Tuhan .... Aku tak meminta macam-macam padaMu. Aku hanya berharap Bang Dika membalas perasaanku, dan kami bisa bersama selamanya. Aku mencintainya. Aku sadar telah salah jatuh cinta kepada kakakku sendiri, tetapi hatiku tak kuasa mengingkari bahwa rasa itu memang ada. Bukankah cinta merupakan karuniaMu? Izinkan kami bersatu. Kumohon ....
***
"Apartemen ini buat aku?"
Aku memekik ketika Bang Dika memberitahukan hal itu. Aku membuka mulut, lalu menutupnya kembali—tidak tahu mesti berkata apa.
Kuedarkan pandangan menyapu sekeliling ruangan. Kamar ini bernuansa pastel—persis seperti warna kesukaanku. Aku bangkit, kemudian melangkah perlahan ke sisi dinding yang dipenuhi oleh bingkai-bingkai foto. Itu kumpulan potretku semenjak bayi hingga sekarang. Terdapat beberapa foto di saat Ayah masih hidup.
Air mataku menetes ketika melihat potret terakhir yang kata Ibu, diambil beberapa hari sebelum Ayah meninggal dalam kecelakaan. Waktu itu, aku belum genap berusia lima tahun. Ayah dan Ibu duduk bersisian di sebuah bangku taman, mereka tersenyum penuh kebahagiaan menatap kami yang tengah asik bermain. Di foto itu, Bang Dika yang berusia dua belas tahun terlihat sangat protektif padaku. Dia memelukku, mungkin menjauhkanku dari jangkauan Mbak Lana yang terlihat sedang mengulurkan tangan ke arahku.
Lalu aku beralih ke foto lain. Foto ketika kami sedang liburan di Puncak kemarin. Aku menatap foto itu lekat-lekat. Sepertinya kami tidak pernah mengambil foto dengan gambar sebagus itu. Aku menatap Bang Dika yang kini tengah nyengir lebar padaku.
"Suka, nggak?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Tapi kapan kita ngambil foto ini, Bang?" tanyaku sambil menunjuk foto saat kami sedang berpelukan di kebun teh.
Bang Dika mengibaskan tangannya tak acuh, seraya berkata, "Itu, sih, urusan kecil. Gue nyuruh seseorang buat motret kita."
Bang Dika membawaku menyusuri ruangan lain. Dia membawaku ke perpustakaan kecil, lengkap dengan semua koleksiku. Ada beberapa buku baru juga—dilihat dari kemasannya yang masih tersegel. Kapan dia memindahkannya? Kemudian, kami ke kamar yang lain. Kamar itu bernuansa maskulin—serba hitam. Sudah tentu itu kamarnya. Kami terus berkeliling, menjelajahi setiap sudut apartemen ini.
***
"Please, udah, Bang!"
"Dikit lagi, Sayang."
"Aku udah nggak kuat. Jangan maksa aku!"
"Satu kali lagi, ya? Nanggung banget ini."
"Beneran, ya, ini yang terakhir?"
"Iya, bawel!"
"Sumpah! Abis ini aku nggak bakal bisa jalan."
Bang Dika menyuapkan potongan bakso yang terakhir padaku. Kami berada di dapur, menikmati semangkuk bakso beranak yang sebagian besar masuk ke perutku. Dia terus memaksaku untuk menghabiskan makanan itu, padahal aku sudah kekenyangan. Selepas makan, aku menyandarkan tubuh ke punggung kursi, bersendawa, lalu menepuk perutku yang membuncit seketika.
Oh ... selamat tinggal kurus—selamat datang lemak.
Bang Dika membereskan bekas makan kami. Mangkuk bekas bakso, kotak bekas martabak, gelas boba, piring bekas siomay dan batagor—yang isinya sudah bersemayam dengan tenang di dalam perutku.
"Hai, cacing-cacing. Kalian harus bilang makasih sama Bang Dika. Karena, berkat dia, sekarang kalian bisa mukbang." Lalu bersendawa lagi. Bang Dika hanya tertawa kecil sambil menggeleng saat melihat tingkahku.
Selesai membersihkan peralatan makan, dia menghampiriku.
"Gue punya sesuatu buat lo," katanya.
Mataku melebar saat melihatnya membuka kulkas. Oh, tidak! Jangan makanan lagi, atau perutku bisa meledak. Namun, dia mengeluarkan sebuah kue tart yang dihias dengan krim berwarna biru dan ungu. Di atasnya bertengger lilin angka delapan belas, kemudian menyalakannya.
Oh ... bagaimana mungkin aku tidak tergila-gila pada abangku ini? Dia terlihat begitu perhatian,tampan, dan seksi. Lengan kemeja yang digulung sampai siku—gaya favoritku, dan celana jins. Dan tangannya yang besar—aku tidak sanggup menjelaskan bagaimana nikmatnya saat telapak tangan itu berada di .... Dan senyumannya itu. Aku ingin menjerit histeris dan melompat ke gendongannya sekarang juga. Hatiku meleleh, begitu juga Siena Bagian Bawah. Ehm!
Hey, pikiran mesum! Keluar kalian dari otakku!
Tidak mau! Pikiranmu memang mesum, kami hanya menambahkan sedikit bahan bakar. Hahaha! Dasar cabul!
Kurang ajar! Keluar kalian! Keluar!
