"Pacar?" Aku terbahak mendengar pertanyaan Bang Ares. Itu sungguh menggelikan. Dia menanyakan sesuatu yang sudah pasti.
"Y-ya ...." jawab Bang Ares gugup. Kusadari wajah Bang Ares agak memerah.
Aku menggeleng sambil berusaha menghentikan tawaku yang nyaris histeris. "Naa nggak punya pacar-nggak dibolehin sama Bang Dika. Bang Ares kayak nggak tau sifat Bang Dika aja," kataku sambil terus tergelak.
"Naa, Abang nggak bercanda," ujar Bang Ares membuat tawaku terhenti seketika. Aku menatap pemuda bermata biru itu yang kini terlihat sangat serius. Dia menatap langsung ke mataku. Yaah ... memang dia tak terlihat sedang bercanda.
"Maksud Abang?" Aku menelan ludah dengan susah payah. Perutku terasa melilit, dan jantungku berdegup kencang. Makanan yang baru saja masuk ke perutku seolah perlahan naik ke tenggorokan dan ingin meloncat keluar.
Bang Ares menarik napas panjang, lalu berkata, "Abang suka sama kamu. Abang sayang sama kamu. Awalnya, Abang pikir ini rasa sayang seorang kakak sama adiknya, Abang selalu berusaha ngeyakinin itu. Karena alasan ini lah Abang pergi ke Paris selama beberapa bulan, selain buat bantuin Dad, juga ... buat ngendaliin perasaan Abang ke kamu. Tapi Abang salah. Abang ternyata udah jatuh cinta sama kamu." Dia diam sejenak, tangannya meraih tanganku, lalu meremasnya lembut. Bang Ares menarik napas panjang, kemudian melanjutkan, "Kamu mau nggak jadi pacar Abang?"
***
Aku berbaring di tempat tidur sembari menatap nyalang langit-langit kamar. Kata-kata Bang Ares masih saja terngiang-ngiang di benakku. Bagaimana mungkin bisa? Kenapa aku? Masih terbayang jelas, betapa Bang Ares terlihat begitu kecewa dengan jawaban dariku.
Aku memang menyukai dan menyayangi dia, tetapi perasaanku untuknya tak lebih dari sekadar kakak-adik. Hatiku pedih ketika melihatnya mencoba tetap tersenyum dan ramah padaku. "Bang, maafin Naa," gumamku.
"Minta maaf kenapa? Sama siapa?" Suara Bang Dika mengejutkanku. Membuatku memekik dan terlonjak. Aku hampir saja terguling dari tempat tidur karenanya. Pemuda itu kini tengah berdiri di ambang pintu kamarku. Penampilannya berantakan, bahkan bisa dibilang kacau. Rambutnya kusut masai, wajahnya muram dan tampak lesu. Bisa kulihat kerlip bintang di matanya meredup. Bang Dika kelihatan sangat sedih.
"Loh, Abang kapan pulang? Kok, Naa nggak denger pas Abang masuk?" tanyaku sembari bangkit dan memosisikan tubuh duduk bersila. Saking sibuknya memikirkan Bang Ares, aku bahkan tidak sadar kalau Bang Dika belum pulang. Ketika melirik jam di layar ponselku, ternyata sudah pukul sepuluh malam.
Bang Dika melangkah pelan ke arahku, kemudian berbaring dengan kepala di pangkuanku. Wajahnya menghadap ke dalam, sehingga aku tak bisa melihat ekspresinya. Dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan memelukku dengan begitu erat.
"Abang capek banget," gumamnya. Kata-katanya teredam, tetapi aku menangkap suaranya yang agak bergetar.
Aku hanya duduk diam, menunggunya melanjutkan bicara sambil mengusap-usap kepalanya dengan lembut. Bang Dika mengembuskan napas kasar, lalu menengadah menatapku. "Abang capek. Mau mijitin, nggak? Kepala Abang sakit."
Aku mengendus udara, ada aroma-aroma tak asing yang sebelumnya tidak ada. Aku menatap tajam Bang Dika. "Abang abis minum-minum, ya?" sergahku. Kemudian, kuendus pakaiannya juga. "Abang ngerokok juga? Kenapa, sih, Bang? Abang ada masalah apa?" tanyaku menahan kekesalan.
