Tara melirik Elis dan Raja yang duduk di kursi belakang. Riyan memutuskan untuk mengantar Tara pulang setelah makan siang. Sebagian besar percakapan mereka ketika makan siang hanyalah berputar pada pekerjaan. Riyan datang ke Jakarta karena ada pertemuan dengan beberapa rekan bisnisnya. Riyan sudah keluar dari pekerjaan lamanya dan sedang membangun bisnis sendiri di bidang industri pakaian.
"Terima kasih tumpangannya." Gumam Tara lalu menoleh ke belakang. Dia melihat Elis sedang membuka pintu mobil. "Lis, langsung bawa Raja ke kamarnya, ya."
Elis mengangguk dan segera keluar dari mobil. Dia tidak ingin lebih jauh penasaran dengan majikannya dan pria yang sedari tadi menatap majikannya penuh kerinduan.
"Tara," panggil Riyan setelah Elis keluar dari mobil bersama dengan Raja dalam gendongannya.
Tara menoleh. Tangannya terhenti membuka pintu mobil. "Ya?"
"Menikahlah denganku."
Ucapan Riyan membuat Tara terkejut. Dia menatap Riyan tanpa kedip. Lama tidak bertemu dengan Riyan, pria itu kini meminangnya. Tidak pernah sedikitpun ada dalam benaknya untuk menikah. Jatuh cinta pun dia tidak ingin. Dia tidak ingin sakit hati lalu terluka. Bertahun-tahun dia berusaha menyembuhkan luka yang masih saja membekas.
Tara berkedip dan setetes air matanya jatuh. Buru-buru Tara mengusap air matanya. Tidak ingin Riyan mengetahuinya walau sesungguhnya Riyan tahu.
"Tara ...." Riyan tidak melanjutkan ucapannya.
Tara menunduk. Menahan kesedihannya yang teramat sangat. Dia tidak ingin mengecewakan Riyan. Riyan baik padanya. Orang pertama yang menyapanya ketika dia baru memulai pekerjaan di tempat yang sekarang. Riyan adalah orang pertama yang tidak pernah sakit hati mendengar penolakan Tara berulang kali.
Tangan Riyan terulur lalu mengusap kepala Tara lembut. "Izinkan aku menempati sebagian dari hatimu, Tara. Biarkan aku masuk walau sesaat."
Tara menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia tidak ingin Riyan tahu bahwa dia menangis. Perkataan Riyan membuatnya teringat Damian. Dia ingin sekali Damian yang mengatakan itu padanya.
Perlahan Riyan mengangkat kepala Tara. Alisnya berkerut melihat Tara yang menangis. "Maaf kalau omonganku buat bebanmu. Jangan kamu pikirkan." Bisik Riyan.
"Aku ... enggak ... bisa." Jawab Tara pelan dengan nafas tersendat.
Riyan mengusap air mata Tara dengan kedua ibu jarinya namun tidak mengatakan apapun. Tara menghela nafas. Dia memegang tangan Riyan lalu melepaskannya dengan perlahan dari wajahnya. Diremasnya tangan Riyan dengan kedua tangannya sebelum dilepaskan.
"Aku masih takut." Bisik Tara.
Alis Riyan berkerut. Dia mengulurkan tangannya lalu mengusap kepala Tara. "Apakah ini berkaitan dengan ayah dari anakmu?"
Tara mengangguk lalu memejamkan mata. Mengingat itu membuat sesak di dadanya. Sudah sangat lama namun masih saja membekas.
"Aku benci dia." Bisik Tara. "Dia meninggalkanku ketika aku hamil. Dia membuangku. Dia tidak menginginkan anaknya." Bisik Tara lagi. Kali ini dia tidak ingin menangis. Dia tidak ingin air matanya digunakan untuk menangisi bajingan yang sangat tidak ingin dia temui kapanpun. Namun nyatanya sebaliknya. Tara menangis tersedu-sedu.
