Damian menghela nafas. Dia melemparkan ponselnya ke atas meja kerja. Pembicaraan dengan Ibunya menguras emosinya. Emosi yang tidak akan pernah dia lepaskan. Ayahnya Serena terlibat hutang karena anak tertuanya meminjam uang pada mendiang David. Nominalnya terlalu besar jika harus dilepaskan begitu saja. Sedangkan ayahnya Serena tidak punya uang untuk menggantikannya.
Damian menggeleng pelan kemudian menunduk. Dia harus mencari cara lain tanpa melibatkan pernikahan. Kemudian, diperhatikan laci lemarinya yang masih terbuka. Amplop coklat ukuran sedang masih ada di sana. Alis Damian berkerut melihat beberapa lembar foto menyembul sedikit dari dalam amplop. Tangannya terulur lalu mengeluarkan foto pada lembar teratas.
Darah Damian seakan turun sampai kaki. Dia tidak akan pernah lupa pada wanita yang selama ini dia pikirkan. "Tara?" bisiknya.
Foto itu memperlihatkan Tara sedang menggandeng seorang anak laki-laki bersama dengan seorang pria di sebuah supermarket. Rupa anak laki-laki itu tidak terlihat karena memunggungi kamera. Tara sudah berubah. Tidak ada kacamata tebal yang menutupi bola matanya. Rambut Tara dipotong pendek. Pakaian Tara sangat modis. Berbeda dengan Tara yang dia kenal dahulu. Tara sangat cantik dan ....
"Kau sudah menikah rupanya." Gumam Damian masih menatap foto itu. "Kau dengan mudahnya melupakanku." Bisiknya lagi. Hati Damian semakin terluka. Tangannya bergetar menatap selembar foto itu.
"Aku yang salah telah meninggalkanmu. Aku terima." Seharusnya dia menerimanya namun hatinya masih tidak bisa. Taranya sudah dimiliki oleh orang lain. Damian meletakkan kembali foto itu ke dalam amplop. Hendrik mengetahui segalanya tentang Tara selama ini dan sahabatnya itu tidak pernah memberitahukannya.
Kedua tangannya bertumpu pada tepi meja kerjanya. Berusaha menahan gejolak dari dalam dirinya. Kedua tangan Damian meremas tepi meja. Berusaha mengendalikan dirinya agar tidak menendang meja kerjanya jauh-jauh. Dia kecewa pada Hendrik. Sangat kecewa. Entah berapa lama Hendrik menyimpan rahasia itu. Damian yakin, Hendrik tahu di mana Tara berada.
Damian bisa saja melacak di mana Tara tinggal, namun dia tidak melakukannya. Dia tidak ingin menghancurkan kehidupan Tara. Dia tidak ingin hatinya tambah terluka mengetahui bahwa Tara sangat membencinya.
Interkom di ruangannya berbunyi. Lalu suara sekretaris barunya terdengar, "Pak, ada yang mau bertemu. Max." Suara lelaki.
Damian menekan tombol interkom, "suruh masuk, dan, Thomas, tolong kau juga ke ruanganku."
"Baik, Pak."
Damian mempekerjakan Thomas sebagai sekretaris pribadinya. Dia memulangkan sekretaris lamanya setelah Hendrik masuk rumah sakit. Dia tidak ingin berurusan dengan wanita manapun. Damian lebih senang dikelilingi oleh orang-orang kepercayaannya. Bukan berarti Caroline tidak dipercayainya, namun wanita itu sudah melewati batas. Sering menggodanya tanpa kenal waktu dan Damian tidak ingin kembali khilaf.
Max dan Thomas memasuki ruang kerjanya. Damian menjatuhkan diri di kursinya. Dia meraih amplop coklat dari laci meja kerja lalu melemparkannya ke atas meja. Max dan Thomas masih berdiri, tidak ingin duduk ketika dilihatnya Bos mereka sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Wajah Damian memerah menahan amarah.
"Katakan padaku, apakah kalian mengetahui apa yang ada di dalam situ?" tanyanya menunjuk amplop coklat itu.
Max dan Thomas saling bertatapan. Kemudian Max maju. Tangannya menggapai amplop itu lalu membukanya. Damian menatap Max dan Thomas yang menatap lembaran teratas foto tersebut.
"Maaf Tuan," gumam Max kembali memasukkan foto itu, "semua diurus oleh tuan Hendrik sendiri."
"Kau yakin?" tanya Damian.
Max dan Thomas mengangguk.
"Saya sedang di tempat lain, Tuan." Jawab Thomas lalu kembali meletakkan amplop berisi foto itu ke atas meja tanpa berniat meneliti lagi.
Damian memejamkan mata. Dia benar-benar kesal pada Hendrik. Dia meminta Hendrik untuk tidak mengurusi Tara lagi setelah dipulangkan ke Indonesia, nyatanya Hendrik masih mengurusi Tara hingga wanita itu menikah. Entah apa yang dipikirkan Hendrik.
"Tuan," panggil Max yang dijawab gumaman oleh Damian. "Apakah Tuan ingin kami berdua melacak kebenaran foto itu?"
