Dari situ kami memulai perjalanan secara virtual. Kami telah mendiskusikannya sebelum memulai, karena tempatnya terlihat seperti sebuah laboratorium maka tempat pertama yang harus kami kunjungi adalah laboratorium di lantai bawah.
Melangkahkan kaki kami, sejauh ini masih aman saja. Sayangnya hanya lampu lobby yang menyala. Tampaknya setiap lorong sedang tidak bersahabat, karena hanya kegelapan yang menyelimuti. Kami berhasil melewati lorong pertama, untung saja di depan sana terlihat cahaya walaupun remang-remang. Di persimpangan lorong aku menoleh ke kiri-kanan mencoba melihat keadaan. Rika tetap saja memegang erat lenganku karena rasa takutnya itu. Rika terlihat makin gemetaran, kucobalah untuk sedikit menenangkannya.
"Tenang Ka..., Nggak ada apa-apa kok."
Dia tersenyum kepadaku, wajahnya terlihat makin imut jika dilihat dari sudut pandangku yang lebih tinggi.
Krrtt...
Apa itu?..., Beberapa warna wallpaper dinding sedikit berubah. Awalnya berwarna coklat bermotif kayu, tiba-tiba berubah menjadi motif tanaman. Warnanya jadi berantakan mulai dari kuning biru dan macam-macam. bentuk-bentuk pixel pecah-pecah menguasai dinding. Layarku menampilkan sebuah pesan peringatan. Sebuah video call datang dari Sarah yang sedang mengatur perjalanan kami dari luar.
"Assalamualaikum Ka... Fi...., Kalian baik-baik aja nggak?, Gua ada masalah serius ini. Tiba-tiba servernya diserang ribuan virus secara bersamaan entah dari mana, firewall-nya nggak kuat, gua ini lagi nahan serangannya sekuat tenaga gua, tapi kayaknya ada yang berhasil masuk ke server. Jadi kalian harus berhati-hati ya..., Bisa aja nanti kalian nggak bisa keluar karena servernya jadi cacat gara-gara virus. Disitu masih ada tombol keluar nggak?"
"Kayaknya dari awal udah nggak ada, Rah.", Kataku.
"Wah gawat..., Kalian terus jalan aja sampai dapet informasinya, gua usahain nulis ulang programnya selagi kalian mencari, Ok..."
Klik...klik....,tak..,takk..
Video itu berakhir, sungguh ini adalah masalah yang serius, kalau tidak, tak sampai seperti ini jadinya. Sarah pasti sedang bekerja sekuat tenaganya, terdengar dari suara keyboard dan mouse-nya. Rika jadi bertanya kepadaku,
"Fi..., Apa kita bisa keluar dari sini?"
"Selama ada gua, insyaallah lu bakal gua lindungi Ka..., Walaupun maut menghampiri."
******
Kami sampai di atrium utama panti. Sambil bersandar ke railing kaca, aku menengok ke bawah ke arah kolam renang di lantai terbawah. Hanya ada lampu di atrium utama, itupun hanya remang-remang. Ini akan sangat sulit.
Aku mulai menerawang ke sekitar untuk mencari tangga turun ke basement. Hei.., tunggu..., ada yang aneh disini, kenapa di atrium utama malah nggak ada tangga sama sekali?, padahal seingatku ada disekitar sini, bahkan setelah kuterawang lebih jauh ke lantai bawah, juga tidak ada tangga.
Ini gawat....
Duar....
Salah satu pintu ruang belajar di dekat atrium itu terlempar keluar, jatuh dan membuat suara yang sedemikian keras sehingga Rika terlanjur memelukku. Jarak kami dengan pintu itu hanya beberapa meter saja. Terpancar sebuah sorotan cahaya dari dalamnya. Sesaat kemudian terdengar sebuah lengkingan yang memekakkan telinga. Sesosok manusia dengan beberapa keanehan di beberapa bagian tubuhnya berdiri di depan pintu itu, dia hanya tampak seperti siluet saja. Aku masih ingat dengan sesosok pria pada malam itu saat bersama Rika, apakah dia adalah sejenis yang sama?.
Yang pasti dia menengok kearah kami, menampilkan cahaya dari kedua bola matanya dan membuat gigi-giginya terlihat. Aku tak berani mendekatkan tubuhku padanya. Kaki kanannya menapak ke depan, seperti sedang mengambil ancang-ancang. Tubuhnya yang kurus dan sedikit kekar melesat ke arah kami, tangan kanannya membesar membentuk cakar hitam yang tajam. Aku menghindar ke kanan, Rika kudorong ke kiri untuk menghindari serangan mendadak itu. Alhasil aku masih bisa bertahan, namun Rika terlihat kesakitan karena tenagaku yang mungkin terlalu keras. 'Monster' tadi menghantam railing atrium dan terpental ke lantai bawah. Pecahan kaca berserakan kemana-mana.