Riyan yang tidak tega lalu merengkuh Tara dalam pelukannya. Mengusap punggungnya. Berusaha menyalurkan segala energinya untuk Tara. Tara begitu menderita. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana hidup Tara pada tahun-tahun pertama kehamilannya.
"Apakah karena itu kamu takut menjalin hubungan?" bisik Riyan di telinga Tara. Tara mengangguk. "Izinkan aku membuktikan bahwa aku bukan orang yang begitu. Tara, aku serius melamarmu jadi istriku."
Tara melepaskan pelukannya. Dia menatap Riyan. "Aku enggak tau."
"Enggak ada ruang untukku di hatimu, Tara? Sedikit saja. Selama sisa umurku." Riyan menatap Tara memohon. Baru kali ini dia memohon dengan sangat pada seorang wanita dan wanita itu adalah Tara.
Tara menggeleng. "Aku enggak punya rasa untukmu, Riyan."
Riyan menggenggam tangan Tara. Dia meremas pelan tangan Tara. Tara yang dikenalnya sudah beberapa tahun. Tara yang baik, manis dan lemah lembut. "Izinkan aku untuk memberikan rasa itu padamu, Tara. Biarkan aku membuktikan bahwa aku pantas untukmu. Ya?"
"Aku masih trauma dengan kegagalanku. Aku takut kamu seperti dia. Aku sangat takut kamu pergi dariku."
"Hei dengar aku," bisik Riyan. "Aku enggak akan lakukan itu. Aku janji enggak akan lakukan hal rendah seperti itu. Aku sayang padamu. Aku pergi karena aku berusaha memantaskan diri untukmu, Tara. Aku berusaha memiliki pekerjaan jelas agar kamu memandangku. Kini aku datang untuk melamarmu menjadi istriku."
Tara melepaskan pegangan tangannya. Dia meraih handel pintu mobil dengan sebelah tangannya sementara tangan yang lain mengusap wajahnya yang bersimbah air mata.
"Maafkan aku." Ucap Tara. Riyan menatap Tara dengan tatapan sedih. Tata memejamkan matanya sesaat kemudian dia membukanya lagi. Dia akan membuat keputusan besar yang dia harap tidak membuatnya menyesal. "Kamu harus lebih berusaha lagi meyakinkanku apakah kamu bisa menampati sebagian ruang hatiku."
Senyum Riyan mengembang. Dia mengangguk mantap. "Aku siap." Ucapnya. "Tunggu, aku bukakan pintu untukmu." Riyan terburu-buru keluar dari mobil. Berlari kecil dia mengitari bagian depan mobilnya kemudian dengan semangat dia membuka pintu mobil samping.
Tara keluar dari mobil dengan senyum. "Terima kasih." Ucap Tara yang ditanggapi Riyan dengan pelukan.
"Aku yang terima kasih. Aku enggak akan kecewakan kamu." Bisiknya lalu mencium puncak kepala Tara. "Besok aku jemput kamu kerja. Tunggu aku." Ucapnya lagi kemudian melepaskan pelukannya. Dia tersenyum menatap Tara.
"Ya." Angguk Tara lalu berbalik pergi.
Riyan masih tersenyum menatap punggung Tara yang kini sudah menghilang dari balik pintu rumahnya. Senyum penuh kelegaan karena sudah berhasil membuat Tara yakin walau sedikit.
Elis melihat itu semua dari balik jendela kamar Raja yang menghadap ke jalan. Bibir Elis melengkung ke atas. Dia senang melihat majikannya bahagia. Dapat Elis lihat bahwa pria yang bernama Riyan itu tulis menyukai majikannya. Elis pernah beberapa kali bertemu dengan Riyan itu dulu ketika pria itu masih bekerja bersama Tara.
Alis Elis berkerut melihat Riyan yangmemegang dadanya seraya meringis. Dia melihat Riyan terburu-buru masuk ke dalam mobil. Alisnya semakin berkerut tatkala mobil itu belum berjalan juga. Elis memerhatikan jam yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah lima menit setelah majikannya masuk ke dalam rumah namun mobil itu tidak juga pergi. Elis hendak keluar dari kamar Raja untuk memastikan ketika langkahnya terhenti di depan pintu. Tara menatap Elis heran.