Bang Dika hanya menggeleng sembari menyunggingkan senyum lemah. "Nggak apa-apa. Lagi kepingin aja. Gue rada stress gara-gara kerjaan. Lo tau sendiri, kan, gimana kerjaan gue?" jawabnya. Dia mengusap pipiku dengan begitu lembut, lalu menyelipkan sejumput rambut yang menutupi wajahku ke belakang telinga.
Aku mulai memijit kepalanya. Bang Dika memejamkan mata, perlahan senyumnya kembali muncul. Dia menggerakkan jemarinya, memintaku untuk mendekatkan wajahku. Setelah itu, Bang Dika mengecup pipiku.
"Makasih, Dek," gumamnya.
"Masih sakit, Bang?" tanyaku. Tak kupungkiri kalau aku khawatir dengan keadaannya. Sekesal apa pun aku karena Bang Dika minum-minum dan merokok, melihat kondisinya yang begitu menyedihkan ketika pulang tadi, rasanya menyakitkan bagiku.
Bang Dika menggeleng. "Udah mendingan, kok. Lo udah makan belum? Tadi Ares ngasih lo makan, 'kan?" cecarnya.
Yaa ... bukan cuma ngasih makan, tapi ngasih cinta juga. Nggak kayak Abang, udah dikode-kode tapi sama sekali nggak peka, batinku menggerutu. Kegelisahanku tentang kejadian tadi sore kini kembali. Aku memaksakan untuk tersenyum dan berharap senyumku tidak tampak janggal, kemudian menjawab, "Udah. Tadi pas mau balik, Bang Ares ngajak aku mampir dulu ke restoran."
Bang Dika mengangguk. Dari ekspresinya, dia terlihat sangat puas. "Mau makan lagi, nggak? Abang laper. Kita keluar, yuk? Nyari makan sekalian jalan-jalan malem. Kita main ke taman atau ke mana lah. Nyari angin."
Aku memekik sembari meloncat turun dari tempat tidur. Sama sekali lupa kalau Bang Dika masih menyandarkan kepalanya di pangkuanku. Bang Dika terjatuh dari ranjang. Suara jatuhnya diikuti umpatan-umpatan yang begitu rapat darinya. Tanpa perlu diminta untuk ke dua kali, aku langsung melesat ke kamar mandi untuk membasuh muka, kemudian berganti baju. Suara omelannya mengikutiku sampai aku menutup pintu kamar mandi. Kurang dari lima belas menit, aku sudah mengenakan sweater rajut oversize berwarna abu-abu yang dipadukan dengan legging dan flat shoes.
"Naa udah siap!" seruku sembari merentangkan tangan.
Bang Dika memutar bola matanya, mendengus, kemudian tersenyum kecil sambil menggeleng-geleng. Kemudian, dia merangkulku dan membawaku keluar. Sebelum pergi, aku menyempatkan diri untuk menyambar ponsel dan tas selempang kecil berwarna hitam dan juga dompet. Sekadar jaga-jaga. Siapa yang tahu kalau Bang Dika tidak akan meninggalkanku atau kami tak sengaja terpisah? Ya, 'kan?
***
Jakarta tidak pernah tidur.
Ungkapan itu sepertinya memang cocok untuk kota metropolitan ini. Kami sampai di warung penjual nasi uduk favorit Bang Dika yang kini sedang ramai-ramainya. Kami bahkan tidak bisa mendapatkan tempat duduk di dalam. Dengan terpaksa, kami duduk di bangku yang disediakan di depan warung. Bang Dika membawa dua porsi nasi uduk dengan lauk yang beraneka ragam. Semur dan sambel kacang menjadi lauk yang wajib ada.
"Foto dulu, Naa. Udah lama nggak posting foto sama lo," ajaknya. Kemudian dia merangkulku. Aku memasang wajah jelek, sedangkan Bang Dika mencium pipiku. Dia mengetikkan sesuatu sebelum mengirimkan foto itu ke IG.
Notifikasi di ponselku berdenting.
Kuliner malam sama gadis tercantik di muka bumi.
Nb: Jangan nanya makanannya mana, gue cuma mau pamerin adek gue.
Itu caption yang ia tuliskan di unggahan foto kami, lengkap dengan emoji mencium. Bang Dika juga menandai akunku. Tak lama, unggahannya dibanjiri like dan komentar. Kami mengabaikan itu, memilih untuk menyantap makanan yang sudah melambai-lambai di hadapan kami. Kuliner malam kami ditemani suasana malam ibu kota, lengkap dengan derum dan asap kendaraan yang lalu lalang.