Chapter 14 - Terulang

Damian mendatangi lokasi yang disebutkan Hendrik. Suara letusan senjata api membuat Damian terburu-buru keluar dari mobilnya. Digunakan rompi anti pelurunya kemudian berlari mencari sumber suara. Gedung tua tidak perpakai itu terlihat semakin menyeramkan. Hari masih pagi dan Hendrik sudah terlibat baku tembak.

Damian berlindung dari balik pilar besar. Dia menggenggam erat senjatanya di depan dadanya. Matanya bergerak liar. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak memikirkan siapa kawan dan lawan. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana caranya dia menemukan Hendrik dengan cepat.

Damian mengintip ketika dilihatnya ada seorang pria yang berada tidak jauh darinya sedang menembak bertubi-tubi ke arah berlawanan. Damian dengan gerakan cepat menarik pelatuknya. Suara letusan senjata api memenuhi udara dan pria yang ditembaknya jatuh terkapar dengan lubang di kepala. Damian keluar dari persembunyiannya lalu berlari cepat. Dia menembaki siapapun yang menghalangi jalannya.

"Hendrik!" teriak Damian lantang. "Hendrik!" teriaknya lagi.

Suara tembakan meletus lagi yang membuat Damian merunduk.

"Damian!" teriakan itu membuat Damian mencari sumber suara. "Damian!"

Damian mengumpat. Matanya menatap sekeliling, tidak ada Hendrik yang ada hanyalah mayat yang terkapar karena tembakan membabi butanya. Damian berinisiatif menuju lantai selanjutnya. Dia berlari cepat menaiki anak tangga.

"Hendrik!" teriak Damian lagi.

Seseorang menembak perut Damian hingga pria itu jatuh. Damian meringis berusaha berdiri. Tatapannya tajam menatap penembak kemudian tanpa belas kasihan, Damian menembak kepalanya.

"Sialan!" itu suara Hendrik yang mengumpat. Mendengar itu tatapan tajam Damian menatap sekeliling, dia melihat seseorang bersembunyi dari balik pilar besar dengan kaki masih terjulur yang membuat Damian berlari menuju orang tersebut.

Ternyata benar. Itu Hendrik. Dia terluka parah di bagian perut dan kaki.

"Hendrik!"

Damian memaki. Dia melihat Hendrik bernafas susah payah.

"Bertahan!" Ucap Damian lagi.

Hendrik hanya mengangguk. Jika Damian sudah dalam 'mode' membunuh, tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Siapapun yang mengganggu bisnisnya, Damian tidak akan segan-segan melakukan tindak kekerasan.

Damian mulai mengisi kembali senjatanya. Dengan senjata penuh peluru, dia membabi buta menembaki siapapun yang berusaha untuk menghalanginya. Matanya menatap berkeliling. Berusaha mengetahui siapa lawan dan siapa kawan. Damian tidak mau ambil pusing dengan siapa dia berkelahi. Dia hanya ingin kemenangan berada di pihaknya.

***

Damian membawa Hendrik menuju rumah sakit. Hendrik sekarat. Pria itu tidak sadarkan diri yang membuat Damian sangat khawatir. Daniel datang setelah dikabari oleh Damian. Pamannya itu merangkul bahu Damian ketika Damian memilih untuk berdiri menunggui Hendrik selesai dioperasi.

"Kau sudah tahu siapa pelakunya?" tanya Daniel.

Damian menggeleng. Untuk saat ini Damian tidak ingin mencari tahu siapa dalang dibalik ini semua. Mungkin nanti setelah Hendrik sadar, Damian akan menanyai sahabatnya itu.

"Apakah kau perlu bantuanku untuk mencari tahu?" tanya Daniel lagi.

Daniel dahulu bekerjasama dengan David sebagai ahli lacak. Apapun yang dicarinya tidak akan meleset. Namun Daniel kini sudah pensiun dan memilih untuk membuka usaha lain di bidang peternakan dan pertanian. Walau begitu, ahli lacaknya tidak akan pernah luntur. Sesekali Daniel membantu pihak kepolisian Italia untuk mencari pelaku pembunuhan atau pemerasan.

Damian menggeleng. "Tidak." Jawabnya singkat.

"Kenapa? Bukankah dengan begitu akan lebih mudah untuk segera tahu siapa pelakunya?"

