Chapter 2 - Bab 2

Vote sebelum membaca😘

.

.

"Lumina, ambil apel hijau di kebun."

Lumina yang baru saja duduk itu menatap Dorothy yang menatapnya tajam. "Kita sudah mendapatkan itu dua keranjang penuh."

"Ya, dan malam nanti Tuan Besar akan mengadakan pesta. Kita butuh lebih banyak," ucapnya mengintimidasi, membuat Lumina terpaksa berdiri lagi. Menatap Dorothy yang memerintahkan yang lain untuk bekerja kembali.

"Ayo semuanya! Kita punya waktu 2 jam sebelum mereka datang!" Teriaknya dengan tangan bertepuk di udara, dan langsung membuat yang lainnya sigap mengerjakan yang lain.

"Pergi ke sana dan kembali dalam 15 menit."

Lumina menelan ludahnya kasar, dia mengambil dua keranjang itu lalu melangkah menuju ke tujuannya. Kebun berada cukup jauh dari istana ini, dia ada di kaki lembah Beverus. Di sana ada kebun buah-buahan milik Tuannya, luasnya yang tidak terhingga itu membuat Lumina terpana saat pertama kali melihatnya. Bukan hanya ada satu jenis buah, tapi puluhan. Udara di sana yang sejuk juga membuat Lumina nyaman, hanya saja perjalanan menuju ke sana membuatnya kelelahan. Sheter -penjaga kebun- bilang tuan besar sengaja membuat kebun buah dan sayur di dekat lembah supaya terus teraliri air.

Pekerjaan ini sepadan dengan apa yang Lumina dapat. Gaji besar, tempat tidur yang cukup mewah, makanan yang sangat tercukupi juga asuransi kesehatan. Sayangnya, pekerjaannya juga melelahkan. Dia tidak mendapatkan kendaraan untuk berjalan di jalan setapak melewati hutan lebih dari 1 KM untuk sampai di kaki lembah. Serena bilang biasanya akan disediakan sepeda untuk sampai ke sana, tapi berhubung Dorothy menjadi kepala bagian dapur yang baru, dia tidak memperbaiki sepeda yang rusak. Hingga siapa saja yang diberi tugas ini harus berjalan kaki.

Pekerjaan Lumina bukan hanya mengambil sayur dan buah, tapi melakukan apa yang lain katakan. Memang ada empat orang pria yang diberi tugas khusus untuk mengambil sayur dan buah, tapi berhubung mereka sedang mengangkut barang-barang baru di istana, Lumina harus mengambilnya sendirian.

"Hai, Sheter."

"Gadis kecil, kau kembali?" pria itu membuka portal penghalang hingga Lumina bisa masuk ke dalam. Memang di sekeliling kebun itu dipagar oleh jaring besi hingga tidak sembatangan orang yang masuk, hanya satu jalan keluar masuk, yaitu tepat di samping pos tempat Sheter menjaga.

"Aku butuh apel hijau," ucapnya memberikan keranjang itu pada wanita yang mendekat ke arahnya. "Aku lelah, bisa kau memetikannya untukku?"

Wanita tua yang bisu itu hanya mengangguk dan mengambil keranjang dari tangan Lumina. Sementara perempuan itu duduk di sebuah batu yang ada di samping pos Sheter. Matanya memandang ke sekeliling, ini seperti dalam dunia fantasy. Begitu indah dengan padang rumput yang hijau, apalagi baju yang Lumina kenakan bergaya kuno, membuatnya merasa ada dalam sebuah film zaman dulu.

"Indah bukan?"

Lumina menatap pria yang keluar dari posnya dan melihat sekeliling. "Kau selalu berada di sana, Sheter?"

Pria yang sudah berumur itu menatap posnya. "Disana? Tidak, aku selalu bergantian dengan yang lainnya setiap tiga hari sekali."

Lumina mengangguk-angguk mengerti, keningnya berkerut saat melihat Sheter memandangnya lekat. "Ada apa?" Dia tersenyum pada pria tua yang memgangkat bahunya.

