Chapter 17 - Tanya Hati

Riyan memberikan Raja beberapa buku bacaan ketika sampai di rumah Tara. Raja tersenyum senang menerimanya. Dia segera membuka plastik lalu mengeluarkan tiga buah buku cerita anak yang berukuran kertas tebal.

"Yan, jangan kasih Raja macam-macam." Ucap Tara merengut. Beberapa minggu ini Riyan memberikan Raja macam-macam. Mulai dari buku hingga mainan.

"Enggak apa-apa, Tara." Riyan tertawa. "Aku yang mau. Biar dia pintar." Lanjut Riyan lagi.

Raja kini sibuk membuka pembungkus buku bersama dengan Elis. Elis duduk di samping Raja lalu membantu anak itu mengeja tiap huruf yang ada di buku tebal yang dipegang Raja. Raja telah pandai berbicara dan mengikuti ucapan orang yang mengajarkannya. Hal itu membuat Tara senang.

"Mama!" panggil Raja pada Tara.

Tara mendekati Raja. "Baca apa?" tanya Tara seraya tersenyum.

"Ada es krim." Tunjuknya pada bukunya yang bergambar satu buah es krim cone. Tara tertawa mengangguk.

"Ya." Ucap Tara. "Anak pintar. Belajar sama kakak Elis ya. Mama mau ngobrol sama om Riyan dulu." Ucap Tara lalu beranjak menuju Riyan yang duduk sedikit jauh dari Raja dan Elis yang sedang membaca.

Tara tersenyum pada Riyan yang sedang sibuk memerhatikan Raja mengeja huruf. Riyan tersenyum pada Tara.

"Sudah lama?" tanya Tara.

Tadi dia sedang mandi ketika Riyan datang. Hari libur dihabiskan Tara dengan berjoging pagi. Rumahnya terdapat dua pintu masuk. Satu pintu masuk lagi ada di belakang. Dia tidak tahu Riyan datang kapan.

Riyan menggeleng. "Enggak lama, kok." Jawab Riyan lalu pandangannya pada Raja lagi yang membuat Tara ikut memandang anaknya.

"Raja sudah pandai bicara sekarang." Ucap Tara ketika didengarnya anaknya mengeja huruf-huruf bersama Elis. Perkembangan Raja begitu mengagetkan. Sebelumnya anaknya malas bicara, dan kini anaknya cerewet saat mengeja huruf abcd.

"Elis pintar mengajarinya." Tukas Riyan yang diangguki Tara.

"Elis memang pintar. Dia peringkat di sekolahnya."

"Oya?" tanya Riyan. Ucapan Riyan membuat Tara menoleh. Mungkin hanya dalam pikirannya saja bahwa Riyan terdengar begitu tertarik pada ucapan Tara.

Tara mengangguk. "Ya. Tapi sayang sekali, dia harus putus sekolah. Enggak ada biaya."

Riyan mengangguk.

"Kenapa? Kok sepertinya tertarik?"

Riyan tertawa lalu merangkul Tara. Diusapnya puncak kepala Tara. "Kamu cemburu?"

Tara menggeleng cepat. "Enggak. Siapa yang cemburu."

Tetapi wajah putih Tara mengatakan lain. Wajahnya memerah yang membuat Riyan tertawa keras. Serta merta Riyan mencium pipi Tara gemas. "Aku mencintaimu dan akan tetap seperti itu hingga nanti. Jangan ragukan hatiku."

Tara berusaha melepaskan diri. "Apa sih." Gumamnya menahan senyum.

Dalam tempo singkat, Tara sudah menetapkan hatinya pada Riyan. Riyan yang tidak henti-hentinya meyakinkannya bahwa masih ada pria baik-baik yang tidak akan meninggalkannya. Riyan selalu ada untuknya, sama seperti dulu. Mengingat itu Tara ingin tersenyum namun diurungkannya. Dia tidak ingin cepat-cepat mengambil kesimpulan. Dia ingin menunggu beberapa minggu lagi sebelum dia memantapkan dirinya.

Raja berjalan menghampiri Riyan lalu duduk di pangkuan pria itu. Riyan memeluk Raja dari belakang. Tara memerhatikan itu. Dia memerhatikan bagaimana interaksi Raja terhadap Riyan. Raja yang memuja Riyan. Raja yang tersenyum senang pada Riyan. Demi kebahagiaan Raja, Tara akan melakukan apapun. Dia hanya ingin Raja mendapatkan apa yang diinginkan. Dia tidak ingin kejadian tidak menyenangkan darinya dahulu membuat Raja terhalang. Masa lalunya begitu buruk dan dia tidak ingin mengulang lagi.

Tara berbohong pada Damian tentang masa lalunya. Tara pernah diperkosa hingga mengalami depresi walau tidak sampai hamil akibat diperkosa. Dia tidak berani mengatakan bahwa pamannya pernah menggagahinya dua kali. Dia takut. Pembicaraannya pada Damian dahulu hanya permukaannya saja. Tara belum siap mengatakan aib itu. Tara membiarkan Damian berasumsi bahwa dirinya sudah tidak perawan karena pernah bercinta sebelumnya.

