Chereads / Sisi Gelap Jakarta / Chapter 10 - Bertahan dalam jebakan

Chapter 10 - Bertahan dalam jebakan

Apotek letaknya masih satu lantai. Ia terletak di pojok kanan gedung utama di seberang atrium utama, hanya perlu melewati gudang untuk sampai disana. Kami berjalan perlahan-lahan untuk meminimalisir adanya suara. Walaupun lorong menuju apotek tetap gelap namun senter hp-ku masih menyinari. Dalam rangkulan Rika, kami berjalan maju. Sembari melintas, aku menggunakan hp milik Rika juga untuk menyoroti benda-benda disekitar. Semua nampak biasa saja seperti dinding, jendela, rak-rak, loker-loker dan juga barang-barang tak terpakai lainnya.

Sesampainya aku menyorot kaca jendela ruangan sebelah kanan. Salah satu Kaca-nya seperti retak, sisi dalamnya tak nampak. Namun setelah kaca jendela itu diberi sinar, retakan itu kembali mulus dan mengkilap. Prangg, kaca tersebut pecah seketika dengan memberikan suara yang cukup kencang. Sebuah tangan manusia dengan wujud kekar muncul dari jendela setelah pecah. Pukulan tadi dapat memecahkan kaca. Sorotan cahaya mata monster menerobos kegelapan dari dalam.

Kami tetap berjalan perlahan-lahan walaupun keringat dingin terus mengucur deras, rasa takut terus hinggap di sanubari. Aku tetap menyorotinya sampai kami dapat melewati. Tepat di sebelah kananku, tangan itu membelah tembok beton yang ada di bawah jendela, sebuah lubang seukuran manusia menganga karenanya. Aku sempat melirik ke arah makhluk itu, bentuknya persis menyerupai manusia, hanya saja otot-otot menyelubungi tubuhnya terkecuali bagian mata dan rambut. Rambut aslinya masih berwarna putih, namun matanya jadi memerah.

"Swelawmatkayn kyamy.", suara itu keluar dari mulutnya dengan cukup keras. Suaranya mirip dengan seorang pemuda, hanya saja terdengar kurang jelas.

Aku jadi agak khawatir monster yang pertama bakal datang kesini karena kebisingan tadi. Kami sudah berjalan cukup jauh dari jendela pecah tadi. Benar saja perkiraanku, suara terdengar lagi dari ujung lorong, sebuah lengkingan yang khas. Aku menamakan monster yang pertama kali kami temui dengan nama 'monster pendengar' karena kemampuan khususnya.

Drap...drap....

Monster pendengar sedang berlari dengan cepat, mengejar kami dari ujung lorong. Aku dengan sigap menarik Rika dan menyandarkannya di dinding. Monster pendengar melesat di depan mata kami. Ritme berlarinya terhenti karena menabrak pintu apotek. Pintunya hancur dan beberapa rak berisikan obat-obatan berserakan ke lantai. Rika maju selangkah, aku sempat menahannya kembali. Hampir saja tubuh Rika remuk dihantam oleh monster yang kembali lagi ke tempat asalnya. Rika dapat merasakan hembusan angin dari larinya monster pendengar menyibakkan wajahnya. Detakan jantung Rika dapat kurasakan.

Kami kembali berfokus pada apotek, Rika kembali merangkul diriku. Tinggal beberapa langkah lagi kami sampai, aku berharap masih ada persediaan disana, aku berharap monster pendengar tidak menghancurkan sisi dalam apotek.

Kami memasuki apotek yang setengahnya sudah hancur itu. Di tempat yang aman, aku menyandarkan diriku. Mataku sudah berkunang-kunang, sepertinya sudah terlalu banyak darah yang keluar dari betisku. Aku tak dapat menanggapi perkataan Rika lagi. Sepertinya dia sedang berbicara denganku, dalam buram aku melihat air matanya menetes. Dia dengan sigap beranjak dari depanku untuk menyusuri rak-rak yang tersisa. Ia kembali dengan perban dan beberapa obat. Dari situ mataku tak kuat untuk tak mengatup.

******

Aku terbangun kembali dalam keadaan telentang. Aku terbangun karena aku merasakan tetesan-tetesan air terpercik di wajahku. Perlahan kubuka mataku, kulihat tangisan Rika dengan wajah memerahnya. Kepalaku sedang di dalam pangkuannya, ia hanya menunggu hingga aku tersadar. Aku bangkit dari pangkuannya, aku masih dapat merasakan nyeri di betis walaupun sudah diperban oleh Rika. Aku mulai membuka percakapan,

"Ka.., Ada obat apa aja?"