Damian diam. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan pamannya. Damian memilih untuk duduk di kursi tunggu yang telah di sediakan. Dia mengusap wajahnya dengan sebelah tangannya. Kejadian Hendrik tiba-tiba mengingatkannya pada Tara. Dalam waktu beberapa hari dia akan ke Indonesia bersama Serena. Di hati terdalamnya, Damian berharap dia akan bertemu lagi dengan Tara.

Dokter pria keluar dari ruang operasi. Damian berdiri. Dia menatap dokter tajam. "Bagaimana?" Tanya Damian tidak sabar.

"Operasi berjalan lancar."

Damian mengusap wajahnya sangat lega. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada orang tua Hendrik jika tahu anak mereka tidak selamat.

"Akan tetapi," ucapan Dokter membuat Damian kembali menatap Dokter was was.

"Ada apa?" tuntut Damian.

"Tuan Hendrik mengalami koma. Beliau terkena luka tembak yang serius. Mari kita berdoa semoga ada keajaiban."

Damian terkejut. Dia jatuh terduduk. Telinganya berdenging. Hendrik mengalami hal yang sama dengan Tara. Koma. Matanya memanas. Dia teringat Taranya yang terbaring dan dia yang tidak bisa melakukan apapun selain mengusir Tara pergi dari hidupnya.

"Tidak." Gumam Damian. Dia tidak ingin Hendrik koma. Dia tidak ingin sahabat yang mendukungnya dalam hal apapun mengalami koma.

Damian menarik tangan dokter. Matanya menatap tajam dokter. Menuntut. "Tolong, lakukan yang terbaik. Saya akan bayar berapapun. Tolong."

Daniel melihat bagaimana keponakannya itu rapuh. Damian yang tegar dan tidak takut itu seolah tidak berdaya. Mata Daniel berkedip. Daniel paham bahwa Hendrik adalah orang yang begitu penting dalam hidup Damian, namun kali ini Damian menurutnya berlebihan. Daniel tidak tahu bahwa Damian sedang mengalami ketakutan yang luar biasa dalam hidupnya.

***

Tara membawa Elis dan Raja menuju pusat perbelanjaan. Raja berjalan riang menggandeng tangan Elis. Tawa anaknya itu adalah dunianya sekarang. Tidak aka nada yang bisa menukar apapun dengan itu.

Raja anak yang tidak macam-macam. Dia tidak pernah merengek meminta jajan atau apapun. Tara yang selalu berinisiatif membelikan cemilan untuk anaknya. Tara bersyukur Raja tidak pernah membuatnya sedih.

Tara mengambil beberapa kotak susu UHT rasa pisang lalu dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Raja sangat menyukai makanan apapun dengan bahan dasar pisang. Tara juga memasukkan biskuit kelapa kesukaan Raja.

Sesekali Tara memerhatikan Elis dan Raja. Elis dengan sabar menemani Raja yang hanya melihat-lihat berbagai makanan ringan yang berjajar rapi di hadapannya.

"Lis," panggil Tara. Elis menoleh. "Ambil ciki atau apa buat adikmu di rumah."

Elis tersenyum mengangguk. Dia menggapai makanan ringan yang ada di hadapannya dibantu Raja yang semangat membawa makanan ringan itu dengan kedua tangannya. Dimasukkan makanan ringan itu ke dalam keranjang belanja. Tara tertawa. Diusap sayang kepala anaknya.

Raja kembali berlari menuju Elis yang sedang memilih susu kemasan. Anaknya itu begitu lucu dan menggemaskan. Tara berjalan menghampiri Elis dan Raja.

"Sudah semua, Lis?" Tanya Tara. Elis mengangguk.

"Sudah, Bu." Katanya lalu memasukkan dua buah susu UHT kemasan ke dalam keranjang.

Tara memerhatikan makanan yang diambil Elis. "Cuma ini saja untuk adikmu?"

"Ya, Bu."

"Ambil biskuit juga untuk camilan ibumu di rumah."

"Tapi bu—"

Tara menepuk pundak Elis. "Enggak apa-apa, Lis."

"Saya ambil biskuit yang sama kayak ibu, boleh?"

Tara mengangguk.

Elis berjalan menuju deretan biskuit sementara Tara memerhatikan Raja yang sibuk menyentuh barang-barang yang berjajar.

"Raja mau jajan apa lagi?"

Raja mendongak menatap ibunya. Tatapan itu benar-benar seperti Damian yang menatapnya. Lambat laun, Raja begitu mirip dengan Damian. Tidak ada yang dibuang. Dulu ketika masih bayi, ibu dan ayahnya mengatakan bahwa Raja begitu mirip dengan Tara namun kini Tara sangsi. Raja sangat mirip ayah kandungnya. Postur tubuh tinggi, kulit putih bersih dan sorot mata tajam dengan kedua bola mata yang juga mirip Damian. Raja adalah fotokopi Damian.