Tara pernah membunuh dan pernah masuk penjara sebanyak dua kali. Pertama dia membunuh pamannya dan kedua dia membunuh teman kuliahnya. Tara tidak mudah jatuh cinta. Saat bertemu Damian, hatinya terbuka. Damian adalah cinta pertamanya.

"Kudengar anak Bosmu besok datang." Ucap Riyan.

Tara mengangguk. Dia sudah diberi tahu oleh Bosnya kemarin ketika diminta mengosongkan jadwal untuk besok. "Katanya bersama tunangannya." Ucap Tara.

"Mereka jadi menikah?"

Tara mengangguk lagi. "Katanya di Bali." Jawab Tara mengangkat bahu. Dia tidak ingin tahu lebih lanjut lagi. Dia bosan mendengar Bosnya yang stress mengurusi pernikahan anaknya dengan pria yang katanya CEO perusahaan properti di Italia.

Riyan terdiam yang membuat Tara menatap Riyan. "Kenapa?" tanya Tara heran.

Riyan tersenyum lalu menggeleng. Dia mengulurkan tangannya kemudian mengusap puncak kepala Tara. "Aku ingin melamarmu, tetapi kamu pasti belum siap." Ucapnya.

Tara diam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin menyanggupi ucapan Riyan namun hati kecilnya masih berat untuk menerima Riyan seutuhnya.

"Tidak perlu dipikirkan," gumam Riyan. Pria itu menurunkan Raja dari pangkuannya lalu berdiri. tara mendongak menatap Riyan yang hendak pergi lagi.

"Mau ke mana?"

Riyan menunduk, dicium puncak kepala Tara lalu puncak kepala Raja. "Aku ada pekerjaan. Kuusahakan besok pagi selesai jadi aku bisa menjemputmu kerja."

Tara ikut berdiri. Dia menggeleng mendengar besok Riyan akan menjemputnya kerja sedangkan pria itu sibuk. "Enggak perlu. Selesaikan pekerjaanmu. Besok aku bisa naik motorku."

Alis Riyan bertaut. "Kamu yakin, Tara?"

Tara mengangguk cepat. "Ya, aku sudah biasa."

Riyan mengangguk. Dia mengangguk sekali lagi lalu keluar dari rumah Tara. Tara memerhatikan Riyan hingga mobil pria itu keluar dari pekarangan rumah Tara.

Sepeninggal Riyan, Tara menghela nafas. "Lis," panggilnya pada Elis yang sedang merapikan mainan Raja. Elis menoleh. "Apa saya harus terima Riyan?��

Elis diam. Dia menatap majikannya sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Kalau ibu merasa cocok, lebih baik dilanjutkan. Tanyakan pada hati ibu. Apa ibu benar-benar cinta Pak Riyan?"

Tara menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Kepalanya tiba-tiba pening memikirkan Riyan dan ucapan Elis. Dia memijit keningnya yang tiba-tiba berdenyut. "Pusing saya jadinya, Lis." Gumam Tara yang tidak disahuti Elis.

***

Tara mengumpat. Motornya mogok dan dia harus mendorong motornya begitu jauh. "Motor sialan." Gumam Tara. "Pasti businya." Guma Tara lagi. Dia harus mendorong motornya untuk mencari bengkel.

"Sialan, bengkel belum ada yang buka. Masa iya aku harus dorong sampai tempat kerja. Yang benar saja!" Tara mengeluh lagi.

Dia tidak ingin merepotkan Riyan. Riyan pasti sedang kerja dan dia tidak ingin mengganggu Riyan. Pria itu kembali pulang ke Malang setelah Tara mendesak Riyan agar segera menyelesaikan pekerjaannya. Riyan sudah berada di Malang dua hari. Jadwalnya Riyan hari ini akan sampai lagi ke Jakarta namun belum ada kabar lagi.

TIN!

Sebuah mobil mengklakson Tara yang masih mendorong motor. "Kenapa motornya?" tanya suara seorang wanita dari dalam mobil.

Tara menoleh. "Mogok." Ucapnya singkat tanpa repot-repot melepaskan masker penutup mulut dan hidung serta helm bogo bergambar kartun Mickey Mouse.

Terdengar suara wanita itu mengatakan sesuatu pada seseorang dari dalam mobil dalam bahasa inggris. Memerintahkan siapapun orang itu untuk turun dari mobil memeriksa motor Tara. Tara tidak peduli, dia terus mendorong motornya sedikit lebih cepat yang membuat wanita dari dalam mobil meneriakinya.

"Hei, tunggu!" teriak wanita itu lagi.

Suara pintu mobil terbuka lalu tertutup. Mau tidak mau Tara menghentikan dorongan motornya lalu menoleh. Wanita cantik berlari kearah Tara. Gaun wanita itu ketat dengan mata biru dan rambut pirang. Sangat cantik sekali. Tadi Tara tidak memerhatikannya. Kali ini dia memerhatikan sungguh-sungguh.

***