Chereads / Bedbrother / Chapter 6 - Rasa

Chapter 6 - Rasa

Sore itu, kami berkeliling di pusat perbelanjaan tersebut layaknya pasangan kekasih. Sayangnya, hanya 'seperti'—bukan benar-benar sepasang kekasih. Bang Dika terus menggandeng tanganku, seolah takut adiknya ini hilang di tengah keramaian. Kami pergi ke wahana permainan, nonton film, juga berbelanja.

Dia mendorong aku yang kini duduk di troli, dengan beberapa barang belanjaan di pangkuanku.

"Maafin Abang karena kemarin udah kasar sama kamu," bisiknya tepat di telingaku.

Aku menoleh, kemudian menggerakkan telunjuk—memintanya untuk mendekat. Kutangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Nggak apa-apa, Bang. Naa udah maafin Abang," kataku sambil tersenyum. Aku mengerling, lalu kutiupkan kecup jauh padanya.

Bang Dika memberengut. "Jangan kayak gitu, Dek. Kalo lo makin cantik, nanti Abang jadi tambah suka. Kan repot," gerutunya.

Aku tergelak. Kakiku yang menggantung di udara menendang-nendang. Aku tak ingin memikirkan kata-katanya tadi. Pasti Bang Dika hanya bergurau. Ya, pasti begitu.

Kami sampai di rumah Ibu—sekitar pukul delapan malam. Berniat untuk meminta izin pindah ke apartemen bersama Bang Dika, sekalian mengambil baju-baju kami. Untunglah, kissmark di leherku tersamarkan oleh foundation, jadi Ibu tidak perlu mengetahui kegilaan yang kami lakukan. Begitu Bang Dika memarkirkan motornya, gelak tawa Zico—keponakanku, terdengar jelas dari halaman.

Ketika masuk, ternyata ada Om Anton—ayah Juna, sedang mengobrol dengan Bang Nico dan Ibu di ruang tamu. Juna dan Tante Sekar juga ada di sini. Aku bergantian menyalami mereka berdua, sedangkan Bang Dika hanya mengangguk sambil tersenyum alakadarnya.

Kurasakan ketegangan merambat di udara ketika Juna dan Bang Dika saling berhadapan. Mereka saling melemparkan tatapan tajam. Andai sorot mata mereka memiliki wujud, aku yang kini berdiri di antara mereka niscaya sudah terkapar dengan tubuh berdarah-darah dan penuh luka tusukan.

"Om kapan pulang dari Kalimantan?" tanyaku. Berharap bisa sedikit mengalihkan perhatian kedua makhluk yang sepertinya sudah siap untuk saling terkam.

"Kemarin malam, Sayang." Dia memintaku duduk di sampingnya. "Oh, iya, Om punya sesuatu buat kamu," katanya sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna putih dengan hiasan pita di atasnya.

Aku menatap hadiah di tangan dan Om Anton secara bergantian. Sorot mata dan senyumannya masih seperti dulu—begitu tulus, penuh kasih, dan menyejukkan.

"Makasih banyak, Om, Tante," ucapku. Mereka berdua mengangguk samar, lalu tersenyum. Dulu, Ibu pernah bilang, Om Anton sama Ayah udah sahabatan dari kecil. Meskipun umur mereka terpaut beberapa tahun.

"Siena mau ikut Om sama Tante, nggak? Kan ulang tahun kamu dan Juna kebetulan sama. Cuma makan-makan, kok," Tante Sekar menawarkan.

Baru saja hendak membuka mulut, tiba-tiba Bang Dika menyela. "Bu, udah malem. Kita ke sini mau ambil baju. Lagian, Siena pasti udah capek."

"Mau langsung pindah?" tanya Ibu menoleh padaku.

Aku mengangguk.

"Pindah? Pindah ke mana?" Om Anton menatapku dengan raut wajah bingung.

"Siena mau pindah ke apartemen sama Bang Dika, Om," jawabku.

"Loh, emangnya kenapa mesti pindah?"

"Siena mau bantuin aku bikin konten, Om. Kalo di rumah takutnya ganggu Zico, soalnya nanti bakal banyak temen-temen aku yang dateng," dusta Bang Dika.

Aku mengatupkan bibir rapat-rapat, berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertawa. Konten? Sungguh alasan yang bagus. Aku melihat Om Anton sepertinya agak keberatan dengan gagasan itu. Kenapa?

