Chapter 10 - Pada Secangkir Kopi

Damian menatap Hendrik yang memandang Caroline bernafsu. "Kau ingin dia? silakan. Aku sudah selesai." Ucap Damian kemudian beranjak pergi hendak keluar dari ruangannya.

Damian melirik Hendrik dan Caroline ketika membuka pintu ruang kerjanya. Dua orang itu terlibat ciuman panas. Damian berdecak. Caroline dan sifat jalangnya itu tidak pernah berubah. Dia yakin, Caroline dan Hendrik sering tidur bersama. Dia dan Hendrik sering melakukan threesome dengan Caroline. Dahulu dia menikmati itu. Namun semenjak bertemu Tara, dia merasa jijik dengan kegiatan itu.

"Damian!" panggil Hendrik saat kaki kanan Damian sudah berada di luar pintu. Damian menoleh. Hendrik sedang menumbuk dirinya pada Caroline. "Kenapa kita tidak threesome? Sudah lama sekali." Engah Hendrik.

Caroline melenguh namun mengangguk. "Ayo Damian." Ajak Caroline lagi.

Damian membuka pintu semakin lebar lalu berjalan keluar dari ruangannya. Dia tidak ingin melakukan itu lagi. Ini terakhir kalinya dia melakukannya dengan orang lain selain kekasih pujaan hatinya. Tara.

***

Damian memutuskan untuk makan siang lebih cepat. Dia memasuki salah satu restoran sederhana. Restoran yang setiap harinya dia datangi saat makan siang. Restoran yang menyediakan masakan Asia. makanan yang disajikan dalam bentuk prasmanan. Damian mengambil piring kemudian mengisinya dengan beberapa lauk-pauk. Sate menjadi makanan yang tidak dapat dia tinggalkan.

Dia memilih duduk di sudut restoran kemudian makan dengan tenang. Suara hiruk pikuk mengisi telinganya. Bagaikan musik tersendiri baginya.

"Kau ini!"

Decakan Hendrik yang datang menyusulnya membuat Damian mendongak. Diangkat alisnya menatap Hendrik. "Cepat sekali." Gumam Damian kembali makan.

Hendrik mendengus. "Aku jenuh."

Damian terkekeh pelan mendengar ucapan Hendrik. "Bukankah kau habis bersenang-senang dengan Caroline."

Hendrik menyuap makanannya lalu mengunyahnya cepat. Kesukaan Damian pada masakan Asia membuat Hendrik ikut menyukainya. "Caroline semakin menjemukan."

Damian menatap Hendrik. "katakan itu pada orang yang setiap hari menyetubuhi sekretarisku itu."

Hendrik tertawa. "Aku tidak seperti itu. Dia menggodaku setiap hari dan aku tidak bisa mengelak. Kucing diberikan ikan asin, kumakan." Katanya masih tertawa.

Damian menggeleng. "Kau kapan akan berubah? Carilah wanita baik-baik."

"Katakan itu pada pria yang setiap harinya meratapi nasib kesendiriannya. Kau tentu tahu orangnya."

Damian memutar matanya pada ucapan Hendrik yang menyindirnya. "Bagaimana bisnis itu?" Tanya Damian mengalihkan pembicaraan.

Hendrik menelan makanannya sebelum menjawab, "aman." Kemudian sebuah pemikiran melintasi kepalanya, "apakah kau ingin kembali? Aku dengan senang hati menyambut kembalinya kau dalam bisnis."

Damian menghentikan makannya. Diperhatikan Hendrik yang sedang asyik memakan santapan siangnya. Tangan Damian terkepal di atas meja. "Aku tidak berselera." Ucapnya.

Hendrik mendongak menatap Damian masih seraya mengunyah. Alisnya berkerut namun tidak mengatakan apapun. Hendrik hanya berharap Damian dapat kembali menangani bisnis itu. Sudah beberapa kali Ibunya Damian kecewa pada sikap yang diambil putranya itu. Hendrik hanya bisa mendengarkan keluh kesah yang diutarakan oleh Ibunya Damian.

