Setelah selesai makan, Bang Dika melajukan motor gedenya ke arah taman yang letaknya tak terlalu jauh dari warung nasi uduk tempat kami makan tadi. Mungkin sekitar dua puluh menit, karena lalu lintas sedang lumayan lancar. Meskipun bukan malam minggu, tetapi taman itu tetap sangat ramai. Di sini, mencari tempat parkir merupakan perjuangan yang cukup berat, dan Bang Dika baru menemukan tempat yang lumayan nyaman untuk memarkir motor kesayangannya setelah sepuluh menit mencari.
"Abaaang, Naa mau itu!" seruku sambil menunjuk booth penjual minuman boba. Tanpa menunggu jawaban Bang Dika, aku langsung meraih lengannya, lalu menyeretnya ke lokasi bazar digelar dan ikut berdesakan di antara pengunjung lainnya. Emosi Bang Dika sempat tersulut ketika seorang pemuda menabrakku sampai aku hampir terjatuh. Namun, ketika Bang Dika menyuruhnya untuk meminta maaf, pemuda itu menolak.
"Bang, udah, ih! Malu kalo ribut di tempat umum. Naa nggak kenapa-napa ini," kataku sambil memegangi sambil mengusap-usap lengannya, berharap yang kulakukan bisa sedikit meredakan emosinya. Bang Dika mengembuskan napas kasar, kemudian mengusap wajahnya gusar.
"Oke," katanya. Dia memelototi pemuda yang menabrakku, lalu melontarkan ancaman, "Awas lo! Udah gue tandain muka lo. Sekali lagi ketemu dan lo nyari masalah, lo bakalan abis!" Kemudian, menggandengku ke booth yang kami tuju.
"Mau dua, rasa taro sama rasa cokelat. Pake krim cheese semua," kataku ketika akhirnya mendapatkan giliran memesan. Bang Dika berdiri tepat di belakangku. Ingin menjagaku dari cowok-cowok mata keranjang yang sedari tadi terang-terangan menggodaku, katanya. Aku harus menahan lidahku yang ingin mengatakan kalau Bang Dika pun sama mata keranjangnya seperti mereka semua.
Salah satu mbak-mbak penjual boba melirik pada Bang Dika, kemudian tersenyum sok malu-malu, padahal kutahu pasti niatnya menggoda. Hih! Membuatku ingin menjambaknya. Dia membisikkan sesuatu kepada temannya, lalu kembali mencuri pandang ke arah Bang Dika. Kemudian, mereka menghampiri abangku. "Mas Swarga, ya?" tanya mereka hati-hati.
"Eh, bukan, Mbak," Bang Dika berdusta. Bang Dika menarik topi agak ke depan untuk menutupi wajahnya, tetapi sepertinya sia-sia. Kedua cewek itu sudah mengenalinya dan mulai heboh.
"Dek, fotoin kita, dong! Yang bener, ya. Biar aku nggak kelihatan gendut," perintah mbak-mbak yang tadi sempat melemparkan senyum menggoda pada Bang Dika. Aku mendengus, tetapi tetap memasang senyum di wajahku.
Pengen nggak gendut, tuh, diet! Aku mengomel dalam hati.
Kuarahkan kamera ke arah mereka, kemudian berseru, "Mepet lagi, dong, Sayang! Biar keliatan makin mesra. Tangan abangnya kurang erat meluknya. Mbaknya kurang nempel sama masnya. Nah! Ya, ya! Senyumnya, Sayang. Mana senyum mesumnya? Yak! Cakep!" Aku memberikan arahan bak fotografer profesional, menghasilkan mahakarya yang luar biasa. Setengah jam kemudian, kami baru bisa pergi karena para Swargahollic berbondong-bondong minta berfoto dengan abangku ini. Dan aku berubah menjadi fotografer dadakan.
"Naa, jangan diem aja, dong! Ngomong apa, kek. Maaf tadi Abang sibuk foto-foto. Mau nolak kan nggak enak, Naa," bujuk Bang Dika. Kutepis tangannya dengan kasar ketika Bang Dika hendak meraihnya. Status dan kepopuleran Bang Dika sungguh membuatku muak.
Aku terus berjalan, tak menghiraukannya dan tidak bicara sepatah kata pun pada Bang Dika. Lelah berjalan tanpa tujuan, aku duduk di sebuah bangku di salah satu sudut taman yang agak sepi dan gelap. Bang Dika meletakkan bokong laknatnya dan duduk di sampingku, kemudian merangkulku. "Dek, maafin Abang, sih. Kalo tau bakal gini, tadi Abang pake masker biar nggak ada yang ngenalin. Jangan ngambek lagi, ya? Abang mohon."