Tadi itu hampir saja melukai kami, *that was close* oh ya aku jadi penasaran apakah disini benar-benar bisa terluka?.
"Lu nggak apa-apa Ka?", Aku bertanya padanya setelah kuhampiri.
"Nggak apa-apa sih, tapi ini dagu gua jadi terasa sakit gara-gara terantuk.", Ia menunjuk titik sakitnya dengan telunjuknya.
Tak bisa kupercaya, kupikir di alam virtual tidak bisa terjadi, Dagu milik Rika mendapat lebam keunguan.
"Ayo, kita harus bergerak secepatnya.", Kataku. Aku menarik lengan Rika menuju ruang yang sudah tak berpintu itu. Itu adalah kelas matematika, namun sisi dalamnya sudah hancur berantakan, apakah karena monster tadi?. Kami duduk dilantai untuk mendiskusikan strategi terlebih dahulu.
"Gua nggak tau tadi itu apa, mungkin perwujudan dari virus komputer. Yang pasti kita benar-benar bisa terluka disini. Kita tetap harus turun kebawah menuju lab tanpa mendapat masalah dari makhluk itu."
"Fi..., Kita harus cari tangga alternatif selain di atrium tengah. Kita juga nggak tau kan makhluk kayak gitu ada berapa?, Kita juga nggak tau yang barusan jatuh itu masih hidup apa udah mati."
Krang...kress.., beberapa kaca pecah.
Lengkingan monster itu terdengar lagi, aku menoleh ke kanan, monster tadi ternyata sudah dilantai yang sama dengan kami lagi. Dia bisa memanjat!!!, Benda itu berlari ke arah kami. Kami yang sedang berbincang di pintu terlihat olehnya. Aku melontarkan Rika lagi yang mana itu akan menyakitkan bagi dirinya.Aku pun melontarkan diriku ke arah lain. Monster itu menghantam dinding. Dia sepertinya mengamuk, cakarnya yang besar menyapu bersih benda di sekitarnya, serpihan-serpihan kayu, besi dan paku terlontar ke udara. Kulihat Rika menangis terjongkok di depanku. Aku gendong tubuh Rika dengan kedua tangan. Aku berlari keluar kelas itu untuk mencari tempat berlindung. Rika masih menangis, nafasnya pun jadi sesak karena situasi.
Tras....
Duk...
Aku terjatuh, betisku merasakan sakitnya cakaran makhluk itu. Tubuh Rika jadi terlempar ke lantai. Aku tak bisa bangkit untuk berdiri, betisku sobek. Rika akhirnya terbangun dari tangisnya, ia mengelap air matanya dan merangkul bahuku untuk berjalan. Kami berjalan dengan perlahan tanpa suara sedikitpun. Kami memasuki lorong yang lain lagi. Di pinggiran lorong kami terduduk kembali, aku meringis karena darah masih mengalir di betisku.
"Ngik...,ngik..,ngik...", Rika merasakan sesak nafas, asmanya kambuh, dengan segera ku sekap mulutnya dengan tanganku. Aku baru menyadarinya saat jatuh tadi, monster itu lebih merasa sensitif terhadap rangsangan suara. Jadi semakin kita bergerak dalam sunyi, semakin amanlah kita dari serangan. Kupeluk Rika untuk menenangkan dirinya, setelah beberapa saat nafasnya kembali normal. Rika membalas pelukanku dengan lebih erat.
Aku mendekati telinganya dan berbisik,
"Gua rasa monster tadi lebih peka sama suara, jadi selama kita nggak bersuara kemungkinan kita bakal aman-aman aja."
Rika membalasnya dengan bisikan pula, "Kalo bisik-bisik emang nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa kok, percaya Ama gua."
"Abis ini kita langsung ke bawah?"
"Kayaknya kita harus ke apotik dulu buat nyari persediaan obat, kalo lu bengek kan nggak repot nanti nyari inhaler, gua juga mau cari perban dulu Ama senjata kalo ada."
"Maaf Fi..., Gua cuma nyusahin lu doang ya...?", Rika menitikkan air matanya ke pakaianku. Airnya bisa merembes baju dan menyentuh kulit, air mata Rika terasa hangat.
"Nggak kok Ka.., jangan berpikiran gitu dong..."
"Tapi...,ta...pi...,", Ia jadi sesenggukan "tadi itu serem banget.., gua takut Fi...."
"Tenang... tenang.., gua selalu ada disini buatlu."
Rika menempelkan wajahnya di dadaku, ia mencurahkan tangisnya di situ, aku hanya bisa mengelus-elus kepalanya yang tertutup jilbab dengan lembut.