"Kenapa, Lis?"
"Ehh ...." Elis ragu. Namun dia harus mengatakan pada majikannya. "Tamu ibu belum pergi juga."
Alis Tara naik lalu dia menuju jendela kamar Raja. "Mana, Lis? Udah pergi, kok." Jelas Tara.
Elis ikut melihat jendela. Ternyata benar. Mobil itu sudah tidak ada di depan rumah Tara.
"Memang kenapa, Lis?"
Elis menatap majikannya. Dia tidak ingin kebahagiaan majikannya pupus. Mungkin hanya dugaannya saja bahwa Riyan sedang sakit. Mungkin pria itu hanya kelelahan. Elis menggeleng. "Enggak, bu. Heran saja, kenapa Pak Riyan enggak buru-buru pergi. Malah mandangin ibu Tara."
Tara tersenyum. Senyum yang membuat Elis yakin, majikannya ini sudah mulai membuka diri.
"Kamu bisa saja, Lis." Tawa Tara lalu keluar dari kamar Raja menuju dapur. "Bantu saya masak, Lis." Panggil Tara.
***
"Maaf, Tuan." Ucapan seseorang membuat Damian mendongak dari kertas-kertas yang dia baca. Damian meletakkan kacamata bacanya lalu menatap orang yang ada di hadapannya.
"Ya?" tanya Damian.
Pria yang ada di hadapannya mengulurkan sebuah amplop ukuran besar. "Ini ada titipan untuk tuan Hendrik."
Damian mengerutkan kening namun tetap menerima amplop itu. Ditimang amplop itu di tangannya. Mengira-ngira apa isi amplop itu.
"Itu laporan rutin untuk tuan Hendrik."
Alis Damian naik. "Laporan apa?"
Pria di hadapannya menggeleng. "Saya tidak tahu, Tuan. Tiap tahun laporan itu selalu datang untuk tuan Hendrik."
Damian mengangguk. "Oke. Kau boleh pergi."
Pria dihadapannya mengangguk lalu pamit undur diri. Damian menatap amplop yang ada di hadapannya dengan alis berkerut. Dia penasaran namun dia tidak berani membukanya. Damian menarik laci meja kerjanya lalu meletakkan amplop itu di sana. Dia akan memberikan pada Hendrik ketika sahabatnya itu sudah sadar. Untuk saat ini, dia harus berusaha mengendalikan dua usahanya. Bisnis gelapnya dan bisnis nyatanya.
Dering telepon membuat Damian dengan malas mengangkatnya. Didekatkan gagang telepon ke telinganya. "Ya?"
"Bos, paket sudah siap."
Damian menghela nafas keras kemudian menggebrak meja. "Jangan kau telepon ke sini! Telepon ke ponselku!" makinya.
"Maaf, Bos. Tetapi ini yang biasa saya lakukan saat tuan Hendrik—"
���Ini perintahku!" maki Damian lalu menutup telepon dengan kasar. Damian memaki. Pantas saja beberapa kali Hendrik kecolongan. Bisa saja ada yang menyadap telepon kantor itu. Dengan kesal Damian menarik telepon tersebut hingga kabelnya terputus. Siapa saja bisa menjadi musuhnya sekarang.
Ponselnya berdering nyaring. Masih marah, dia mengangkat telepon seraya berteriak, "Ya!"
"Bos, paket sudah siap kirim."
Damian memijit kepalanya yang tiba-tiba sakit. "Batalkan." Bisik Damian agar tidak terdengar oleh siapapun. "Batalkan, hingga kusuruh kau untuk mengirim lagi. Kau cepat datang kemari, Max."
"Apa yang akan saya katakan pada yang lain, Bos?"
Damian memejamkan mata. Mendadak dia kesal pada Max yang tiba-tiba bodoh. "Katakan saja pada supir-supirnya untuk menunda keberangkatan karena aku sulit dihubungi. Paham?"