"Bukan begitu, Bang," gumamku.
"Bukan begitu gimana maksudnya?" tanya Bang Dika, kebingungan nampak jelas di wajahnya.
"Aku jadi batal beli boba gara-gara Abang sibuk foto sama penggemar Abang yang maniak itu!" gerutuku, khusyuk menatap kuku tanganku.
Namun, respon Bang Dika justru begitu menyebalkan. Dia menyemburkan tawa, menepuk-nepuk pahanya sambil tergelak-gelak, kemudian mengacak rambutku. "Astaga, Dek. Abang kira kamu ngambek gara-gara Abang sibuk foto, ternyata cuma karena boba?" katanya masih tergelak-gelak seperti orang sinting. "Lo tunggu di sini bentar, ya! Jangan ke mana-mana! Gue nggak mau lo ngilang. Bakal susah nyarinya." Bang Dika bangkit, lalu berlari meninggalkanku sendirian tanpa mengatakan mau ke mana.
"Dasar cowok nyebelin! Nggak peka! Bego! Egois! Mesum! Cabul! Otak Selangkangan!" gerutuku sambil mencabuti rumput di depanku. Masih banyak lagi makian yang kuucapkan sembari menunggu Bang Dika. Sudah hampir setengah jam dia pergi, dan tak kunjung kembali. Mungkin Bang Dika diculik oleh penggemangnya sendiri. Bodo amat, lah!
Saat aku membalikkan badan, kulihat Bang Dika tengah berlari ke arahku dengan boba dan permen kapas di tangannya. Dia nyengir lebar, kemudian menyodorkan kedua benda itu padaku. Napasnya terengah-engah, seolah baru saja berlari berkilo-kilometer jauhnya. "Tanda permintaan maaf dari Abang buat Adek. Terus ...."
Dia menarik ikat rambutku, menyebabkan rambutku yang dikuncir bentuk ekor kuda tergerai, lalu mengeluarkan sebuah jepit rambut kecil dari saku jaketnya.
"Nah, gini jadi lebih cantik," katanya seusai berhasil memasangkan benda berwarna putih itu di rambutku, lalu mengecup sudut bibirku sekilas. Bang Dika menelengkan kepalanya, menyunggingkan senyum yang hampir membuatku berjingkrak-jingkrak dan menjerit histeris seperti para penggemar fanatiknya, kemudian bertanya, "Masih ngambek, nggak?"
Aku merapatkan bibirku, berusaha memalingkan wajah, tetapi Bang Dika bergerak lebih cepat. Jemarinya menjepit daguku, memaksa aku agar terus menghadap wajahnya. Kemudian, kurasakan sudut bibirku terangkat. "Masih," jawabku sambil menahan tawa. Kemudian, aku melepaskan diri darinya dan berjalan menjauhi Bang Dika. Dia mengejar, lalu merangkulkan tangannya di pundakku.
"Heh! Jangan pura-pura, lo!" katanya sembari menarik pipiku. Aku yang tak kuasa menahan tawa lagi kemudian tergelak. "Jadi minta pulang?" tanya Bang Dika.
Aku mengangguk. "Naa ngantuk, Bang," jawabku.
"Yok, Abang gendong," ujarnya. Lalu, Bang Dika berjongkok di hadapanku. Tanpa ragu, aku melompat ke punggungnya. Andai pijakan Bang Dika tadi tidak kuat, kami pasti sudah terjerembab dan mencium tanah. Mempermalukan diri sendiri. Selama perjalanan ke parkiran yang tak begitu jauh, dia tak henti-hentinya mengambil kesempatan untuk meremas pantatku.
Aku mencubit pinggang Bang Dika, membuatnya memekik dan langkahnya agak terhuyung. "Tangannya bisa dikondisikan nggak, Bang? Nggak usah ke mana-mana," kataku datar.
Bang Dika berdecak. "Cerewet amat, lo! Udah, anteng aja di gendongan gue," omelnya.
"Guenya anteng, tangan lo yang nggak bisa anteng."
"Ah, masa, sih? Gue nggak sadar."
"Dih. Mana mungkin tangannya bisa jalan-jalan sendiri."
"Beneran, dah. Gue nggak bohong."
"Kan! Kan! Kan! Tangan lo ngelunjak!"
"Huss! Diem lo, ah!"
"Bang, ih! Berhenti, nggak?"
"Gue lepasin, ya, kalo lo brisik terus!"
"Baaang ...."