakan semuanya, para penjaga itu butuh makan."

"Yes, Madam," ucapnya menyusun anggur ke dalam keranjang. Ingatan semalam membuatnya tidak bisa focus, apalagi dia tidak mendapati satupun bangkai burung pagi ini. Dinding telah bersih, tidak ada satu bulu pun yang tersisa. Seolah selamam tidak terjadi apa-apa.

Tiga puluh menit mencuci buah, akhirnya Lumina mendapat jatah makan. Satu mangkuk bubur merah, dengan daging sapi sisa sarapan tuannya. Ini bahkan jauh lebih mewah dibandingkan saat di panti.

"Lumina, aku memasak tumis wortel, ini enak," ucap serena memasukan makanan ke dalam magkuk Lumina.

Dengan bibir penuh dia berucap, "Terima kasih."

Untuk makan, para pelayan bergantian. Dengan berlokasi di gudang penyimpanan, lima orang terbaik akan makan pertama dengan sisa makanan yang masih banyak, begitu seterusnya. Jika makanan telah habis dan tersisa bubur, berarti mereka adalah pekerja yang bodoh.

Jika dihitung, mungkin ada 25 pelayan wanita, 10 penjaga istana. Untuk penjaga kebun, Lumina belum tahu jumlah pasti. Setidaknya hanya sejumlah itu yang bisa dia hitung.

"Lumina." Serena menahannya saat dia keluar dari gudang penyimpanan. "Kau harus hati-hati."

"Ya?"

"Setiap pekerja yang memiliki kepribadian buruk, akan dijual."

"Apa?!"

"Pelankan suaramu." Serena menariknya ke tempat yang lebih sepi, dia melihat sekeliling.

"Dijual, Serena? Apa maksudmu?"

"Astaga kau tidak tahu. Lumina, kita dijual pada Tuan Lucius, bertugas mengabdi selamanya di sini."

Jantung Lumina berdetak kencang. Pantas saja para pengasuh itu selalu riang saat ada anak yang akan pergi dengan alsan 'Mengganti rugi dan membantu sesama anak.' Mereka bukan dikirim sebagai pekerja biasa, melainkan budak.

"Jadi… aku bukan milikku?"

"Lumina kau terlalu bodoh. Aku di sini untuk memperingatimu, jangan sampai Dorothy menamparmu lebih dari 3 kali. Atau kau….." Menggantungkan ucapan yang membuat Lumina semakin ketakutan. "Kau temanku, Lumina. Kau mengerti 'kan?"

"Ya, aku mengerti," ucapnya dengan lemah.

"Aku melihatmu dipukul Dorothy, itu sebabnya aku khawatir."

"Ya…." Lumina melemah, mendengar di sini untuk waktu lama saja membuatnya takut. Dan sekarang terbongkar fakta baru. Kegelisahannya membuat tidak sadar Serena telah pergi, tidak sadar saat Dorothy memanggil.

"Lumina?!"

"Ya?" Dengan cepat dia melangkah mendekati wanita berpakaian berbeda dari yang lain.

Dorothy yang kesal menekan pipi Lumina dengan tangan kiri seketika, dengan matanya yang tajam dia berucap, "Perbaiki penampilanmu, kau akan membereskan kamar tuan besar."

"Tuan Lucius?"

Dorothy melepaskan paksa wajah Lumina. "Pelayan itu masih sarapan. Dan Tuan tidak suka kamarnya berantakan saat selesai mandi. Lakukan, jika kau melakukannya dengan benar, Tuan akan memberimu emas."

---

Love,

Ig : @Alzena2108