"Biasanya seorang pria yang ditugaskan untuk mengambil buah atau sayur."

"Ya, memang. Ali, Lorcant dan Enzo sedang memgangkut barang-barang baru ke dalam istana."

"Maksudku, Lumina, belum pernah ada pekerja baru yang ditugaskan di bagian ini jika itu perempuan. Kau tahu, jalan ke sini melewati hutan belantara."

Lumina menarik napasnya dalam. "Ya, memang, sampai ke tempat yang indah ini harus melewati hutan, tebing bebatuan dan sungai." Dia terdiam mengamati langit senja. "Orang-orang juga membicarakan Dorothy sebagai ketua bagian dapur yang baru, mereka tidak nyaman dengannya."

"Ah, wanita tua berbibir besar itu." Sheter menyandarkan tubuhnya pada dinding pos. "Dia memang ambisius."

"Kau mengenalnya?"

Sheter mengangkat bahunya. "Tidak, tapi aku cukup tahu bagaimana sikapnya. Dia menanamku di sini."

"Di mana kau tidur jika malam hari? Maksudku, jika tidak sedang bertugas?"

"Di belakang sana." Dia menunjuk ke arah kebun kacang kenari. "Ada rumah-rumah untuk pekerja khusus di tempat ini."

"Jadi kalian tidak ke istana?"

Pria tua itu memejamkan matanya, mengingat kembali kapan dia terakhir menginjakan kaki di sana. "Istana iblis, aku di sini selama hampir 4 tahun."

"Maaf, apa kau bilang istana iblis barusan?"

Sheter mengangkat bahunya. "Ya, itu kenyataannya."

"Apa yang sedang kau bicarakan, Pak Tua?" Lumina mencoba tersenyum menutupi rasa khawatirnya, dia malas jika seseorang sudah mengarah kepada hal yang berhubungan dengan alam ghaib.

"Istana itu penuh misteri. Saat malam hari, aku selalu mendengar sesuatu yang besar sedang terbang di atas istana. Sesuatu itu memiliki sayap besar yang kuat."

Sentuhan di bahu membuat Lumina tersentak kaget, dia segera mengambil keranjang yang diberikan Mae dan berdiri. "Sampai jumpa semuanya," ucap Lumina kemudian pergi menjauh dari sana. Saat dia menatap ke belakang sesaat, dia bisa melihat Sheter dan Mae yang menatapnya tanpa ekspresi. Mengakibatkan bulu kuduk Lumina berdiri, dia segera mempercepat langkahnya.

Dia tidak bisa melupakan perkataan Sheter yang sedikit membuat nyalinya menciut. Jujur saja, jantung Lumina terasa sakit setiap kali dia berbicara dengan pelayan yang lain. Dan itu adalah pertanda, jantungnya seolah memberi tanda pada dirinya. Dan itu terjadi sejak Lumina kecil, seperti saat dirinya berusia 7 tahun, saat itu dirinya berkenalam dengan anak panti baru, jantungnya langsung bereaksi, terasa sangat sakit sekali. Dan saat Lumina menjauhinya, rasa sakit itu perlahan hilang. Hingga beberapa hari kemudian, anak itu membuat kehebohan dengan membunuh temannya sendiri.

Lumina seakan memiliki kemapuan yang bisa mendeteksi bahaya bagi dirinya. Dan sampai sekarang, jantungnya selalu memberi tanda saat dirinya dalam bahaya. Seperti sekarang, setiap langkah dia mendekat ke arah istana itu, Lumina merasakan sakitnya semakin bertambah. Membuatnya memutuskan untuk diam sesaat di pinggir sungai, Lumina meluruskan kakinya dan memasukannya pada air yang mengalir. Dia memejamkan matanya merasakan ketenangan saat air yang dingin itu menembus kulitnya.

Itu yang sering dilakukannya saat memiliki masalah, air membuat Lumina tenang. Rasanya dia membantunya dengan memberikan ketenangan dan rasa nyaman hingga masalah yang sedang dia hadapi sedikit terlupakan. Air memberinya kekuatan, mendorong seakan memberi motivasi. Itu alasan Lumina sangat menyukainya.