"Selamat ulang tahun, Siena Pramesti—hey, ngapain lo kaya gitu? Berhenti! Nanti lo luka!"
Aku menghentikan aktivitasku membenturkan kepala ke meja makan dalam upaya mengeluarkan si pikiran cabul. Kulihat Bang Dika menatapku khawatir. Kue tart itu kini di meja. Sepertinya tadi dia cepat-cepat menaruh kue itu sebelum aku memecahkan kepalaku sendiri.
Dia mengecup keningku, lalu berbisik lembut, "Jangan aneh-aneh gitu, Dek."
Aku mengerjap. Kenapa sekarang dia jadi lembut begini, sih? Itu hanya membuatku semakin menyukainya.
Dia mengangkat kue ulang tahun itu, lalu menyodorkannya padaku. "Make a wish?" katanya dengan satu alis terangkat.
Kupejamkan mata, lalu, kupanjatkan harapan. Kemudian, aku meniup lilinnya.
Bisa dibilang, aku lupa kalau ini hari ulang tahun. Semua karena kejadian salah paham tadi sore. Omong-omong, aku tidak tahu sekarang sudah jam berapa. Apakah uang Bang Dika habis untuk membeli apartemen ini, sehingga sudah tak mampu membeli jam dinding? Aku mengingatkan diriku untuk membelinya besok.
Dia meletakkan kue itu kembali ke meja makan, lalu merogoh saku celananya. Dia mengambil sebuah kotak kecil, dan mengeluarkan isinya. Sebuah kalung berlian—mungkin, dengan bandul berbentuk bunga sakura kecil berwarna pink.
"Kalung cantik buat gadis tercantik di muka bumi," kata Bang Dika dengan seringai khasnya. Dia memutar tubuhku memunggunginya, kemudian memasangkan kalung itu di leherku.
"Sip! Cakep banget, dah!" katanya dengan ekspresi puas terlihat jelas di wajahnya.
Bisa kurasakan wajahku merona.
"Bang, ini pasti mahal banget. Kan udah beli apartemen, kenapa ngasih kalung juga?"
Dia mengangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Gue kerja buat bahagiain lo, Ibu, sama Mbak Lana. Terutama lo. Lo tanggungan gue, apapun yang lo pengen pasti bakal gue usahain. Gue janji akan terus bahagiain lo." Kemudian mengecup keningku.
Bisa kurasakan mataku memanas. "Abang, ih. Naa jadi sedih. Naa belum bisa bales kebaikan Abang. Naa sayang sama Abang," isakku. Kulingkarkan lenganku di pinggangnya.
Dia terkekeh. "Abang juga sayang sama Adek. Sekarang, mana hadiah buat Abang?"
Aku mengernyit. Hadiah? Dalam rangka apa? Kemudian, mataku melebar, mulutku ternganga. Jika ini ulang tahunku, berarti juga ulang tahun Bang Dika. Ya, tanggal lahir kami sama. Jarak usia kami benar-benar tujuh tahun. Tidak kurang-tidak lebih.
Aku mendongak menatapnya penuh rasa bersalah, lalu berkata, "Selamat ulang tahun juga buat Abang. Maaf, Naa lupa. Naa nggak nyiapin apa-apa."
Bang Dika menyeringai. Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku, kemudian berbisik, "Gue nggak minta apa-apa. Cuma ... having fun?" Lalu menggesekkan dagunya yang sudah mulai ditumbuhi bulu ke leherku. Aku mendesah pelan.
Bibirnya menekan bibirku dengan keras, dan mulai melumatnya. Lidahnya memenuhi rongga mulutku. Kemudian, mengangkat tubuhku ke meja dapur. Secara reflek kulingkarkan kakiku di pinggangnya. Aku berjengit ketika marmer yang dingin menyentuh kulitku.
"Abang mau ambil hadiah ulang tahunnya di sini. Abang janji bakalan pelan-pelan," bisiknya parau kemudian kembali memagut bibirku dengan rakus.
Persetan dengan perlakuan kasarnya padaku tadi sore. Aku menginginkannya—sebesar dia menginginkanku. Entah sejak kapan pemuda itu membuatku menjadi seperti gadis yang kecanduan seks. Harus kuakui, aku menikmati setiap sentuhan dan cumbuannya.
Aku menjeritkan namanya, dan dia mengerang penuh kenikmatan. Suaranya rendah dan seksi. Malam ini takkan cukup hanya dengan satu atau dua ronde saja. Hampir seluruh ruangan menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya percintaan kami. Bisakah ini disebut bercinta? Entahlah. Aku tak peduli.
Aku tak ingat di mana saja kami bercinta. Namun, aku ingat betapa gilanya kami. Tak lama kemudian, aku tertidur karena efek alkohol dan juga kelelahan yang disebabkan bedebah itu. Anehnya, aku mencintai dia.
Dalam ambang batas kesadaranku, kudengar dia berbisik, "Lo dengerin baik-baik. Gue nggak bakal ngulang ini lagi. Gue tau perasaan ini salah, yang kita lakuin juga salah. Lo adik gue-gue abang lo. Tapi, gue rasa udah jatuh cinta sama lo. Maaf."
Aku tersenyum. Terlepas dari itu mimpi atau bukan, tetapi aku bahagia mendengar pengakuannya. Kemudian, kegelapan benar-benar menyelimutiku.