Kami berjalan dengan santai, tanpa ada rasa khawatir sedikitpun. Persenjataan sudah lengkap, buat apa khawatir apalagi jalan secara berjingkat-jingkat. Kami kembali berjalan melewati lorong yang gelap. Kami mencoba untuk menggunakan tangga darurat sesuai ideku. Tangga darurat letaknya ada di tengah bangunan, menempel di sisi Utara. Jumlahnya hanya satu dan ukurannya juga tak terlalu besar. Perlahan kubuka pintu tangga darurat. Aku tahu ini akan jadi perjalanan yang melelahkan.
"Biar gua dulu yang coba", cegah Rafi.
"Bukannya ladies first?"
"Nggak kalo situasinya kayak gini."
Rafi melangkahkan kakinya ke dalam, aku masih memandang kearahnya dari depan pintu. Entah kenapa aku seperti tersuntik oleh larutan adrenalin, sejak kami di apotek, aku sudah tidak merasa takut lagi. Bahkan sejak tadi aku belum memegangi lengan Rafi lagi, padahal kan aku takut kegelapan. Sekarang hanya sorotan dari dua sp (smartphone) yang terlihat, Rafi sedang menginjakkan kakinya sebagai pemastian bahwa lantai besi itu aman.
"Ternyata aman ka.", Baru saja aku senang mendengar hal itu, bunyi reruntuhan langsung menggelegar.
Tangga darurat itu runtuh hingga ke dasar. Dari kejauhan hanya bisa kulihat Rafi yang tertimpa besi-besi bangunan. Aku tak kuat melihatnya lagi, kantung mata ini pun jebol lagi akan tangisan. Padahal tadi aku sudah berhenti menangis, mata pun sudah memerah. Tak seperti tangisan sebelumnya, kali ini lebih kejer. Lututku tak kuat menahan beban, aku terlutut di depan pintu. Tanganku mengatup di wajah. Hanya merunduk meratapi Rafi yang sudah tak ada disisiku lagi.
Kudengar ada lengkingan terdengar dari belakang, sesosok monster yang sudah kukenal suaranya. Aku hanya mau pasrah jika dia menyerang, lagipula untuk apa hidup tanpa ada orang yang kita sayangi?. Aku sudah kehilangan tujuan hidup, daripada hidupku habis di tangan monster menjijikkan itu, lebih baik jika kuhabiskan dengan terjun ke lantai paling bawah. Tinggal sepercik keberanian lagi yang kubutuhkan untuk terjun ke depan, ke lubang yang menganga di hadapanku, tempat Rafi terjun.
Aku terjun di tangga darurat yang sudah runtuh itu, waktu seakan berhenti saat aku nyaris mencapai dasar.
Aaaahh..., Dapat kurasakan tubuhku meronta-ronta. Di dalam sebuah kamar tempat petualangan daring itu dimulai. Aku dapat membuka mataku lagi. Aku kembali di dalam baringan kasur milik Sarah. Gear masih menempel di kepalaku. Aku mulai bangkit dari kasur, tubuhku masih kehilangan keseimbangan, aku hampir terjatuh ke kasur lagi. Sambil menahan pusing di kepala, aku melihat sekitaran. Sarah masih terlihat sibuk di depan komputer kesayangannya. Rafi masih belum bangun dari tidurnya. Kucoba untuk mengguncangkan tubuh Rafi, harap-harap agar ia dapat terbangun. Tak perlu waktu lama, akhirnya pelupuk matanya terbuka juga. Yah walaupun kami jadi sedikit linglung.
"Ka..., Gua Selamat?"
"Ya, Alhamdulillah kita masih selamat."
"Si Sarah mana?"
"Itu masih sibuk di depan komputer, dari tadi dia belum ngomong apa-apa.", Kataku sambil menunjuk ke arah Sarah.
"Astaghfirullah."
Rafi langsung berdiri dari tidurnya, hal itu membuatnya hampir terjatuh karena tubuhnya belum mendapatkan keseimbangan. Aku mulai melepaskan gear Yang terpasang di kepala, begitu juga dengan Rafi. Rafi mulai mendekati Sarah.
"Rah...., Alhamdulillah gua Ama Rika bisa selamat."
"Ya..., Al..ham..du..lil..lah..", suara Sarah sedikit parau dan terbata-bata. Rafi terlihat curiga setelah menatap wajah Sarah yang tetap terarah ke monitor. Karena gear itu, aku jadi lupa dengan hari.