"Kuharap," gumam Hendrik akhirnya, "kau dapat kembali. Aku tidak berhak atas bisnis itu. Ibumu selalu mengeluh padaku, Damian."

Pikiran Damian serta merta tertuju pada Ibunya. Sudah lama dia tidak mengunjungi Ibunya di Paris. Dia sudah menjadi anak yang durhaka namun dia masih tidak ingin pulang. Dia hanya ingin sendiri.

Damian mengangkat secangkir kopinya kemudian meminumnya perlahan. Dia mengernyit merasakan kopi yang pahit menyapa lidahnya. Dia tidak suka kopi pahit namun kali ini dia harus meminumnya.

***

"Tara? Kau dengar apa yang kukatakan?"

Pertanyaan itu membuat Tara mendongak dari makan siangnya. Di hadapannya duduk seorang pria berkacamata yang menatapnya tersenyum. Pria itu menunggu jawaban dari Tara. Pernyataan yang selalu diajukan pada Tara selama dua tahun mereka mengenal satu sama lain.

"Kamu sudah tau jawabannya, Riyan." Ucap Tara kemudian menunduk. Dia tidak ingin melihat wajah kecewa Riyan yang kesekian kalinya.

"Kenapa?" bisik Riyan, "apa kali ini?"

Tara menggeleng. Dia tidak ingin mengatakan apapun pada Riyan. Dia tidak ingin membuka lagi luka lamanya walau sebenarnya luka itu kembali terbuka.

"Kita lebih cocok berteman?" Tanya Riyan.

Tara mendongak. Dia menatap Riyan. Wajah Riyan memang jauh berbeda dengan Damian. Damian memiliki wajah yang menurut Tara sangat tampan. Tara menghela nafas pelan. Dia tidak ingin membandingkan Riyan dengan Damian.

"Aku enggak mau menjalin hubungan lagi, Riyan." Ucap Tara.

Riyan menatap Tara kecewa. "Tidak semua pria brengsek, Tara. Aku enggak akan begitu. Aku cinta sama kamu, Tara. Sungguh."

Tara menelan ludahnya. Kalimat itu terlontar pula dari bibir Damian dan apa yang Damian lakukan? Damian menendangnya ketika dia sudah tidak berguna lagi. Dalam keadaan koma Damian membuangnya. Damian tidak menginginkannya dan anaknya.

Tara menggeleng. Berusaha mengalihkan sakit hatinya pada Damian. Tara menatap Riyan serius. "Maaf, Riyan. Aku mau fokus besarkan anakku. Untuk menjalin hubungan baru, aku enggak bisa."

Riyan mengangguk. Dia berusaha memahami Tara. Ditatapnya wajah Tara kemudian tersenyum. "Aku hargai apapun itu."

Tara tersenyum. Dia senang Riyan memahaminya. "Kita tetap berteman seperti biasa." Ucap Tara yang diangguki Riyan. Tara memerhatikan jam Rolexnya. Sudah lewat dari makan siang. "Ayo, sudah masuk jam kerja."

Tara bekerja di sebuah hotel bintang lima setelah sebelumnya dia bekerja sebagai penyiar radio selama satu tahun. Tara memilih keluar dari pekerjaan lamanya karena sebagian besar rekan kerjanya memperlakukannya tidak baik. Bertahan selama satu tahun, Tara memilih untuk mengundurkan diri.

***

"Mama!" anak laki-laki kecil berusia empat tahun menyongsongnya saat pulang kerja. Tara tertawa kemudian turun dari motor bebeknya. Seorang gadis berusia enam belas tahun berjalan perlahan mengikuti langkah kecil anak laki-laki itu.

Tara menatap gadis itu. "Terima kasih, ya." Ucap Tara. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya kemudian diberikannya pada gadis itu. "Ini upahmu hari ini."

Gadis itu mengangguk menerima uang dari Tara. "Terima kasih, Bu. Ibu sudah bersedia membayar saya harian."

