Chereads / Bedbrother / Chapter 9 - Tidak Sengaja

Chapter 9 - Tidak Sengaja

Sorry, gue nggak bisa jemput lo. Gue masih ada urusan. Tunggu bentar di tempat biasa, gue udah minta tolong sama Ares buat jemput lo.

Aku mengempaskan tubuh ke bangku taman, kemudian mendesah kasar ketika membaca pesan dari Bang Dika. Aku menggerutu dan mengumpat tanpa suara. Akhir-akhir ini, dia tak lagi bisa menjemputku ketika pulang sekolah. Bang Dika kini terlalu asyik mengurusi dunia barunya. Syuting untuk konten, proses editing, dan lain-lain. Sedangkan aku? Dilupakan dan diabaikan! Sekarang, hampir setiap hari ketika pulang sekolah selalu seperti ini. Saat pagi hari dia selalu berkata akan menjemputku, tetapi waktu sore tiba dia membatalkannya dengan mendadak.

Sekarang, kami sudah sangat jarang memiliki waktu bersama. Bang Dika selalu pulang larut malam ketika aku sudah tertidur. Dan dia baru bangun saat mendekati waktu aku berangkat ke sekolah. Bahkan, sudah beberapa hari ini dia sama sekali tak bisa mengantarku ke sekolah. Dia selalu mengandalkan Bang Ares untuk melakukannya, karena biasanya dia sudah pergi sebelum aku bangun tidur. Selebihnya, aku hanya bisa mengetahui kegiatan Bang Dika melalui unggahan di akun sosial medianya. Saat akhir pekan tiba, biasanya dia memilih menghabiskan waktu kami untuk mengurung diri di apartemen seharian. Istirahat sekaligus, yaah ... kalian tahu, kan? Itu juga kalau dia tidak ada perubahan jadwal secara mendadak. Padahal, Bang Ares sepertinya tidak sesibum itu.

Aku merindukan Bang Dika yang dulu. Aku kangen bercanda dan tertawa bersamanya, menghabiskan waktu untuk melakukan atau membicarakan hal-hal yang tidak penting. Meskipun kuakui, kini dia selalu memberikan segala sesuatu lebih dari yang kubutuhkan, tetapi aku kehilangan hampir seluruh waktu dan perhatian darinya. Aku segera mengetikkan balasan pesan untuk Bang Dika.

Iya, Bang. Gue nggak apa-apa. Gue udah terbiasa, kok. Naa mau tidur di rumah Ibu aja, Bang. Kangen sama Ibu sama Zico. Lagian males juga di apartemen sendirian. Abang jemput Naa kalo udah nggak terlalu sibuk aja, biar Naa nggak kesepian karena ditinggal-tinggal terus.

Aku tak perlu menunggu terlalu lama, kulihat mobil Bang Ares berhenti tepat di depanku. Cowok blasteran itu turun dari mobil, kemudian merangkulku. "Sorry, rada telat. Dika ngabarinnya mendadak banget," sesalnya. Bang Ares mengacak-acak rambutku, tetapi aku membiarkannya. Aku benar-benar sedang tidak memiliki tenaga sama sekali, bahkan sekadar untuk marah.

Aku tersenyum kecut. "Nggak apa-apa, Bang. Maaf, Naa udah ngrepotin Abang mulu. Kalo Abang sibuk, mestinya nggak usah maksain buat jemput Naa. Nggak perlu nurutin Bang Dika terus. Dia emang lama-lama makin nggak tau diri. Lagian, aku bisa pulang sendiri, kok," ujarku tak bersemangat.

Dia menjepit daguku dengan ibu jari dan telunjuknya, kemudian mengangkat wajahku, memaksaku agar menatap mata birunya. "Abang nggak sibuk, Sayang," katanya. "Kamu kenapa kelihatan sedih gitu, hm?" tanya Bang Ares lembut.

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa. Cuma rada capek," dustaku setengah hati.

Awalnya, aku merasa agak canggung ketika pertama kali bertemu Bang Ares setelah hari di mana dia menyatakan perasaannya padaku. Namun, dia meyakinkan bahwa dirinya tidak apa-apa. Katanya, dia memang kecewa, tetapi tidak pernah merasa marah padaku. Dan Bang Ares memintaku untuk bersikap wajar seperti biasa. Dia berkata bahwa tidak ingin hubungan kami berubah hanya karena kejadian hari itu yang kini ia anggap konyol.

Bang Ares mengusap dagunya yang licin tanpa sehelai janggut pun, seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian, tiba-tiba dia tersenyum lebar. Bang Ares menarikku agar berdiri, kemudian menggiringku masuk ke mobil.