Saat mendengar sesuatu dari belakang, Lumina segera mengedarkan pandangan. Dengan cepat dia memakai kembali sepatunya dan berjalan cepat dengan dua keranjang apel hijau di tangannya. Lumina berusaha dengan susah payah saat mendaki bebatuan di samping sungai. Sungguh menyebalkan, seharusnya seseorang membangun jembatan agar mempermudah pekerjaannya.

Dan juga, Lumina berharap jalan setapak ini dikelilingi oleh pagar yang cukup tinggi. Pohon di sini cukup lebat hingga tidak ada sinar matahari masuk, dan itu membuat imajinasi Lumina tentang hewan buas semakin menjadi-jadi. Langkahnya semakin cepat saat mendengar sesuatu, seperti seseorang yang sedang melangkah di atas daun kering, dan itu mendekat ke arahnya. Dua keranjang penuh membuat Lumina kesulitan berlari. Pandangannya yang tidak fokus membuat perempuan itu tersandung pada batu, apel yang ada dalam keranjang bergelinding seketika.

"Astaga," ucapnya dengan panik. Lumina segera menahan apel yang bergelinding dan memasukannya kembali ke dalam keranjang. Kepanikannya semakin bertambah ketika suara itu semakin dekat dan jantungnya semakin sakit.

"Pergi!" Teriaknya sambil berdiri menatap sekeliling. Lumina memejamkan mata sambil mengusap wajahnya kasar, dia benar-benar kacau. Di hari pertamanya bekerja jantungnya sudah bermasalah. Apalagi sekarang, Lumina merasa diikuti oleh sesuatu yang mengerikan.

Dia menarik napas dalam sebelum membawa dua keranjang penuh itu, kakinya tetap melangkah lebih cepat setiap detiknya. Lumina baru bisa menarik napasnya lega ketika dia sudah melihat istana yang tersusun dari batu-batu besar milik tuannya. Kakinya melangkah semakin pelan saat memasuki taman belakang yang sangat indah, di mana Lumina bisa melihat berbagai jenis bunga di sana. Seperti biasa, tatapan para penjaga kebun membuat jantungnya berdetak lebih kencang, dan itu kembali terasa sakit.

Lumina sendiri penasaran, bahaya apa yang sedang mengintainya hingga jantungnya terus saja memberinya tanda-tanda. Dia tidak bisa pergi dari sini meskipun ingin, Lumina terjebak di sini selamanya.

Melihat ada bangku kecil di bawah pohon, Lumina mendekat. Di bagian itu sangat sunyi hingga membuatnya cukup nyaman untuk merenung sesaat. Lumina menyandarkan tubuhnya di batang pohon besar itu, matanya melihat sekeliling. Hingga tatapannya terhenti pada sebuah jendela besar yang ada di lantai dua istana. Dia dapat melihat dengan jelas di sana, bagaimana seorang pria yang menjadi tuannya terlihat sedang membaca secarik kertas sambil berdiri.

Tangan Lumina terangkat memegang dadanya yang terasa sakit, apalagi saat dia melihat pria itu membuka bajunya. Memperlihtkan dengan jelas bagaimana indahnya pahatan tubuh itu, tatto berwarna hitam legam dengan ukiran unik yang membuat Lumina penasaran. Dia tetap menatapnya menahan kesakitan di dada, seolah sesuatu menahannya untuk pergi dari sana.

Lumina tidak bisa mengalihkan pandangan. Seperti sejak pertama kali melihat kedatangan tuannya, Lumina tidak bisa berpaling dari pria bernama Lucius itu. Ada sesuatu yang menarik dari pria itu, sesuatu yang membuat Lumina penasaran. Dia benar-benar penasaran, kenapa jantungnya berdetak cepat dengan rasa sakit yang luar biasa dia rasakan ketika menatap pria itu. Siapa dia sebenarnya hingga berbahaya bagi Lumina.