"Rah sekarang hari apa?"
"Se..la..sa...", Gubrak, kepala Sarah terbenam di mejanya yang terbuat dari kayu.
"Astaghfirullah Rah..., Udah dua hari kita di sana?, Dan lu udah begadang 2 hari demi kita?"
Aku mulai mendekati Rafi, dengan isyaratnya ia menyuruhku untuk memeriksa denyut nadi Sarah.
"Denyutnya pelan banget, kulitnya juga dingin banget."
"Harus kita bawa ke UKS."
Rafi menggendong tubuh Sarah dengan kedua tangannya sementara aku hanya mengikuti dari belakang. Jarak dari kamar Sarah ke UKS cukup jauh. Kamar Sarah ada di gedung Barat, sementara UKS berada di sisi Utara Atrium lantai 2. Harus melewati kamarku dulu baru sampai disana, ya walaupun lorongnya tak terlalu terbelit-belit. UKS berada di persimpangan antara asrama perempuan dan laki-laki dengan lorong di arah atrium.
UKS itu sendiri sudah seperti klinik pribadi milik panti, peralatannya begitu lengkap dan selalu ada dokter yang bersiaga di sana. Ruangan UKS juga bisa dibilang cukup luas. Kami memasuki UKS setelah pintu geser otomatis telah terbuka karena sensor. Seorang dokter yang sedang berjaga dengan sigap menghampiri. Ia mengarahkan Rafi untuk membaringkan Sarah di sebuah kasur di pojok.
"Jadi ada kendala apa?", Tanya sang dokter sambil memeriksa tubuh Sarah.
"Jadi begini dok, dia itu udah bergadang 2 hari nggak tidur, kulitnya dingin sama denyut nadinya lemah."
"Bisa saya pastikan dia terkena anemia, kalau boleh tahu apa golongan darahnya?"
"Hmmm.", Rafi berpikir keras, itu hal yang percuma karena aku sudah tahu apa jawabannya.
"AB dok."
"Wah cukup langka ya..., Diantara kalian berdua ada nggak yang punya golongan darah O?, Masalahnya stok darah di UKS sudah habis."
Aku tentunya tidak karena golongan darahku A, pastinya Rafi akan bersedia mendonorkan. Tapi aku jadi merasa aneh dengan UKS ini, seharusnya kan persediaan darah dipasok lagi jika sudah menipis. Apalagi dengan suara dokter itu yang sepertinya pernah kudengar suaranya entah dimana, hanya saja aku lupa siapa, kapan dan dimana?.
"Saya dok.", Kata Rafi dengan mengangkat tangan kanannya.
"Kamu bersedia untuk mendonorkan darah kepada temanmu?"
"Ya saya bersedia."
"Suster!!!", Sang dokter menepukkan tangannya dan seorang suster datang atas panggilannya dari ruang tunggu petugas di pojok timur UKS, " tolong ambilkan peralatan donor dan juga perlengkapan infus."
Suster itu datang dengan apa-apa yang di minta sang dokter, peralatan yang cukup kompleks.
"Ka..., Lu boleh balik duluan kok.., ini cuma sebentar aja."
"Nggak Fi..., Gua mau ngeliat juga."
"Nggak apa-apa nih?, Sedikit ngeri loh."
"Nggak apa-apa kok."
******
Rafi telah menggulung lengannya, si dokter juga sudah siap dengan jarum suntiknya. Perlahan darah milik Rafi ditransfer oleh sang dokter ke sebuah baskom. Sementara si suster sedang memasang peralatan infus agar siap dipakai. Darah harus dimasak terlebih dahulu sebelum diberikan kepada sang pasien. Beberapa waktu berlalu, darah sedang dimasak agar dapat dipastikan kesterilannya. Tak butuh cukup lama untuk proses itu. Darah dan infus segera dipasangkan ke tangan Sarah.
"Kalian bisa kembali sekarang," kata sang dokter"Tapi usahakan di setiap malam, minimal salah seorang diantara kalian ada disini ya, kalo nanti ada apa-apa bisa kami tangani dengan mudah."
"Baik dok.", Jawab aku dan Rafi.
"Buat hari ini gua aja Ka..., Lagian kan gua bertanggungjawab atas lu Ama Sarah."
"Yaudah deh." Aku hanya bisa mengangguk mendengar perintahnya.