Damian menggeleng. "Tidak perlu. Foto itu sudah menjelaskan semuanya. Tidak perlu."
Max maupun Thomas saling bertatapan kemudian mengangguk berbarengan.
"Bagaimana bisnis? Apakah barang-barang itu sudah kalian kemas rapi?" tanya Damian masih memejamkan mata. Otaknya tidak dapat bekerja secara cemerlang. Melihat foto itu, semua rencana yang tersusun di kepalanya tiba-tiba buyar.
"Sudah, Tuan." Angguk Max lagi, "Sesuai permintaan Tuan Damian. Kami menempatkan truk-truk di tempat aman. Siap diberangkatkan atas perintah Tuan."
"Sudah tahu siapa yang menyerang Hendrik?" Damian membuka matanya. Dia menatap Max dan Thomas.
Thomas mengangguk. "Martha Storm."
Alis Damian berkerut. "Martha Storm? Adik perempuan Mario Storm?"
Max mengangguk.
Keluarga Storm sejak dulu memang menjadi musuh bebuyutan keluarga Aberte. Keluarga Storm tidak suka jika klan Aberte merajai puncak Mafia. Mereka bagaikan tersaingi jika itu terjadi. Dengan segala cara, mereka melancarkan aksinya. Martha Storm adalah mafia wanita yang dikenal sama kejamnya dengan kakaknya. Jarang-jarang ada wanita yang begitu kejam dalam hal membunuh atau melakukan aksi tanpa perasaan.
"Aksinya tidak sendirian, Tuan." Ucap Max lagi.
Damian menatap max heran. "Dengan siapa dia bekerja?"
"Bersama tunangannya. " Jawab Thomas.
Damian mengerutkan keningnya. "Siapa tunangannya?"
"Luca de Angelo." Tukas Max.
Damian semakin mengerutkan keningnya. "Apakah Luca de Angelo yang kukenal?"
Max serta Thomas mengangguk yang membuat Damian mengutuk keras. "Bangsat!" maki Damian.
Dia kini tahu siapa yang bermain-main dengannya. Luca de Angelo adalah sepupu dari Hendrik. Dia menatap tegas Max dan Thomas. "Siapkan pesawat jet, aku ingin menemui orang tua Hendrik. Jika anaknya terlibat, aku tidak akan segan-segan untuk mencabut semua alat bantu kehidupannya."
Max membungkuk, "Tuan," sanggahnya.
"Aku tidak peduli jika Hendrik terlibat nantinya."
"Hendrik sekarat, Tuan. Tidak mungkin dia terlibat." Thomas pun menyanggah, "saya mohon, pikirkan lagi dengan kepala dingin."
Damian berdiri. "Kau menyanggahku juga?!" bentaknya.
Thomas menunduk. "Tidak, Tuan. Hanya saja, saya mohon pikirkan matang-matang."
Max dan Thomas paham bagaimana Damian. Mereka sudah bekerja dengan Damian sangat lama sekali. Bisa dikatakan, mereka bertiga—dengan Hendrik—dianggap sebagai orang kepercayaan Damian. Max dan Thomas tidak yakin jika Hendrik merekayasa segala bentuk penembakan itu. Mereka paham bagaimana khawatirnya Hendrik pada Tara yang sedang hamil. Mereka bukannya tidak tahu, mereka tahu Tara sedang hamil saat dipulangkan ke Indonesia. Mereka pun tahu di mana Tara berada. Namun mereka tidak menyangka Tara sudah menikah.
***
"Kau sudah pulang?" Serena berdiri diambang pintu. Menyongsong Damian yang pulang hampir sangat larut malam.
Damian mengerutkan keningnya menatap Serena. "Kau belum tidur?" tanya Damian.
Serena menggeleng. Senyumnya terbit. Pertanyaan sederhana dari Damian membuat hatinya senang bukan main. "Kau mau makan? Ibumu masak."
Damian menggeleng lalu masuk ke dalam rumah. Dia melonggarkan dasinya. "Aku sudah makan." Gumam Damian. Kakinya berjalan menuju dapur. Dia menuangkan air putih dalam gelas lalu meneguknya. Diperhatikannya Serena yang duduk di kursi makan. Damian menghela nafas. Mau tidak mau, dia harus menyetujui pernikahan itu. Tara sudah menikah. Seharusnya dia pun begitu. "Kapan pernikahannya?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Damian membuat Serena mendongak. Ditatapnya Damian terkejut.
"Kenapa?" tanya Damian saat Serena belum juga menjawab. "Apa kau ingin membatalkannya?"
Serena menggeleng cepat-cepat. "Bukan." Sanggahnya, "kukira kau tidak setuju." Lanjutnya setengah bergumam.
Damian mengangkat bahu. Malas untuk membalas ucapan Serena. Dia memilih untuk minum lagi. rasa haus seakan menggerogoti tenggorokannya saat mengingat pernikahan.
"Beberapa hari lagi pertunangannya." Jawab Serena.
Damian menghela nafas. "Tidak perlu tunangan. Langsung menikah saja. Kapan?"
Ucapan itu lagi-lagi membuat Serena terkejut. Menurutnya, Damian penuh dengan kejutan.
***