Dan jantung Lumina hampir saja berhenti berdekat ketika mata itu tiba-tiba menatap ke arahnya. Membuatnya tidak bisa bergerak hanya untuk memalingkan wajah, dia melihat dengan jelas bagaimana pria bemata hitam itu menatapnya tajam selama beberapa detik sebelum membalikan badannya dan menutup tirai jendela.

Dia menghela napas sambil mengusap dadanya. "Apa yang salah dengan Tuan Lucius? Apa dia akan menyakitiku?"

***

Pesta itu benar-benar terjadi, beratus orang datang ke istana yang begitu luas. Pelayan berlalu lalang menerima keinginan para tamu yang datang, mereka menari, makan dan tertawa layaknya para bangsawan yang kebanyakan uang. Anehnya, mereka semua memakai pakaian seperti zaman Victoria, bergaun besar dengan rambut bergaya zaman dulu. Mereka berdansa sambil tertawa, persis seperti film Marie Antoinette yang pernah Lumina tonton.

Di ballroom itu, terdapat kursi yang mirip singgasana. Berwarna hitam kelam dan diduduki oleh pria yang menjadi tuan di istana itu, dia melihat ke sekeliling seakan memastikan semuanya dalam kondisi baik. Dan ketika pria bermata hitam itu berdiri, beberapa orang berdiam tidak melanjutkan dansanya, mereka terdiam sesaat menatap Lucius yang masuk ke lantai dansa mendekati seorang wanita bergaun merah. Tubuhnya menunduk seakan menjadi ciri bahwa dirinya ingin berdansa, wanita itu terlihat senang hati mengulurkan tangannya membalas Lucius. Mereka menari di tengah ballroom diikuti yang lainnya, Lumina yang sedang berdiri di dekat tiang itu dapat melihat Lucius menatapnya selama beberapa detik. Membuat tubuhnya merespon dengan cepat.

"Lumina."

"Ya?" Dia membalikan badannya dan menatap Serena yang sedang memakan apel.

"Kau mau?"

"Apa boleh?"

Serena terkekeh. "Pesta Tuan Besar adalah pesta kita juga, selalu saja begini, makanan berserakan layaknya sampah."

Lumina dengan senang hati mengambil apel yang dia ambil beberapa jam yang lalu itu, dia menggigitnya sebelum membalikan badan dan kembali menatap pesta. "Mereka sangat sibuk, apa kita tidak apa-apa berdiri di sini tanpa mengerjakan apa pun?"

Serena ikut berdiri di samping Lumina, mereka berada di sudut ruangan dan bersembunyi di tiang yang besar. "Hanya pelayan cekatan yang boleh masuk ballroom. Kita akan kebagian jika semuanya sudah beres."

"Membersihkannya?" Lumina bertanya sambil memutar bola matanya malas. Membuat Serena tertawa. "Kau pandai."

"Pesta ini dalam rangka apa, Serena?"

"Aku tidak tahu."

"Kau tidak tahu? Keningnya berkerut menatap Serena yang menyandarkan punggungnya di dinding, berbeda dengan Mirena yang memeluk tiang besar itu.

"Mereka sering melakukan ini, tapi aku hitung, ini terjadi setiap pergantian bulan."

"Pergantian bulan?"

Serena duduk di bangku kecil yang ada di samping lukisan burung besar. "Misalnya pada awal bulan sabit, awal bulan purnama, dan saat bulan penuh."

Lumina tersentak kaget saat kembali melihat pesta, di sana Dorothy menatapnya dengan tajam seolah dirinya berbuat salah. Tangannya segera melambai pada Serena yang ada di belakangnya mencoba memberi isyarat. "Serena kita harus pergi," ucapnya membalikan badan lalu menarik wanita itu agar berdiri.

"Ada apa?"

"Dorothy melihat kita."

"Kalian!"

Terlambat, Lumina memejamkan matanya siap mendapatkan teriakan. Dia berbalik dengan tangan masih menggenggam Serena. "Ya, Dorothy?"

"Apa kalian tidak ada pekerjaan lain selain duduk di sana?"

