Max datang bersamaan dengan beberapa polisi Italia. Hendrik menatap mereka tajam. Seorang polisi terburu-buru menghampiri Hendrik dan Thomas sedangkan Max memilih untuk tetap diam di dalam mobilnya.
"Kami mendapat laporan bahwa Tuan sekalian telah melakukan pekerjaan yang meresahkan."
Alis Hendrik naik. "Apa maksud anda?"
"Ada yang melaporkan pada kami bahwa Tuan sekalian menyelundupkan marijuana."
Tidak lama kemudian dua orang anak buah Hendrik datang. Di kedua tangan anak buah tersebut terdapat masing-masing dua buah kardus yang ditumpuk. "Bos, dibawa ke mana ini?"
Empat orang polisi mencegah anak buah Hendrik pergi. Ditariknya kardus tersebut lalu dibuka paksa. Hendrik melihat tindakan polisi tersebut dengan tatapan tenang. Kardus-kardus tersebut berisi beberapa patung keramik dalam ukuran kecil. Empat orang polisi tersebut membolak-balikkan beberapa patung keramik namun tidak menemukan apapun yang dicarinya.
Kemudian seorang polisi menatap Hendrik. Tatapannya merasa bersalah. "Maaf, sepertinya kami sudah salah informasi."
Hendrik hanya mengangguk dan membiarkan polisi tersebut berlalu pergi. Hendrik mengumpat. "Kemasi barang-barang itu. Masukkan ke dalam mobil Max." perintah Hendrik pada kedua anak buahnya yang tersisa.
Kedua anak buah Hendrik mengangguk mengikuti perintah Hendrik. Max turun dari mobil lalu menyerahkan barang yang diminta Hendrik. Hendrik menatap barang yang kini berada di tangannya. Ponsel lama Damian. Hendrik akan melakukan berbagai cara agar Damian dapat bertemu dengan Tara.
***
"Siapa namamu?"
Tara menunduk. "Mutiara." Bisik Tara.
Dihadapannya duduk seorang pria pemilik hotel yang beberapa minggu lalu tidak jadi datang karena ada urusan keluarga. Kali ini pemilik hotel datang. Pria paruh baya seusia ayahnya Tara namun masih terlihat gagah.
"Namamu Mutiara?" bosnya menanyakannya lagi.
Tara mengangguk.
"Apakah kamu bisa menggantikan sekretarisku yang mengundurkan diri?"
Pertanyaan itu membuat Tara mendongak. Alisnya menyatu. Dia tidak punya pengalaman sebagai sekretaris sebelumnya.
Bosnya memandang berkas yang ada di tangannya. "Kulihat kau lulusan S1 tahun lalu."
Tara mengangguk lagi. Dia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda. Tara mengikuti kelas karyawan. Setiap hari Sabtu dia masuk kuliah. Kuliahnya sudah selesai tahun lalu.
Bosnya memeriksa berkas yang berisi salinan ijazah milik karyawannya. Dipandangnya Tara. "Menurut manajer, kinerjamu bagus. Kupikir kamu pantas untuk menjadi sekretaris pengganti Mara yang sudah mengundurkan diri."
Tara menelan ludah. "Di sini, Pak?"
Bosnya mengangguk. "Ya."
"Ya, Pak."
Bosnya mengangguk senang karena Tara setuju. Dia berdiri dari duduknya. "Mulai hari ini kamu bisa duduk di kursi Mara yang ada di depan pintu masuk ruangan saya."
Tara tersenyum mengangguk. Bosnya itu merupakan warga asing yang lancar berbicara bahasa Indonesia. Setelah sekian lama tidak mendatangi hotel tersebut, bosnya memutuskan untuk menetap di Indonesia untuk mengurusi bisnis hotelnya.
"Dua minggu lagi putriku datang bersama dengan tunangannya dari Italia. Mereka akan melangsungkan pernikahan di sini dan setelah itu akan ke Bali."
Tara mengangguk ragu. Dia tidak tahu arah pembicaraan Bosnya.
"Hotel ini sebelumnya hampir bangkrut tetapi mulai bangkit lagi karena tunangan putriku memberikan dana asalkan putriku mau menikahinya. Aku setuju. Kuharap keputusanku ini tidak salah. Bagaimana menurutmu, Mutiara?"
Tara tidak tahu harus berkata apa. Bosnya baru saja mengatakan rahasia yang seharusnya tidak boleh siapapun diketahui.
"Apakah putri anda setuju?" hanya itu yang ditanyakan Tara.
Bosnya mengangguk. "Putriku setuju. Dia tidak pernah tidak mendukung apapun keputusanku."
Tara mengangguk. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Tangan bosnya terulur yang membuat Tara menyalaminya. "Selamat bekerja, Tara. Untuk hari ini, kurasa cukup. Selanjutnya, kuharap kamu tidak bosan mendengar ceritaku."
