Chereads / Bedbrother / Chapter 10 - Drama Jepang

Chapter 10 - Drama Jepang

"Bang, bisa nggak? Ini kita beneran nggak mau pesen aja?"

Kami sudah tiba di apartemen Bang Ares hampir setengah jam yang lalu. Tadi, Bang Ares juga sempat mengajakku berkeliling melihat apartemennya. Apartemen ini terdiri dari dua kamar. Kamar tidur utama tentunya digunakan sebagai kamar Bang Ares sebagai sang pemilik, dan kamar satunya hanya sesekali digunakan ketika ada tamu yang menginap. Dalam hati, aku sempat bertanya-tanya, siapa tamu yang datang dan menginap di apartemen Bang Ares? Kira-kira dia cowok atau cewek? Dalam rangka apa?

Untuk seorang cowok lajang dan sibuk seperti Bang Ares, kamarnya bisa dibilang sangat rapi. Kalau dibandingkan dengan kamar Bang Dika, yaah ... begitu, lah. Sebelas sembilan puluh sembilan, mungkin. Kamar Bang Ares didominasi warna emas. Tampak mewah dan megah. Persis seperti kepribadian dan penampilan Bang Ares. Dia juga menunjukkan ruang kerjanya padaku, yang sama rapinya seperti kamar tidurnya.

Dan sekarang, setelah puas berkeliling, di sinilah kami. Aku sedang menyaksikan Bang Ares tengah sibuk berkutat dengan pisau, panci, talenan, wajan, dan peralatan dapur lainnya. Meskipun terlihat agak kikuk, dan aku merasa agak aneh karena ini kali pertama melihat sosoknya berada di dapur. Bang Ares tetap terlihat tampan dengan apron hitam yang terpasang di tubuhnya, melindungi pakaiannya agar tidak kotor terkena bahan masakan. Sekarang, Bang Ares tengah sibuk mengiris bawang putih dan bawang bombay.

"Bang, spaghetti-nya kayaknya udah kelembekan, deh," ujarku memberitahu. Aku hendak bangkit, berniat untuk membantu Bang Ares mengangkat spaghetti, tetapi dia lebih cepat dan sudah lebih dulu mencegahku.

"No! Kamu duduk saja di situ. Biar Abang yang urus," perintahnya dengan nada tegas, membuat nyaliku untuk membantah mengerut seketika. Bang Ares bergegas mengangkat panci berisi spaghetti dari kompor, kemudian meniriskannya.

Aku menopangkan dagu di atas kepalan tangan sembari mengerucutkan bibir. Merasa agak bosan karena hanya menonton, tidak diperbolehkan melakukan apa-apa. Sebenarnya, Bang Ares sudah memintaku untuk menunggu di ruang televisi, dan akan segera memanggilku ketika makanan sudah siap, tetapi aku menolak. "Aku mau lihat Abang masak. Boleh, ya, Bang? Sekalian ajarin Naa," pintaku dengan nada setengah memohon.

"Kamu beneran mau belajar?" tanya Bang Ares. Dari ekspresi di wajahnya, sepertinya dia meragukanku. Dan keraguannya memang tidak salah, sih.

Aku langsung mengangguk mantap. "Mau!" pekikku. Aku berjingkrak-jingkrak kegirangan, sedangkan Bang Ares terlihat mengambil apron lain dari salah satu laci di dapur, kemudian membantu aku memasangnya.

"Biar nggak kotor," dia memberitahu yang kujawab dengan anggukan cepat.

Aku membantu menumis bawang putih dan bombay dengan margarin. Bang Ares mengintruksikan agar aku menumisnya sampai harum. Sementara itu, dia sibuk menyiapkan bahan-bahan lain. Kemudian, Bang Ares memasukkan smoke beef, lalu memintaku mengaduknya. Dia menuang susu cair. Setelah diaduk rata, giliran keju, lada, oregano, dan garam masuk ke teflon. Dia mengambil sendok kecil, kemudian menyendok sedikit saus yang hampir jadi itu, meniup sebentar, kemudian mencicipinya.

