Chereads / kerasnya Batu Karang / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

(pernikahan ke-2)

Hingga ada seorang lelaki yang melamar ibuku, aku tak ada pilihan lain selain menerimanya. Aku butuh tempat tinggal, aku butuh sosok laki-laki untuk menjaga ibuku. Sebenarnya masih tersimpan rasa takut di hati untuk menerima seorang lelaki baru. Aku takut dia hanya akan menyakiti ibuku dan meninggalkannya seperti yang terdahulu. Karena hal mendesak itu ibuku melupakan prinsipnya sendiri " HIDUP SEKALI, MATI SEKALI, CINTA SEKALI, DAN MENIKAH PUN SEKALI"

Aku tak tahu apa yang di pikirkan ibuku saat itu.

Hingga suatu hari,

Sah?

sah, Alhamdulillah

Mereka telah menikah, aku bingung harus bahagia atau sedih mendengar kabar itu. Aku belum tahu apa yang akan terjadi setelah pernikahan ini.

Satu bulan.

Dua bulan.

Tiga bulan.

Semua berjalan normal, aku mungkin akan terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Sampai aku lulus Sekolah Menengah Pertama, tak ada yang menarik di sekolah. Semua begitu membosankan. Tak ada pencapaian yang berhasil aku genggam. Bahkan aku lulus dengan nilai rata-rata 6.

"Bu, aku tak ingin melanjutkan sekolah, aku ingin bekerja saja, aku sudah dewasa."

" Kalau kau sudah dewasa, maka pergilah menikah."

"Aku ingin bekerja!"

" Untuk apa bekerja, kami masih bisa membiayai sekolahmu. Belajar ndo bapa tak ingin kau seperti kami. Bapa keluar sekolah kelas 2 SD, sedangkan ibumu dia hanya tamat kelas 6 SD. Jadilah orang yang berpendidikan, meskipun kau tak pandai, kau akan punya banyak pengalaman. Ingat ndo pendidikan itu bukan hanya pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar, tapi juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan."

"Bapa ini, aku bisa pandai ko, cuma kasian saja sama otak kecil ku ini untuk memikirkan semua mata pelajaran di sekolah." Suasana yang tadinya tegang seketika pecah dengan canda-an. Selalu saja bapa bisa memecahkan suasana.

Lalu Ibuku mendaftarkan ku di SMA Negeri 1 Jeruklegi, sekolah kampung yang tak elit. Jujur aku tak ingin sekolah di situs.

Alasan yang pertama, sekolah itu bekas Kaka ku, aku pasti akan di banding-bandingkan dengannya. Secara kaka ku selalu ikut peringkat paralel dan sering mengikuti perlombaan antar sekolah, menyebalkan.

Alasan yang kedua, letaknya tidak strategis, harus masuk gang kecil, dekat persawahan, dan yah ini bukan sekolah terbaik di kota ku.

" Bu aku ngga mau sekolah di sini."

"Dengan nilai rata-rata 6 kau akan sekolah dimana? di SLB(Sekolah Luar Biasa)?"

"Bu liat dong sekolahnya, kampungan, ngga terkenal lagi."

" Denger yah mencari ilmu itu ngga perlu di tempat yang bagus, yang penting kamu bisa terkenal di sini, bukan sekolahannya yang terkenal, jangan numpang nama biar jadi orang tenar."

" huft.... iya, aku bakal terkenal ko di sekolah ini."

Dengan amat terpaksa aku menerima untuk bersekolah di sini.

*Tanggal 16 Juni 2016

Masa ospek datang, aku sangat tidak suka dengan kaka-kaka OSIS yang sok ngatur itu. Aku harus bersikap ramah padanya, termikasih Kaka, maaf Kaka, sambil senyam- senyum menyapanya ketika tak sengaja berpapasan dengan mereka. Aku bahkan tidak pernah mengucapkan terimakasih kepada ibuku. Di sini aku harus berpura-pura seperti itu, rasanya ingin muntah saja. Tetapi ada satu hal yang membuatku tertarik, dia guru geografi, Pa Agus namanya. Dia cukup menarik perhatian, karena wajahnya yang lumayan tampan, dan pribadinya yang menyenangkan. Dan aku tahu, dia termasuk pembina OSIS. Aku mulai tertarik dengan OSIS.