"Paham, Bos."
Damian kembali duduk di kursinya. Dia menghela nafas kesal. "Apa yang kau kerjakan, Hendrik? Kau ceroboh sekali." Gumam Damian.
Ingatannya kembali pada paket kiriman untuk Hendrik. Penasaran, dia kembali membuka laci meja dan mengeluarkan kembali paket itu. Damian meraih gunting kertas yang ada di atas mejanya lalu menggunting bagian atas amplop itu. Rahasia Hendrik adalah rahasianya juga. Tidak ada yang pernah dia tutupi dari Hendrik begitu pula sebaliknya.
Tangannya merogoh bagian dalam amplop ketika pintu ruangannya terbuka. Serena memasuki ruangannya dengan gaun musim panas motif bunga memenuhi gaun tersebut. Damian kembali menaruh amplop itu ke dalam laci. Dia menatap Serena malas.
"Ada apa datang?" gumam Damian lalu mengalihkan pandangannya pada kertas yang ada di atas meja.
"Aku bawakanmu makan siang." Ucap Serena.
"Bawa pergi makanan itu." Gumam Damian tidak suka.
Serena tetap menaruh makan siang di atas meja Damian. "Ini buatan ibumu, bukan buatanku. Jadi, kau harus memakannya."
"Tidak mau." Jawab Damian masih meneliti berkas-berkas yang berserakan di atas meja.
"Kenapa?"
"Aku tidak mau mati diracun olehmu."
"Damian, tatap aku," perintah Serena tidak didengar Damian. Pria itu malah menyalakan laptop. "Damian," panggil Serena lagi.
"Pergilah. Aku sibuk." Gumam Damian tanpa ingin menatap Serena.
"Apakah aku begitu menjijikkan hingga kau pun tidak ingin menatapku?"
Damian diam. Dia malas menanggapi ucapan Serena yang menurutnya tidak penting. Masih ada hal penting lainnya selain Serena.
"Damian!" Bentakan Serena membuat Damian menatap malas Serena.
"Apa?" gumam Damian. Dia tidak peduli jika Serena menangis di hadapannya.
"Aku ingin kau menghargaiku sebagai tunanganmu." Bisik Serena. Dia sedih karena Damian selalu tidak memandangnya. Damian selalu memasang wajah jijik padanya.
"Kau bukan tunanganku." Geram Damian.
Serena memicingkan matanya. "Tetapi sebentar lagi kau akan jadi tunanganku dan kita akan menikah. Semua sudah siap."
Damian tertawa mengejek. "kalau begitu, kau menikahlah dengan Ibuku. Karena semua ini 'kan rencana ibuku."
Serena menangis mendengar ucapan Damian yang begitu menyakitkan. Dia yakin bahwa dia hanyalah mencintai Damian sendirian. Damian tidak pernah mencintainya kembali. Entah, untuk siapa hati Damian. Serena bahkan tidak tahu dan tidak dapat mencari tahu karena semua orang yang ditanyainya memilih bungkam.
"Jika bukan karena hutang budi Ayahku," gumam Serena kecewa, "aku tidak akan menerima ini semua." Ucapnya kemudian berbalik pergi. Dia kecewa. Mencintai Damian begitu menyakitkan. Damian tidak tersentuh bahkan seujung jaripun dan itu membuat Serena harus berusaha keras demi mendapat perhatian Damian.
Damian menatap heran Serena yang sudah pergi. Hutang budi apa? Bahkan dia tidak pernah meminta hutang budi pada siapapun jika bukan karena bisnis gelapnya. Tangan Damian terkepal. Buru-buru dia menelepon ibunya. Hanya ibunya yang tahu.
"Damian? Serena sudah datang?"
Ucapan ibunya membuat Damian menggeram. "Hutang budi apa yang membuat Ayah Serena tega memberikan anaknya padaku?"
Ibunya diam.
"JAWAB, BU!"
Mau tidak mau Damian membentak ibunya. Ibunya keterlaluan.
***