"Kau tahu bagian kami adalah saat pesta selesai. Ketika semuanya tidur, kami akan bekerja semalaman dan bangun lagi keesokan harinya di dini hari," ucap Serena maju satu langkah didepannya.

"Kau." Dia menunjuk Lumina dan mengabaikan perkataan Serena. "Kolam di belakang sana kotor, bersihkan itu."

"Hei! Kau tahu itu bagian penjaga kolam!"

Dorothy menatap wanita berambut pendek itu, dia tidak suka seseorang membela yang lainnya. Apalagi itu pelayan baru. "Aku yang memerintah, Serena. Kau bisa kembali ke dapur dan tolong yang lain."

Tangan Lumina menahan saat Serena hendak berucap lagi. Dia mengangguk. "Baik, akan aku lakukan."

Segurat senyum kepuasan tercetak pada wajah yang mulai keriput itu, dia mengangguk sebelum membalikan badan dan hilang di balik pesta.

"Dia selalu seperti itu pada pelayan baru. Seakan menunjukan kekuasannya agar ditakuti," ujar Serena menyimpan sisa apel itu di atas meja. "Sebaiknya kau pergi dan mulai membersihkan."

Lumina menghela napas lalu melangkah ke tempat tujuannya. Matanya menatap kolam yang memang penuh dengan dedaunan itu, Lumina hanya menghela napas, kolam ikan itu terasa cepat sekali kotor. Padahal disekitar sini tidak ada pohon besar, hanya ada tumbuhan hias dengan daun kecil. Seingatnya juga seseorang telah membersihkan kolam ini tadi sore, dan sekarang sudah kembali kotor. Benar-benar aneh.

Hal lain yang membuat Lumina ragu membersihkannya adalah keheningan yang mendominasi. Berbeda saat di dalam istana yang ramai, bagian belakang istana sangat sepi sekali. Bahkan suara musik tidak terdengar, hanya ada angin yang menyapu tengkuk Lumina yang mulai meremang. Seperti biasa, dia kembali merasa seperti diawasi oleh seseorang.

Dia meyakinkan dirinya sendiri, memberi motivasi kalau dirinya akan terbiasa dengan semua ini. Ketika Lumina akan membawa alat pembersih yang ada di samping kolam, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Lumina segera menegakan badannya dan melihat ke asal suara, di sana dia melihat seorang wanita cantik berambut merah berjalan di jalan setapak yang ada di taman belakang. Gaunnya yang besar itu menyapu jalan yang dia lewati, Lumina menatap rambutnya yang disanggul besar seperti wanita kuno.

Wanita itu tidak melihat ke arahnya, dia tetap berjalan lurus seakan tidak ada yang menarik selain sebuah titik tak kasat mata di depan matanya. Membuat Lumina merinding, mengingatkannya pada film horror dengan pemeran utama wanita belanda, saat itu dia diam-diam keluar dari panti bersama dengan temannya untuk menonton film layar lebar di lapangan terbuka.

Lumina mencoba mengabaikan wanita itu dan kembali fokus pada pekerjaanya, dia mengambil pengait itu lalu menyaring dedaunan yang ada di kolam.

"Hei."

"Astaga!" Lumina bertetiak hingga tongkat pembersih itu masuk ke dalam kolam, dia membalikan badannya dan tersentak kaget melibat wanita itu kini berada di depannya.

"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"

"Berhati-hatilah dengan pria bermata hitam, dia akan membawamu ke neraka."

Lumina yang bingung dan juga takut itu mundur selangkah secara pelan. "Ya....?"

"Pergi dari tempat ini sebelum dia menangkapmu," ucapnya memegang bahu Lumina, membuat pemiliknya ketakutan dengan raut wajah wanita yang terlihat panik itu.

"Apa yang anda bicarakan?"

"Aku memberitahumu sebagai kaum terakhir yang  pengabdi pada Ratu Taleena. Kau harus lari dari sini, Puteri, atau Putera iblis itu akan mengurungmu."

--

Love,

Ig : @alzena2108