Tara tersenyum mengangguk. "Terima kasih, Pak. Saya dengan senang hati mendengarkan cerita Bapak."
Tara keluar dari ruangan Bosnya. Dia meletakkan tasnya di atas meja Mara yang kini menjadi mejanya. Hari masih pagi ketika bosnya datang mencari Tara. Tara menyalakan komputernya ketika bosnya keluar dari ruangan.
"Jika ada yang mencariku, katakan aku keluar sebentar."
Tara mengangguk menatap kepergian bosnya. Matanya memindai meja milik Mara sebelumnya. Ada sebuah buku catatan. Di sana terdapat beberapa tugas yang harus diselesaikan. Tara tersenyum. Mara sepertinya sudah siap untuk mengundurkan diri. Wanita yang usianya lebih tua empat tahun dari Tara itu sudah mencatat semua yang harus dikerjakan Tara.
***
Tara pulang terlambat lagi. Dia mau tidak mau menuruti permintaan teman-temannya untuk merayakan keberhasilannya menduduki kursi sekretaris. Tara ingin menolak namun para teman kerjanya memaksa.
Jujur saja, Tara sudah sangat lama tidak berkumpul bersama teman-temannya. Ketika kuliah pun Tara memilih menjadi mahasiswa kuliah dan pulang. Tidak sempat dia memikirkan untuk berkumpul dengan teman kuliah karena dipikirannya hanya ada pekerjaan dan Raja.
Tara mengetuk pintu rumahnya. Suasana sekitar rumah sepi. Beberapa kali mengetuk pintu, akhirnya pintu terbuka. Elis tersenyum pada Tara seraya menguap. Tara tersenyum.
"Lanjutkan saja tidurmu, Lis. Enggak apa-apa sekali-kali kamu menginap."
Elis menunduk. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Tara namun tidak berani.
"Ada apa, Lis?" Tanya Tara.
"Bu, boleh saya pinjam uang bu Tara?" Tanya Elis.
"Untuk?"
"Berobat ibu saya." Jawab Elis lagi.
Tara mengangguk. Dia mengeluarkan dompet dari dalam tas tangannya. "Butuh berapa, Lis?"
"Dua ratus ribu rupiah saja, Bu."
Tara mengeluarkan empat lembar uang seratus ribuan lalu diberikan pada Elis. "Ini sekaligus gajimu hari ini, Lis. Terima kasih, ya."
Elis mengangguk. Dia benar-benar mengangguk semangat. Majikannya sangat baik sekali padanya. Dia hanya berdoa semoga saja majikannya bisa mendapat pasangan yang baik pula. Tidak jarang Elis melihat mata Tara yang bengkak pada pagi hari ketika dia datang ke rumah majikannya.
Siapapun mantan suami majikannya itu, telah benar-benar bajingan karena sudah meninggalkan Tara yang sangat baik hati. Tara yang tidak pernah marah ataupun meneriakinya jika salah, Tara yang pengertian dan apa adanya. Sungguh suatu anugerah pada siapapun yang mendapatkan Tara nantinya.
Sepeninggal Elis, Tara masuk ke dalam rumah. Bahunya sangat pegal. Besok adalah hari libur. Dia ingin mengajak Raja dan Elis pergi berbelanja ke salah satu pusat perbelanjaan di ibukota. Dia ingin menyenangkan Raja yang sudah lama tidak diajaknya berjalan-jalan.
***
Damian terbangun dengan suara ramai di lantai satu. Dia bisa mendengar tawa Sophia, teriakan Mariam dan decakan Daniel. Damian menyunggingkan senyumnya. Dia ingin mendengar suara ribut itu setiap hari. Dia ingin mendengar ramainya rumahnya.
Damian menguap lalu turun dari tempat tidur. Dia melangkahkan kaki keluar dari kamar. Tanpa peduli mandi, dia menuju lantai satu. Mariam sedang memasak bersama Sophia yang membantunya merapikan meja makan. Daniel sedang duduk memperhatikan keduanya di meja makan. Damian berdehem. Dia tidak tahu harus berkata apa.
Serempak mereka menoleh. Mariam tersenyum. Dilambaikan tangannya meminta Damian mendekat. "Ayo, duduk. Kau bangun tepat waktu. Aku baru saja membuat sarapan. Ayo."
Damian mengangguk. Dia duduk di samping Sophia. Mariam meletakkan piring berisi steak.
"Sarapan berat." Kekeh Daniel.
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa." Ucap Damian. Mariam mengusap bahu Damian lalu memberikan piring sarapannya.
Damian mengiris steaknya ketika ponsel yang ada di saku celananya berbunyi. Damian mengeluarkan ponselnya. Ternyata ibunya. Damian meletakkan pisaunya. Dia menghela nafas jengkel. Tidak bisakah ibunya bersikap tidak peduli saja? Seperti sebelumnya?