Tak perlu waktu lama sekolah sudah mulai membuka kegiatan belajar mengajar, aku masuk jurusan IPA. Yang setiap harinya selalu di hidangkan pelajaran yang membuatku ingin memanggil Hulk untuk menghancurkan sekolahan.

" Aku tidak bisa seperti ini, aku harus berubah." Sampai suatu saat aku ingat bahwa aku sudah berjanji untuk menjadi orang yang terkenal di sekolahan ini.

Aku mencoba membuka telinga dan menulis penjelasan guru. Hingga tak sadar aku mulai tertarik dengan materi-materi yang mereka sampaikan.

Timbullah keinginan " Aku harus bisa ikut peringkat paralel."

Bersamaan dengan mengejar mimpiku, aku bertemu dengan Meysa, Hesti, Nur, dan Septi. Aku memiliki kepribadian yang sama dengan mereka. IRIT itu adalah hal yang membuat aku merasa senasib dan sepenanggungan dengan mereka. Sehingga terciptalah persahabatan diantara kita ber-lima. Di kelas banyak heters dan netizen, teman-teman kelas menganggap kalau kami ini geng. Banyak mulut-mulut cabe membicarakan kedekatan kami.

I do not care about them

Semua berjalan dengan lancar aku berhasil masuk peringkat 2 paralel. Dengan bangga aku katakan " Lihat aku masuk peringkat paralel Bu, aku bisa terkenal bukan?"

" Kalo kamu nurut sama orang tua kamu pasti akan jadi orang sukses, makanya ngga usah banyak ngomong kalo udah di pilihin ibu. Belum tentu kamu bisa masuk paralel di sekolah terkenal.Jangankan paralel, peringkat kelas saja belum tentu bisa masuk. Liat misyel dulu dia jauh lebih pinter dari kamu, sejak dia masuk sekolah terkenal, ketenarannya berkurang. Kebanyakan main, kebawa temen-temen kota, pacaran. Awas ya Nung kalo kamu pacaran, ibu nikahin sekalian."

" Nggih Bu (iya Bu)."😒

Aku mulai sadar, ibu benar, belajar bukan hanya mencari sekolah yang terbaik tetapi dimana kita bisa menjadi seseorang yang terbaik di sekolah itu. Aku cabut kata-kata yang aku keluarkan dulu, menganggap remeh sekolah ini. Aku bangga bisa sekolah disini, dimana aku bisa tunjukan pada orang yang sudah meremehkan ku dulu, bahwa aku pun bisa pada waktunya...

Aku mulai jadi anak yang ambisius. Bolak-balik perpus-kantor-kelas untuk bertanya soal materi yang belum aku pahami. hingga aku pun dipilih jadi perwakilan untuk mengikuti OSN (Olimpiade Sains Nasional) dan mengikuti perlombaan antar kabupaten. Aku berhasil membawa harus nama sekolah ku.

3 Tahun tak terasa.

Aku pun lulus dengan nilai yang memuaskan. Namun karena orang tuaku tak mampu membayar biaya kuliah, aku mencoba ikut tes sekolah kedinasan STAN. Sekolah impian semua orang. Setiap pagi, siang, malam ku baca buku-buku materi Ujian Masuk STAN. Aku yakin, aku pasti lolos.

Hingga waktu tes tiba, aku dengan percaya diri melangkahkan kaki memasuki ruang tes. Aku sangat tenang melihat teman-teman lainnya yang merasa gugup, aku yakin mereka pasti belum matang persiapan menghadapi pertempuran ini. Ketika ku baca soal di layar komputer, satu hal yang aku pikirkan "Anjir, gua belajar apa kemarin."

Seketika pikiranku kosong, ribuan soal aku kerjakan tak ada satupun yang keluar.

Aku merasa pucat pasi, aku tak kuat, aku ingin membakar soal-soal itu dan meminumnya.

Fix aku gagal

Aku marah dengan diriku sendiri.

Aku marah kepada Tuhan.

Tuhan tak menghargai kerja kerasku.