Akhirnya, kami kembali ke apartemen tanpa membawa apapun, karena Bang Nico bersikukuh untuk mengantarkan barang-barang kami. Ibu, Mbak Lana, Om Anton, Tante Sekar, bahkan Juna akhirnya ikut. Sebenarnya Bang Dika tidak suka kalau Juna ikut juga, tetapi kami tidak bisa berbuat apapun. Malam itu akhirnya kami kelelahan dengan pesta pindahan yang mendadak dan tidur lewat tengah malam, setelah mereka semua pulang.

***

"Bang, sekarang Naa sekolahnya masuk kelas siang," kataku sambil mengunyah roti panggang. Bang Dika berjalan ke arahku dengan segelas susu, lalu memberikannya padaku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Kelas dua belas direnovasi. Cuma beberapa ruangan, sih. Tapi kelasku dipake buat ngajar beberapa kelas lain pas pagi. Jadinya masuk kelas siang."

Bang Dika mengangguk-angguk. "Bagus, dong? Jadi bisa ena-ena dulu," katanya sambil menggerakkan kedua alisnya.

Aku memutar bola mata. "Nggak, ya. Pokonya peraturannya kayak dulu. Selain pas libur, nggak ada yang namanya having fun."

Dia tergelak, kemudian mengacak-acak rambutku. "Iya, iya. Tau, kok. Cepet abisin sarapannya, terus mandi. Bentar lagi Ares dateng. Gue nggak mau, ya, ada yang liat kemolekan tubuh lo selain gue."

Aku menatap tubuhku. Yah, aku memang hanya mengenakan kaus milik Bang Dika, karena belum sempat mengeluarkan pakaianku dari koper.

"Kenapa Abang nggak cemburu sama Bang Ares?" tanyaku penasaran.

Bang Dika yang tengah meminum jus langsung tersedak, kemudian terbatuk-batuk, lantas ia tertawa terbahak-bahak.

"Gue cemburu sama Ares? Mana mungkin! Gue tau selera dia. Nggak bakalan dia suka sama bocah kayak lo," ujarnya sambil menoyor kepalaku, kemudian kembali tertawa.

"Terus kenapa Abang having fun sama Naa? Naa, kan, masih bocah!" gerutuku. Tanpa menghabiskan sarapan, aku langsung berdiri, lalu masuk ke kamar. Menutup pintu keras-keras.

***

Gue nggak bisa jemput. Ada urusan penting.

Aku menghela napas saat membaca pesan dari Bang Dika. Kalau tahu begini, aku tadi takkan menolak ajakan temanku untuk ikut dengannya. Tiba-tiba, sebuah mobil sport berhenti tepat di depanku. Si pengemudi menurunkan kaca jendela, dan nampaklah si Mata Biru beserta cengirannya.

"Yok, naik!" perintah Bang Ares.

Aku masuk, kemudian Bang Ares memasangkan sabuk pengaman. "Tumben Abang mau jemput Naa," kataku.

Cowok berambut pirang itu mendengus. "Jangan gara-gara setengah tahun ini Abang nggak jemput jadi ngomong kayak gitu. Abang, kan, ada urusan di Perancis," gerutunya. "Yang penting, sekarang Pangeran bermobil hitam udah dateng buat jemput Tuan Putri," ujarnya, lalu mengedipkan matanya sebelah.

"Emang Bang Dika ke mana, Bang?" tanyaku sambil sibuk memilih lagu yang hendak diputar.

"Nggak tau. Tadi Bang Nico telpon, terus Dika buru-buru pergi."

"Bang Nico?"

"Yaa. Nggak tau urusan apa. Eh, Abang laper. Kita mampir buat makan dulu nggak apa-apa, kan?"

"Terserah," jawabku.

Bang Ares menggeleng-geleng. "Beneran cewek," gumamnya.

"Hah? Maksudnya?"

"Kan cewek kalo ditanyain apa-apa jawabnya terserah. Nggak diragukan lagi, kamu beneran cewek," ujarnya dramatis, membuatku tergelak.

Bang Ares menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Kami makan dalam keheningan, fokus dengan hidangan masing-masing. Setelah selesai makan, tiba-tiba Bang Ares meraih tanganku.

"Naa, Abang mau nanya," tanyanya. Selama mengenalnya, aku hanya beberapa kali melihatnya seserius ini.

"Nanya apa?"

"Emm ... tapi jangan marah, ya?"

Aku mengangguk.

"Kamu udah punya cowok belum?"