"Ya, Bu?" Jawab Damian. Daniel, Mariam dan Sophia menghentikan makan mereka. Mereka memandang Damian yang memiliki wajah keruh.
Damian mengunyah sisa steak yang ada di mulutnya perlahan. "Ada apa, Bu?" Tanya Damian lagi ketika ibunya tidak juga menjawab.
"Kau di mana?" Tanya Ibunya.
"Aku di rumah paman Daniel."
"Untuk apa kau ke rumah Daniel?"
Pertanyaan itu membuat alis Damian naik. "Berkunjung."
"Kau melupakan bahwa pamanmu itu sudah membuat Ayahmu mati?"
Damian menyandarkan punggungnya. Dia memandang pamannya yang masih memerhatikannya. "Aku tidak lupa."
"Lalu untuk apa kau ke sana? Pulang!"
"Setiap orang memiliki kesalahan, Bu.Aku sudah berdamai dengan waktu."
Perkataan Damian membuat Mariam yang duduk di sebelah Daniel meremas tangan suaminya. Mariam dan Daniel paham jika kakak iparnya itu masih membencinya. Daniel meremas kembali tangan Mariam.
"Serena mencarimu. Dia ingin mengajakmu ke Indonesia."
Mendengar kata itu membuat Damian serta merta mengingat Tara. Apa kabarnya Tara? "Untuk apa?"
Karla menghela nafas kesal. "Untuk memperkenalkan kau dengan ayahnya. Kau ini!"
"Aku sibuk."
"Damian!"
Bentakan ibunya membuat Damian memejamkan mata. Damian ingin memaki namun diurungkan. Dia tidak ingin memaki ibunya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Damian menutup telepon lalu bangkit. Selera makannya hilang. Indonesia adalah Negara yang dihindarinya. Walau luas, dia tidak ingin datang ke sana. Dia tidak ingin mengingat Tara.
Damian memilih masuk kembali ke kamarnya. Dia memilih berdiri di depan jendela kamarnya. Suasana pagi Italia begitu menyenangkan. Dia menyukai Italia. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
"Damian?" itu suara pamannya. Daniel masuk ke dalam kamar yang ditempati Damian. Daniel dapat melihat betapa kalutnya Damian. "Ada yang mengganggu pikiranmu? Tadi ibumu?"
Damian diam. Dia tidak perlu menjawab karena pamannya pasti sudah tahu.
"Aku minta maaf atas meninggalnya David."
Damian tetap diam.
"David yang meminta. Dia merasa gagal menjadi ayah yang baik untukmu dan juga menjadi pemimpin kartel."
Damian menghela nafas. Dia tidak tahu harus berkata apa pada pamannya. Pamannya berulang kali mengatakan bahwa dia membunuh David atas permintaan David sendiri. Kenyataan yang dilihatnya adalah Daniel membunuh kakaknya sendiri dengan senapan revolver yang dibawanya setelah terlibat perkelahian sengit antara saudara.
"Persiapan pernikahanku dan Serena telah menguras energiku." Gumam Damian. "Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran Ibuku. Dia ingin aku memiliki anak. Apakah tidak cukup jika aku memungut anak saja?"
"Apa alasannya?"
"Tadinya dia ingin kartel tetap ada penerus namun dia berubah pikiran. Dia tidak ingin Serena tahu apa sebenarnya pekerjaanku. Aku tidak mengerti." Damian tidak habis pikir dengan jalan pikiran ibunya yang selalu berubah-ubah. Begitu labil seperti remaja.
"Kau akan tetap menikahi Serena?"
Damian menghela nafas lagi. "Aku tidak pernah ingin mengecewakan Ibuku."
Daniel merangkul Damian. "Damian, kau tahu, kau punya pilihan. Selalu ada pilihan untuk semuanya."
"Aku tidak tahu." Gumam Damian. Dia merasa tidak ada pilihan. Ketika dia memutuskan hubungan dengan Tara secara sepihak, dia tidak punya pilihan. Dia selalu tidak punya pilihan.
Ponsel Damian bordering lagi ketika Daniel ingin berkata. Damian buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Hendrik yang meneleponnya.
"Halo?"
Hendrik tidak menjawab. Terdengar suara tembakan di latar belakang. Hal itu membuat Damian tegang.
"Hendrik! Katakan di mana kau? Hendrik?"
"Damian!" Hendrik berteriak lalu menyebutkan alamat yang harus Damian datangi. Serta merta Damian meraih jaketnya. Dia tergesa-gesa keluar kamar diikuti Daniel.
Mariam dan Sophia menatap kaget Damian yang terburu-buru. Damian melirik sekilas Mariam dan Sophia.
"Aku harus pergi." Gumam Damian tanpa menoleh.
"Hati-hati."
Ucapan Mariam nyaris membuat Damian berhenti. Damian menelan ludah kembali berjalan. Seandainya kata itu terucap dari bibir Ibunya. Seandainya.
***