"Dasar, Si bodoh itu",semakin dipikir semakin merona saja muka imut ini. Tepat saja malam itu aku bermimpi tentang Rafi. Aku tertidur setelah pingsan yang cukup lama itu.
Sekedar info saja, dalam mimpi ,Aku dan Rafi bertemu di sebuah pantai yang indah. Kami saling bertatap muka di dalam atmosfer yang romantis karena indahnya pemandangan dan juga matahari terbenam. Semua serasa utopia bagiku.
"Apakah gua sedang bermimpi fi?"
Dalam mimpiku, Rafi mencubit pipi sebelah kananku tanpa melepaskan genggaman di tangannya.
"Awww..."
"Kalo lu merasa kesakitan, berarti ini bukan mimpi lagi Ka, ini kenyataan."
Aku tetap merasa ini bukanlah kenyataan, karena yang kulihat sekarang merupakan impian besar yang selama ini kupendam. Ya, aku tetap merasa senang dapat merasakan kenikmatan yang sangat singkat ini. Aku tak pernah menyangka tangan Rafi yang lebih besar dariku dan terlihat kasar permukaannya ternyata menyimpan kehangatan didalamnya. Aku berharap Rafi juga bermimpi hal yang sama denganku.
"Ka, to...long.. Gu...a..."
Rafi yang wajah tampannya tadi membuatku klepek-klepek, tiba-tiba terhempas ke belakang tanpa ada sesuatu yang mendorongnya. Dia berubah menjadi debu dengan kilau yang indah. Menghilang tersapu angin pantai yang sejuk. Aku tak sadar bahwa tangan ini telah terentang ke depan. Apakah aku yang tadi mendorongnya?, tapi... tapi..., tapi kenapa hal ini terjadi?. Mimpi indah bagaikan surga ini berakhir dengan kehilangan orang yang kucintai. Aku gemetar, apakah aku telah membunuhnya?.
Aku berteriak dengan keras, "RAFI....."
Suara menggema ke segala arah, air mata ini terjatuh seketika. Aku tidak mau kehilangan dia secepat ini. Disaat itu juga aku terbangun, nafasku masih terengah-engah. Kuhirup inhaler yang secara kebetulan ada di tanganku ini. Nafas ini perlahan tenang, aku mulai berpikir dengan jernih walaupun aku masih terkulai lemas diatas kasur. Tapi ingat, yang namanya ibadah tak boleh ditunda dan harus ditunaikan. Sebelum telat, aku bergegas wudhu dan pergi ke Aula untuk Shalat Shubuh berjamaah.
******
Tekadku sudah bulat, sepertinya sekarang adalah waktu yang pas untuk berterima kasih kepada Rafi atas pertolongannya, ya... meskipun ini karena ulahnya juga sih, namun aku tetap akan memaafkannya karena dia sudah menaruh inhaler di tanganku. Tanpa inhaler itu, mungkin aku dapat pingsan kembali bahkan tak ada satu orang pun dapat mengetahui kejadian itu.
Sekarang masih jam 8 pagi, mungkin dia ada di kamarnya?, sempat aku bertanya lewat telepon namun tak dibalas juga. Aku keluar dari area asrama perempuan dan berjalan secara mengendap-endap lurus melalui pertigaan lorong menuju asrama yang satunya lagi. Aku bergumam sendiri,"Hmmm..., nggak biasanya ruang tengah asrama laki-laki sepi, mungkin lagi pada keluar kali ya?, positif aja."
"Dorrr..."
"Ngapain lu kesini Ka?"
Rika kaget dan tersentak mendengar suara itu. Sarah mengejutkannya dan membuat Rika terloncat selangkah kedepan.
"Pasti diam-diam mau ketemu Si Rrrr..."
"Shhttt..., jangan keras-keras, kalo ketauan yang lain muka gua mau ditaro dimana Rah?"
Rika secepatnya menutup mulut Sarah dengan tangan kanannya agar tak ada orang yang dapat mendengarnya. Mereka mulai bertukar pesan dengan berbisik.
"Mungkin lagi pada di kolam renang kali ya Ka?, Kan banyak anak yang suka berenang disini."
"Bisa jadi, atau mungkin di kebun atap?"
Kebun atap langsung terlintas dipikiranku, karena itu adalah salah satu tempat favorit Rafi. Semua pintu disini sudah tertanda warna merah di scannernya, jadi pasti para pemilik kamar sudah keluar termasuk Rafi.