"Enggak masalah, Elis. Saya paham." Ucap Tara. Permintaan gadis muda itu untuk dibayar harian membuat Tara iba. Gadis muda itu hanya tinggal bersama dengan ibunya yang mulai sakit-sakitan dan adiknya. Gadis itu putus sekolah karena tidak ada biaya. Dia bersedia menjagai anak Tara setiap harinya mulai pukul delapan pagi hingga pukul enam sore.

Putranya Tara belum pandai berbicara seperti kebanyakan anak seusianya. Hanya bisa mengatakan beberapa patah kata. Selebihnya putranya mengatakan dengan bahasa yang tidak jelas. Babbling.

Tara menggendong anaknya. "Ayo, dadah sama Kakak Elis." Ucap Tara pada anaknya. Anaknya hanya menatap Elis kemudian cemberut yang membuat Tara mencium pipinya. "Kakak Elis besok datang lagi. Ya, 'kan Kak?"

Elis mengangguk. Diulurkan tangannya mengusap kepala anak majikannya yang masih tidak rela Elis pulang. "Besok pagi Kakak datang lagi. Raja baik-baik sama mama. Ya?"

Elis melambaikan tangannya kemudian berjalan keluar dari rumah Tara. Elis berjalan kaki. Rumah gadis itu tidak jauh dari rumah Tara. Hanya beberapa meter saja.

Tara menatap anaknya yang masih menatap kepergian Elis. Alis dan mata anaknya begitu mirip dengan Damian. Tatapan mata anaknya sangat tajam seperti Damian. Sifat Raja yang tidak ingin melepaskan orang atau barang yang disukai pun seperti sifat Damian. Tara tersenyum lalu mencium pipi anaknya sayang. Dia menggendong anaknya masuk ke dalam rumah yang dibelinya dari uang pemberian Hendrik. Uang pemberian Hendrik masih ada. Sesungguhnya masih lebih dari cukup untuk membiayai hidup mereka hingga Raja dewasa. Akan tetapi Tara tidak ingin bergantung pada uang pemberian Hendrik jadi Tara memilih untuk tetap bekerja, dan menyimpan uang itu di dalam brankas.

Siapapun pria yang bernama Hendrik itu, Tara mengucapkan banyak terima kasih karena sudah berhasil membuatnya bangkit dari keterpurukan. Kesedihannya pada perlakuan Damian masih ada dan masih membekas. Tara berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkan hal itu walau berat.

Sudah lima tahun berlalu dan dia merasa seperti baru kemarin kejadian memilukan itu terjadi. Dia mengungkapkan isi hatinya pada Damian namun pria itu malah membuangnya.

"Mama sayang Raja." Bisik Tara pada anaknya. "Rajanya Mama. Raja hati Mama." Ucap Tara lagi.

Tara mendudukkan anaknya di karpet bermain sementara dia mengganti pakaian kerjanya. Dia melepaskan jam tangan itu di meja rias. Di tatapnya jam tangan itu kemudian teringat Ayahnya. Tara memutuskan untuk tinggal sendiri. Dia sungkan untuk tinggal bersama Ayahnya. Dia memiliki perasaan bahwa ibu tirinya tidak benar-benar menyukai keberadaannya walau tidak ditunjukkan.

Tara menghela nafas. Pemikiran buruk itu terus saja bermain di kepalanya. Kejadian demi kejadian tidak menyenangkan dahulu sebelum bertemu Damian membuat kepribadian Tara mudah curiga pada orang. Terlebih lagi sikap Damian yang tidak terduga itu membuat kepribadian Tara semakin tidak menentu. Masa lalu yang pahit membuat masa depannya terdapat penghalang.

***

Keesokan harinya Tara sudah berada di tempat kerjanya. Elis yang datang bersama Akbar—adiknya Elis—membuat Raja senang. Usia Akbar yang lebih tua empat tahun dari Raja membuat anaknya itu senang ada teman bermain. Malah Tara ingin Akbar selalu dibawa setiap hari jika itu yang membuat Raja tidak merasa kesepian.