"Kamu mau nggak main ke apartemen Abang?" Bang Ares bertanya.

Aku yang tengah sibuk memasang sabuk pengaman langsung mendongak. Aku menatapnya dengan dahi berkerut. "Mau ngapain?" tanyaku tak mengerti.

Dengan begitu tiba-tiba, Bang Ares mencondongkan tubuhnya ke arahku, sehingga jarak kami begitu dekat. Dia meraih sabuk pengaman dari tanganku, kemudian membantuku memasangkannya.

"Abang mau masak buat kamu," ujarnya. Wajah kami saling berhadapan. Ketika dia berbicara, aku bisa merasakan embusan napasnya yang panas dan beraroma mint. Tubuhnya menguarkan aroma cokelat yang manis. Kemudian, dengan perlahan Bang Ares mendekatkan wajahnya ke wajahku, memangkas sisa jarak di antara kami.

"Emangnya Abang bisa?" tanyaku disertai detak jantung bertalu-talu. Berusaha menyunggingkan senyum pongah, tetapi sepertinya yang muncul malah senyuman malu-malu.

Kulihat Bang Ares hanya membalas dengan tersenyum tipis. Aku mencengkeram sabuk pengaman dengan sangat erat sampai-sampai buku jariku memutih. Napasku terasa semakin cepat dan pendek-pendek.

Aku memejamkan mata ketika tangan Bang Ares mengusap pipiku. Telapak tangannya terasa sangat halus di kulitku. Kemudian, Bang Ares mengecup bibirku dengan sangat lembut. Mungkin karena sudah terbiasa melakukannya dengan Bang Dika, secara spontan aku membuka mulut. Memberikan akses kepada Bang Ares agar masuk ke mulutku lebih dalam. Namun, tiba-tiba dia menarik diri dengan begitu cepat.

Kepalaku tertunduk dan serasa berputar-putar. Wajahku terasa sangat panas dan bisa kupastikan sekarang sudah memerah. Kenapa aku sampai bertindak seperti itu? Kenapa aku menyambut apa yang dilakukan oleh Bang Ares?

Aku menggigit bibir. Bagaimana sekarang? Pasti Bang Ares menganggapku cewek murahan. Dia pasti akan membenciku. Kami berdua saling terdiam cukup lama, menyebabkan udara terasa menyesakkan dan suasana semakin canggung di antara aku dan Bang Ares.

Beberapa kali, kudengar Bang Ares menghela napas. Aku mendongak, menatapnya. Kemudian ....

"Ma-maaf!" kata kami dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Anu—"

Kami saling menatap, lalu tersenyum kecil.

"Abang duluan—"

"Kamu duluan—"

Aku mendengus, kemudian tertawa kecil. Begitu juga dengan Bang Ares yang kudengar melakukan hal serupa. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya.

Aku kembali tertunduk, menatap ujung kuku tanganku dengan khusyuk. "Maaf, Bang. Aku ... aku nggak tau kenapa bisa ngelakuin hal kayak tadi. Aku terbawa suasana," gumamku, berusaha keras untuk tidak tergagap saat mengatakannya. Aku merasa sangat malu dan sama sekali tak berani menatap matanya.

Terdengar Bang Ares mengembuskan napas. "Kamu nggak salah. Harusnya Abang yang minta maaf sama kamu, Naa. Bukannya jagain kamu, Abang malah dengan lancangnya berani nyium kamu." Suaranya melemah di dua kata terakhir. "Jangan benci sama Abang karena kejadian ini. Abang mohon sama kamu, Naa." Aku mendongak. Tatapan kami bertemu selama sepersekian detik, kemudian kami sama-sama berpaling. Sekilas kulihat wajahnya memerah.

"Y-ya udah," ujarku gugup. "Tadi katanya kita mau ke apartemen Abang? Kenapa belum jalan juga? Naa nggak mau kelaperan." Aku mencoba menyingkirkan suasana canggung yang menggantung di antara kami.

Bang Ares mengerjap, matanya melebar, menatapku seolah-olah aku baru saja mengatakan padanya kalau patung Liberty ada di Italia. "Kamu masih mau main ke apartemen Abang?" tanyanya.

"Yaa, emangnya kenapa? Abang nggak jadi ngajak aku ke sana?"

Senyum Bang Ares merekah. "Tentu aja jadi. Abang bakal masakin makanan paling enak yang pernah kamu makan," janji Bang Ares. Dia menginjak pedal gas, kemudian mobilnya melaju membelah kemacetan jalanan ibu kota.