Bang Ares kembali menambahkan sedikit keju dan lada, mungkin ada yang kurang. Aku tak tahu. Kemudian, dia menuangkan cream lalu spaghetti-nya. Setelah rata, Bang Ares menuang telur yang sudah dikocok dan juga sisa susu cair. Setelah saus menjadi creamy, dia menuangkannya ke piring. Selama Bang Ares melakukan itu semua, aku hanya berdiri diam sembari memperhatikan sosoknya. Meskipun awalnya terlihat agak canggung, sekaranh Bang Ares tampak begitu cekatan melakukan semua itu. Aku mendapat kehormatan untuk menaburkan keju parut dan daun parsley. Bang Ares terbahak-bahak ketika aku menaburkannya dengan menirukan gaya para chef yang sengaja kulakukan dengan cara yang berlebihan.

"Yeey! Spaghetti saus karbonara buatan chef Antares sudah siap!" seruku sambil bertepuk tangan dan memekik kegirangan. Bang Ares hanya menggeleng-geleng sambil terkekeh.

Dia sudah melepas apronnya dan kini tengah membantuku melepas apron yang kupakai, kemudian membawa piring kami ke meja makan. Aku mengikutinya dengan langkah riang. Gelas berisi jus jambu berada di kedua tanganku. Kami duduk saling berhadap-hadapan. Tanpa menunggu lama, aku menyuapkan spaghetti itu ke dalam mulut.

Aku memejamkan mata, merasakan setiap kenikmatan yang menyapa lidahku, kemudian menjalar ke seluruh tubuh. "Enak banget, Bang," aku memuji dengan sungguh-sungguh. Aku menatap Bang Ares yang juga tengah menatapku sembari menopang dagu. Senyuman masih tersungging di bibirnya.

"Ya, udah, kamu makan yang bener. Kalau kurang, punya Abang buat kamu aja," katanya tanpa melepaskan tatapannya dariku. Bang Ares mengambil spaghetti dari piringnya dengan garpu, kemudian mulai menyuapiku.

Awalnya, aku berpikir satu porsi pasti sudah cukup untukku. Namun, ternyata perutku selalu bisa berkompromi dengan makanan lezat. Cacing-cacing tak tahu diri tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati makanan selezat ini. Atau mungkin memang nafsu makanku yang besar. Entahlah. Aku tak peduli. Sekarang, yang ada di otakku hanyalah spaghetti buatan Bang Ares yang teramat lezat.

Beberapa saat kemudian, aku terdampar di sofa dengan perut membuncit. Bang Ares sedang sibuk membersihkan perabot dapur. Aku tahu, sebagai seorang tamu yang baru saja numpang makan, aku seharusnya ikut membantu. Atau setidaknya, berpura-pura menawarkan diri untuk membantu, akan tetapi aku tidak melakukannya. Tubuhku terasa terlalu berat untuk bisa melakukan apa pun. Akhirnya, kubiarkan Bang Ares menuntaskan peran sebagai seorang tuan rumah yang baik. Aku mungkin harus merangkak saat berpindah ruangan nanti, atau Bang Ares bisa menggulingkan tubuhku, karena aku dan Bang Ares berniat menonton film setelah ini.

***

"Kamu mau nonton film apa?" tanya Bang Ares dengan mata terpaku pada layar laptop. Perutku masih terasa begah. Aku beringsut mendekat dengan susah payah, kemudian ikut melihat koleksi film apa saja yang dia punya. Bang Ares berpamitan untuk ke kamar mandi sebentar, menuruti panggilan alam semesta dan memintaku untuk memilih film apa saja yang kusuka.

Aku menggulir layar. Mataku terpaku pada folder bertuliskan 'Drama Jepang', membuat rasa penasaranku muncul, kemudian kubuka folder tersebut. Mungkin ini anime? Atau semacam dorama? Kulihat cukup banyak film yang tersedia. Aku memilih yang paling atas. Film itu dimulai dengan adegan seorang perempuan cantik tengah memijit seorang kakek-kakek.

Oh, mungkin perempuan itu cucu dari kakek-kakek tersebut. Pasti kakek itu sedang sakit. Waah, seorang cucu yang baik. Adegan terus berlanjut dan aku mulai merasakan ada kejanggalan di tiap adegan. Hey! Mana ada seorang kakek meraba-raba cucunya sendiri? Sebenarnya ini film apa, sih?

Meskipun otakku berteriak meminta agar menghentikan film itu, tetapi rasa penasaran mendorongku untuk terus melanjutkannya. Aku tersedak ludahku sendiri ketika otak kecilku menyadari film apa yang tengah kutonton. Tiba-tiba, sebuah tangan menutupi mataku. "Astaga! Jangan yang ini!" serunya.