"Lu yakin nggak kenapa-kenapa kan?"
"Iya nggak apa-apa."
aku masih ragu dengan jawaban yang diberikan oleh Rafi, aku masih penasaran dengan misteri hilangnya Rafi kemarin.
"Kemarin itu lu bener seharian di kamar aja?"
"Iya kok bener."
"Lu yakin bahwa lu di kamar aja?"
"IYA!!!, EMANG NGAPA SIH LU? SEWOT AMAT!!!"
Aku sedikit terguncang, tak seperti Rafi yang aku kenal yang tak pernah membentak sekalipun, Rafi yang kukenal bisa mengontrol emosinya sendiri. Aku yang ikut bersandar ke pagar di sisi kiri Rafi dengan refleks menampar pipi Rafi dan meninggalkan bekas kemerahan. Aku kabur dari sisi Rafi dengan air mata yang sudah berjatuhan, meninggalkan Rafi sendirian di tepi pagar tempat favoritnya yang biasa di sore hari. Pas sekali, angin berhembus dengan kencang menyibakkan dedaunan di kebun ini ditambah lagi langit telah menunjukkan sisi gelapnya cukup untuk membekas kesan perpisahan yang buruk antara aku dan dirinya. Sebenarnya Aku tak mau menghadapi perpisahan semacam itu. Bagaimana jika diantara salah satu diantara kami diambil nyawanya oleh sang ilahi tanpa saling bermaafan terlebih dahulu, pastinya meninggalkan rasa penyesalan yang luar biasa mendalam.
******
Di waktu malam juga Rafi tak berjumpa denganku seperti biasa. Padahal biasanya Rafi yang nyamperin. Rasanya kurang kalo Rafi merubah kebiasaan itu. Sebagai bentuk permintaan maaf atas tamparan tadi, kucobalah untuk nyamper Rafi ke kamarnya. Ketukan demi ketukan, salam demi salam tak kunjung dapat jawaban dari dalam kamar. Aku jatuh terduduk di depan daun pintu, dengan menutup wajah dengan kedua telapak tanganku, cairan hangat itu kembali mengalir membasahi wajah. Namun anehnya pintu masih bertanda merah yang artinya si pemilik tak ada di dalam.
Tak tahu lagi aku harus apa, kuputuskan kembali ke kamar dan berbaring sejenak untuk mencerahkan pikiranku. Aku mengusap air mataku di penghabisan, mata ini masih memerah. Sepertinya mau tak mau aku harus curhat ke guru kesayanganku, Bu Karina. Jarang memang aku curhat ke Bu Karina, hanya saat-saat tertentu saja ketika masalah yang dihadapi tak dapat dia tangani seperti sekarang. Rika bergegas pergi ke asrama para guru sebelum tiba jam tidur. Dengan sebuah ketukan beriring salam di depan kamar, lantas cepat jawabannya.
"Siapa disana?"
"Ini aku Bu, murid kesayangan ibu, Rika disini."
"Oh, Rika.", pintu dibukakan jua.
"Silahkan masuk", Aku dipersilahkan masuk kedalam. Terdapat meja kecil di dekat pintu beserta dengan 2 kursi. Kami duduk berhadap-hadapan disana. Dengan gaya yang santai, Bu Karina memulai pembicaraan itu. Memang, seringkali Bu Karina sudah menganggap anak-anak di panti itu layaknya anak sendiri.
"Sebenarnya ada masalah apa lagi Ka?, Soal percintaan ya?"
"Darimana ibu bisa tahu?"
"Pipimu itu memerah loh.", memang wajahku ini tak berbakat untuk berbohong. Aku jadi sedikit malu, kututupi rasa malu itu dengan sedikit senyuman dihadapan Bu Karina.
"Gini loh Bu, Si Rafi, hari ini sikapnya nggak seperti biasanya dulu. Sekarang dia kayak suka tutup mulut kepadaku padahal biasanya kami suka ngoceh kalo ketemu, udah lagi dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku dan sikapnya lebih dingin."
"Begini Ka, Kita tidak tahu apa itu yang dia sembunyikan, kita hanya harus berpikir positif saja, mungkin dia menyembunyikan sesuatu yang mungkin akan buruk bagimu, mungkin saja dia sedang menghadapi sesuatu yang sangat sulit untuk dia hadapi sendirian, dia bersikap dingin karena masalah itu sering menimpanya terus menerus. Mungkin juga dia butuh pertolongan seseorang yang bisa membantunya seperti dirimu.", Bu Karina menempelkan jari telunjuknya di bibir Rika.
"Tapi...tata...Pi.., aku tadi sudah menamparnya..., Apa aku masih layak untuk membantunya...?", Rika menangis di depan Bu Karina.
Bu Karina berdiri memeluk Rika sambil mengelus-elus kepalanya seraya berkata.
"Tak apalah kita mencampakkan orang yang dirasa menyakiti kita, asalkan kita meminta maaf kepadanya dan kita pun memaafkannya. Semua orang berhak untuk saling tolong menolong. Tidak ada kata telat untuk kita asalkan waktu masih tersisa. Yakinlah tuhan bersama kita hingga akhir hidup kita"
"Terimakasih Bu Karina, aku sayang ibu"
"Ibu juga sayang Rika."
Masalah kejiwaan selesai juga, Aku berpamitan dan kembali menuju asrama perempuan. Waktu sudah cukup malam kalau dilihat di kamar Bu Karina tadi, sudah jam 22.30, tapi kenapa ya lampu asrama belum dimatikan?. Tepat saat pintu kamarku terbuka, koridor gelap gulita. Aku yang tinggal selangkah lagi untuk masuk ke dalam kamar, berdiri bulu kuduknya, nafas tersengal dan detak jantung menderu lebih cepat. Aku segera masuk kedalam dan terjatuh di lantai, kali ini tenagaku masih banyak sehingga tak sampai pingsan, hanya terkulai lemas.
Aku merogoh kantong saku rok dan mengeluarkan satu-satunya sp(smartphone) milikku. Aku merasa harus meminta saran dari Sarah atas masalah ini. Kolom chat telah terbuka. kutulis isinya....
"Rah...., Lu ada waktu nggak?"
"Iya ada kok..., Kenapa Ka?"
"Kalo menurut lu biar orang ngungkapin isi hatinya ataupun masalah pribadinya secara paksa tanpa kekerasan itu gimana ya caranya?"
"Gua sih nggak pernah maksa orang buat ngungkapin perasaan ataupun masalah pribadinya, tapi kalo lu nggak mau pake kekerasan mendingan lu pake hipnotis aja."
"Ok dah makasih."
"Emang kenapa Ka?"
Percakapan dengan Sarah bersambung kepada masalah yang sudah aku curhatkan ke Bu Karina tadi.
"Tapi tetap aja Ka, gua ngerinya lu jadi agresif ataupun anarkis ke Rafi kalo lu bisa menghipnotis orang, jangan-jangan nanti lu mau ********** he..he..."
"Ih apaan sih Rah..."
kututup Sp(smartphone) untuk mengakhiri percakapan itu lalu menaruhnya di atas meja. Aku langsung tertidur tanpa memikirkan hal lainnya. Siapa ya yang bisa menghipnotis orang?, pastinya hampir tidak ada. Mungkin aku harus mempelajarinya sendiri di perpustakaan nanti.