"Selain perban gua nemu Betadine, kapas, alkohol, vitamin-vitamin, penambah darah, oh iya..., Gua juga nemu tas P3K."

"Inhaler buat lu ada nggak?"

"Oh iya.., ada nih, yang kemasan besar lagi."

Sepertinya senyumanku berhasil membuatnya tersenyum juga.

"Fi...., Lu kan janji nggak mau tinggalin gua..., Tadi itu gua sempet panik loh, lu nggak sadarkan diri, detak jantung lu juga lambat banget."

"Tuhan akan selalu bersama kita Ka...., dan gua akan bersama lu disini....", Aku menunjuk dada Rika."

Momen suram itu menjadi hangat. Aku bersama Rika mencari-cari di sudut ruangan sebagai senjata. Kami tak menemukan apapun yang dapat dijadikan senjata. Kami hampir saja frustasi, namun takdir berkehendak lain, aku sempat lupa bahwa di dekat apotek terdapat ruang penyimpanan olahraga.

Kami keluar dari apotek tadi menuju ruang penyimpanan olahraga di sampingnya atas saranku. Kucoba untuk menyalakan saklar lampu di dekat pintu. Sempat membuat hatiku sedikit gembira, ternyata lampu di ruangan itu dapat menyala. Walaupun tak terlalu terang, namun cukup untuk menerangi seluruh sudutnya.

Kalau disini banyak peralatan yang dapat dijadikan senjata. Benda pertama yang kulihat adalah tongkat bisbol yang terpampang di dalam rak. Membutuhkan waktu lama untuk memilih senjata apa saja yang dapat dibawa. Kami mengumpulkan semuanya di tengah-tengah. Selain tongkat bisbol, ada juga darts, pedang anggar, lembing, yari, naginata, shuriken, Kendo dan juga panahan.

Aku menyarankan agar membawa senjata lempar seperti darts dan shuriken di dalam saku. Untuk senjatanya bisa dibawa di dalam tas panahan. Aku yang akan membawa kotak P3K karena dengan persenjataan pasti akan berat bagi Rika untuk membawanya.

"Jadi gimana Ka?", Kataku sambil mengasah pedang anggar.

"Gimana apanya?"

"Maksud gua mau nyoba nggak?"

"Boleh, tapi kaki lu gimana?"

"Udah nggak nyeri lagi kok."

"Boleh dah kita coba dulu."

Setelah siap, kami keluar dari ruang itu untuk mencoba senjata baru kami di lorong. Kami hendak mencobanya langsung ke monster-monster itu. Aku berteriak dengan kencang, dalam harapan monster pendengar tadi datang lagi kepada kami. Saat monster pendengar itu datang kami sudah bersiap, ternyata makhluk itu berada tak jauh dari kami, sehingga dalam kurun waktu singkat kami dapat bertatap muka lagi. Dia keluar dari salah satu ruangan di depan kami. Kucobalah pedang anggar yang telah kuasah tadi. Aku menyerang dari sisi kiri dan Rika di sisi kanan. Aku dan Rika sebelumnya belum pernah sekalipun mengayunkan pedang, kami hanya pernah melihatnya di internet, game ataupun pameran ekskul. Layaknya mengayunkan rapier, Kami menusuk tubuh monster pendengar pada saat yang bersamaan. Pedang sudah tercabut dari tubuhnya, namun ia masih bisa bangkit. Seharusnya ia memiliki titik kelemahan, kucoba untuk menusuk telinga besarnya itu. Monster itu menjerit dan mulai mengalami perlambatan gerakan.

Brak...

Aku mendorong Rika agar tak mengenai hantaman mendadak tangan monster itu dari samping. Hantaman itu mengenai punggungku sampai berbunyi. Dengan cepat aku bangkit kembali, lalu menusuk telinga sebelah kirinya. Monster pendengar sudah tak berdaya, organ vital miliknya telah ditusuk. Dia perlahan jatuh ke lantai dan tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan lagi. Bau busuk menyeruak dari tubuhnya. Aku terduduk di dekat Rika sambil memegang kepala. Kepalaku merasakan pusing, pandanganku buram kembali. Aku berkata padanya sebelum akhirnya aku pingsan kembali,

"Kelemahannya ada di telinganya Ka..."

******

"Gua kenapa lagi Ka?"

"Lu pingsan lagi Fi..., Tubuhlu mengalami pendarahan lagi."

Sama seperti tadi, aku terbaring di pangkuan Rika di pojok ruang apotek.

"Satu tos untuk keberhasilan kita?"

"Tos."

Rika kembali tersenyum setelah kami tos bersama.

"Lu jangan terlalu keras sama dirilu sendiri ya..."