"Rah, Lu lagi ada kerjaan nggak?"
"Ada sih, tapi dilanjut nanti juga bisa kok."
"Yaudah, sekarang bantu gua yuk buat nyari Rafi."
"Ok dah, membantu memperbaiki hubungan seseorang itu perbuatan baik kan ya?", Sarah mengangkat kedua alisnya dua kali.
"Iya-iya, sekarang kita coba cari di kolam renang dulu."
******
Mengamati dari pintu masuk kolam renang, sejauh memandang tak ada rambut hitam mengkilap berantakan khas Rafi yang terlihat. Kebetulan Ahmad sedang berenang disana, aku jadi bisa bertanya.
"Mat, Lu liat Rafi kemana nggak?"
"Cieee... kangen ya..."
"Ish, beneran, serius dimana?"
"Sedari kemaren sih gua blom liat lagi batang hidungnya."
"Yakin lu?"
"Iya.."
Ya sudahlah. Aku menghela nafas panjang, turun ke lantai 2B yang artinya lantai paling bawah menggunakan tangga itu nggak setimpal sama informasi sampah yang kudapat dari Ahmad. Untungnya kolam renangnya tepat didekat tangga, jadinya nggak perlu jauh-jauh. Sekarang tempat kedua yang harus dicek adalah di kebun atap. Kami sudah kesana juga tapi tak dapat hasilnya. Ujung ke ujung kami mencari, kami akhirnya bertanya ke Pak Andi, tukang kebun yang sesekali akrab dengan Rafi. Dia juga tak melihatnya datang ke kebun untuk hari ini.
Kami terus menerus mencari di seluruh sudut panti, tak kunjung ketemu juga. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat ketika sore tiba, di ruang tengah asrama. Melelahkan tapi sisi positifnya kita jadi makin hafal letak setiap ruangan di panti ini. Bisa sih aku langsung menggambar denahnya, tapi aku harus mendapatkan saran dan persetujuan dari Rafi terlebih dahulu.
Aku jadi makin penasaran kemana ya dia?. Saat malam tiba, aku meminta Sarah untuk membobol sistem keamanan pintu kamar Rafi. Ya mau bagaimana lagi, itu satu-satunya kemungkinan yang ada. Terlebih ketika aku lihat tandanya masih merah yang artinya si pemilik tidak ada di dalam kamarnya. Tentu saja hal ini aneh bagiku. Masalah apa yang menimpa Rafi ku tak tahu, sampai dia belum kunjung memasuki kamarnya juga, padahal malam telah tiba.
Sambil bersiap menyalakan senter Sp(smartphone), aku duduk disamping Sarah untuk berjaga di sekitarnya kalau-kalau lampu nanti tiba-tiba mati. Sarah menyambungkan laptop miliknya ke scanner sidik jari di pintu kamar Rafi. Tidak sampai lampu dimatikan, dalam hitungan sekitar 5 menit pintu sudah dapat dibuka.
Pintu terbuka, aku secara refleks masuk kedalam kamar dan meninggalkan Sarah di tempatnya. Kudapati Rafi seperti tak sadarkan diri, namun kedua matanya masih terbuka. Timbul semacam urat hitam di bagian kiri wajah Rafi, mata kirinya pun agak gelap kemerahan warnanya.
"Rafi...."&
"Siapa itu, oh...., Rika, tenang, aku baik-baik saja kok."
Wajahnya kembali seperti sedia kala. Ada yang membuatku merasa janggal disitu, bagaimana dia tahu bahwa aku datang karena cemas akan keadaannya?. Dan juga urat apa yang menempel di wajahnya tadi?, apakah itu semacam parasit?.
"Gua cuma pengen berterimakasih fi..., tentang kejadian kemarin itu."
"Memang terjadi apa kemarin, gua kok nggak tau apa-apa ya."
Aku sedikit merinding entah kenapa hawanya terasa berbeda, bukan seperti Rafi yang biasanya, seakan-akan kami bukan orang yang dekat. Terus apakah dia kehilangan ingatannya?, sepertinya tugasku selanjutnya adalah menyelamatkan Rafi dan mengungkap misteri ini. Tenang Rafi, aku tau pasti dirimu yang asli sedang ada di jauh sana dan kau menunggu kedatanganku untuk menyelamatkanmu.