Tara mengulurkan tangannya lalu mengusap kepala anaknya. "Raja mau apa lagi?" Tanya Tara. Raja tidak merespon. Dia hanya berkedip menatap Tara lalu kembali fokus pada deretan makanan kemasan yang ada di depannya.

Raja adalah anak yang irit bicara. Tara takut jika anaknya tidak bisa bicara seperti kebanyakan anak lain, walaupun dokter mengatakan tidak ada yang salah dengan Raja. Semua vital Raja sehat. Tidak ada yang salah.

Tangan kecil Raja terulur. Dia mengambil sebuah makanan ringan yang terbuat dari kentang. "Raja mau itu?" Tanya Tara.

"Raja mau belikan buat Unna, ya?"

Tara menoleh menatap Elis. "Unna?" Tanya Tara bingung.

"Ya, bu. Anak yang sering diganggu Raja. Unna suka sekali ciki kentang."

Tara mengangguk ketika dia teringat anak perempuan lucu yang ingin sekali dipeluk oleh Raja. Apakah itu sebabnya tadi anaknya itu begitu asik melihat jajaran makanan ringan di hadapannya? Raja ingin membelikan Unna jajanan juga.

"Buat Unna."

Suara itu keluar dari bibir Raja. Suara melengking yang membuat Tara tersenyum bahagia. Anaknya bisa bicara dan kata yang dikeluarkan sungguh mengejutkan.

"Ya, buat Unna." Ulang Tara. Dia berjongkok lalu mencium pipi Raja. "Ayo kita jalan lagi. Mama mau beli sabun mandi kamu yang habis."

Mereka kembali berjalan menuju jajaran perlengkapan mandi. Tara menggandeng tangan kiri Raja sedangkan Elis mendorong troli belanjaan Tara di belakangnya.

"Bu," panggil Elis yang membuat Tara berhenti lalu berbalik.

"Kenapa, Lis?"

"Detergen juga habis. Saya lupa bilang."

"Oh," Tara mengangguk. "Tolong ambilkan ya. Yang ukuran sedang. Jangan yang besar."

Elis mengangguk kemudian berlalu. Setengah berlari, gadis itu mencari detergen yang seharusnya sejak tadi dia ambil. Tara ingin menghemat keuangan mereka hingga akhir bulan nanti. Dia belanja pun mengambil yang ukuran sedang atau kecil.

Seseorang menepuk bahu Tara membuat Tara terlonjak. Dia berbalik. Di hadapannya berdiri Riyan. "Hei," Sapa Riyan.

Tara tersenyum. "Kapan datang?" Tanya Tara. Dia sudah lama tidak bertemu Riyan. Penampilan Riyan sedikit berubah. Postur tubuh Riyan kini lebih berisi dan tegap. Rambut pria itu sudah panjang mencapai bahu dan dibiarkan begitu saja.

"Kemarin." Jawabnya kemudian menunduk. Riyan tersenyum pada anak kecil yang digandeng oleh Tara. "Anakmu?" Tanya Riyan masih menatap Raja. Wajah Raja sangat berbeda dengan Tara. Riyan yakin, wajah Raja mirip dengan ayah kandungnya.

"Iya." Jawab Tara.

Riyan berjongkok. "Halo anak ganteng." Sapa Riyan yang hanya ditanggapi Raja dengan tatapan. "Siapa namamu?" Tanya Riyan lagi kemudian tangannya terjulur mengusap kepala Raja.

"Dia belum lancar bicara, Yan." Jawab Tara.

Riyan mengangguk kemudian berdiri. "Kamu belanja?"

"Ya." Jawab Tara.

"Setelah ini mau ke mana?" Tanya Riyan.

Tara mengangkat bahu. "Pulang."

"Bagaimana kalau kita makan siang? Sudah lama aku enggak ketemu kamu, Tara."

Tara diam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Dia tidak ingin Riyan mengharapkannya lagi seperti dulu. Hatinya belum bisa terbuka dengan pria manapun. Dia masih memendam sakit hati. Tara menunduk menatap Raja yang sedang memegang botol sampo anak-anak. Tara takut namun tidak tahu apa yang dia takutkan.

"Hanya makan siang." Ucap Riyan lagi.

***