Tara sedang membuat minuman di dapur hotel ketika didengarnya rekan kerjanya sedang membicarakan seseorang.

"Kamu dengar enggak? Riyan hari ini pindah kerja." Ucap salah seorang teman kerjanya yang bernama Sinta pada temannya.

Alis Tara berkerut.

"Iya, kudengar dia pindah kerja. Padahal dia bagus. Mau dipromosikan jadi manajer hotel 'kan." Jawab temannya Sinta.

"Pindah ke mana?"

"Katanya ke Malang."

Tara menghela nafas pelan. Dia tidak pernah ingin memutus harapan Riyan namun hatinya tidak pada Riyan. Riyan baik namun dia bukan Damian. Tara memejamkan matanya sesaat. Memikirkan Damian membuat kepalanya pusing.

Tara meminum kopi pahitnya. Setiap pagi Tara meminum kopi pahit. Kebiasaan baru itu dia lakukan setelah melahirkan Raja. Entah bagaimana, dia menyukai kopi pahitnya.

"Eh, Tara." Sapa Sinta.

Tara menoleh kemudian tersenyum. Diminumnya lagi secangkir kopi pahitnya hingga habis kemudian dicucinya cangkir tersebut.

"Jadwalmu hari ini di mana, Tara?" Tanya Sinta lagi.

Tara mengelap cangkir kopi tersebut lalu meletakkannya di rak piring kecil dekat wastafel. "Seperti biasa." Jawabnya kemudian mengelap tangannya menggunakan tissue. Pertanyaan aneh Sinta membuat Tara heran. Dia memiliki jadwal kerja yang seperti biasanya. Membersihkan kamar hotel tipe standar yang ada.

"Loh, kamu belum lihat jadwal kerja terbaru?" gumam Sinta.

Tara menggeleng.

"Kamu menggantikan pekerjaan Riyan. Dia 'kan pindah kerja, jadi tugasmu sekarang bukan membersihkan kamar. Tugasmu mengantar para tamu sampai ke kamar hotel."

Alis Tara berkerut mendengar itu. "Di mana jadwalnya?"

"Ada sama manajer." Kali ini temannya Sinta menjawab.

Tara mengangguk lalu keluar dari dapur. Dia lebih baik bertanya pada manajernya saja. Apakah benar yang dikatakan Sinta. Riyan pindah dan itu karena penolakannya. Tetapi dia tidak bisa menjalin hubungan dengan orang lain. Hatinya masih susah untuk berpaling.

Tara menarik nafas pelan setelah sampai depan ruangan manajernya. Diangkat tangannya kemudian mengetuknya pelan. Terdengar gumaman pelan dari dalam ruangan itu memintanya masuk. Tara membuka perlahan pintu ruangan manajernya. Manajernya sedang menerima telepon dari seseorang. Manajernya berbicara bahasa asing di telepon.

Setelah menunggu beberapa lama, menajernya menutup telepon lalu menatap Tara. "Ada apa?"

Tara menatap manajer gendut yang duduk di hadapannya. "Pak, saya mau Tanya mengenai jadwal saya. Apakah saya masih membersihkan kamar?"

Manajernya menatap Tara lalu ber'oh' mengingat sesuatu. "Ya, jadwalmu berubah. Mulai hari ini kamu menggantikan tugas Riyan. Tugasmu mengantarkan tamu sampai ke kamar hotel."

"Riyan ke mana, Pak?" Tanya Tara penasaran. Apakah benar riyan pindah kerja?

"Dia mengajukan diri pindah ke hotel cabang di Malang kemarin dan aku setuju."

Tara mengangguk. Dia pamit undur diri dari ruangan manajernya namun ketika hendak membuka pintu ruangan manajernya, manajernya tersebut memanggil namanya yang membuatnya berbalik.

"Nanti sore pemilik hotel ini datang."

Ucapan itu diangguki Tara. Dia memang tidak pernah tahu siapa pemilik hotel ini dan bagaimana rupa wajahnya. Yang dia tahu, pemilik hotel ini adalah warga Negara asing.

***