Damian meletakkan Tara di tempat tidur tamu. Dia menatap tubuh Tara kemudian menghela nafas panjang. Tas tangan milik Tara diletakkan oleh pelayannya di atas meja rias. Damian menuju meja rias kemudian membuka tas itu. Dia membuka dompet Tara kemudian mengeluarkan kartu pengenal miliik Tara. Bahasa dalam kartu pengenal itu tidak dipahami Damian. Mata Damian tertuju pada paspor milik Tara. Dia membuka paspor itu.
"Mutiara Kasih." Gumam Damian. Alisnya berkerut, "nama yang unik." Bisik Damian lagi. Dia jarang mendengar nama itu atau bahkan mungkin tidak pernah mendengar nama itu di kotanya.
Dibacanya lagi barisan huruf di paspor itu. "Indonesia." Gumamnya. Damian mengangguk paham. Gadis bernama Mutiara itu berasal dari Indonesia.
Ponsel Damian berdering yang membuat pria itu merogoh saku celananya. Ditarik keluar ponselnya kemudian menggeser gambar telepon berwarna hijau.
"Halo?"
"Tuan, kami sudah menemukan persembunyian orang itu dan berhasil menangkapnya."
Damian mengangguk. Matanya menatap sekilas Tara kemudian keluar kamar. "Aku akan segera ke sana. Ikat dia dan jangan biarkan dia kabur."
"Baik, Tuan."
***
Tara membuka matanya lalu menatap sekeliling. Dia mengerutkan keningnya. Dia tidak tahu di mana dia berada. Dia menatap pakaiannya. Dia sudah berganti pakaian. Kini dia memakai kemeja pria berukuran besar. Tara mencengkeram erat kemeja itu. Dia membayangkan hal-hal yang tidak dia harapkan. Terakhir yang dia ingat, ada seorang pria yang berusaha membantunya.
Seseorang yang membuka pintu membuat Tara serta merta terkesiap kemudian merapatkan dirinya di atas tempat tidur.
"Maaf, Nona." Seorang pelayan wanita menunduk empat puluh lima derajat di hadapannya.
Tara memandang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun itu. "Saya di mana?" tanya Tara gugup.
"Nona ada di kediaman Tuan saya."
Alis Tara menyatu. "Siapa?"
"Maaf Nona, saya tidak bisa jawab."
Tara mengangguk. Pikiran buruk melintasi kepalanya. "Siapa yang menggantikan baju saya?"
"Saya, Nona." Jawab wanita itu. Masih menunduk.
Tara beranjak dari tempat tidur. "Saya mau pulang."
Pelayan itu mencegah Tara ketika hendak keluar kamar. "Maaf, Nona. Tuan saya mengatakan bahwa Nona harus makan dan mandi terlebih dahulu."
Tara menggeleng. "Tidak perlu. Saya tidak lapar. Katakan pada Tuanmu kalau saya mengucapkan terima kasih."
Pelayan itu mundur. "Baik, Nona." Pelayan mengangsurkan pada Tara pakaian bersihnya. "Ini, sudah saya cuci. Nona bisa memakainya kembali."
Tara menerima pakaiannya dan terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi. Dia tidak ingin berlama-lama di rumah itu. Setelah selesai berpakaian, Tara segera keluar dari kamar itu. Jam menunjukkan pukul sebelas siang, jam siarannya akan dimulai tiga puluh menit lagi. Mengingat kejadian semalam membuat Tara mual. Tara tidak ingin masuk kerja hari ini. Tara membuka tas tangannya kemudian menangis ketika dilihatnya amplop berisi gajinya serta ponselnya sudah raib.
"Kau sudah bangun?" pertanyaan tiba-tiba itu membuat Tara terkejut dan menjatuhkan tasnya.
Seorang pria berdiri di hadapannya. Tatapan tajam pria itu membuat Tara mengingat pria itu. Dia adalah pria berkemeja. Tidak ada senyum menghiasi wajah pria itu.
"Mau ke mana?" tanya Damian ketika didapatinya gadis yang ditolongnya sudah berpakaian rapi. Seperti hendak cepat-cepat pergi.
"Aku ingin pulang." ucap Tara bergumam.
"Kuantar." Jawab Damian kemudian berbalik.
Tara mengikutinya keluar dari rumah besar itu. Rumah dengan cat serba putih itu begitu mewah menurut Tara. Ada beberapa pelayan yang berdiri di ambang pintu. Mereka semua menunduk hormat.
Damian membawa Tara menuju mobil BMW mewah berwarna silver. Tara masuk ke dalam mobil kemudian berusaha memasang sabuk pengaman ketika Damian mencondongkan tubuhnya. Tangan Damian meraih sabuk pengaman Tara kemudian memakaikannya. Wajahnya dan Damian begitu dekat hingga Tara dapat merasakan nafas Damian di wajahnya.
Damian menatap Tara dengan tatapan tajam itu kemudian kembali duduk di kursinya. "Katakan di mana alamatmu." Ucapnya.
Tara menyebutkan alamat rumahnya yang lokasinya tidak jauh dari tempatnya bekerja. Damian mengangguk.
"Apakah kau baik-baik saja? ada barangmu yang hilang?" Damian bertanya setelah tiga puluh menit mereka diam.
Tara mengangguk. "Uangku dan ponselku." gumamnya.
"Berapa banyak?"
Tara diam. Dia tidak ingin mengatakan berapa kerugian yang dia derita pada pria yang baru saja dia kenal.
"Siapa namamu?" tanya Damian mencari topik pembicaraan lain walau sesungguhnya dia sudah tahu siapa nama gadis itu.
"Tara." Gumam Tara.
"Aku Damian." Ucap Damian.
Tara mengangguk. Sejak tadi tatapannya tertuju pada kedua tangannya. Selera makannya hilang mengingat kejadian semalam. Yang ada, perutnya mual mengingat kejadian itu lagi. Tara meremas kedua tangannya. Ketakutan dan gugup menjadi satu. Damian dapat melihat itu. Mimik wajah Tara dapat terbaca jelas oleh Damian.
"Kau sudah aman." Ucap Damian. "Jika kau pulang lebih awal, kau pasti lebih aman."
Tara menelan ludah. Dia tidak ingin menjawab ucapan Damian karena ucapan itu ada benarnya. Seharusnya dia ikut Mark. Seharusnya dia menginap saja di kantor. Tara menghela nafas pelan. Sekarang dia sudah terlambat masuk kerja.
"Damian," bisik Tara kemudian. Damian bergumam menjawab panggilan Tara. Dari sudut mata Damian, Tara masih menunduk memandang kedua tangannya. "Boleh aku pinjam ponselmu? Aku ingin menelepon temanku."
Damian mengeluarkan ponsel dari saku celana panjang hitamnya. Diberikan ponselnya pada Tara tanpa mengatakan sepatah katapun. Tara menerima ponsel itu kemudian dia menekan nomor Lucia yang sudah dia ingat di luar kepalanya. Nada ketiga teleponnya diangkat.
"Halo?" sapa Lucia.
"Cia, ini aku, Tara." Ucap Tara pelan.
"Oh, Tara! Ada apa? kau sakit? Suaramu lemah sekali."
Tara mengangguk. "Ya. Tolong berikan izin untukku."
"Baiklah. Aku akan menggantikanmu. Istirahat yang cukup, Tara."
"Terima kasih, Lucia."
Setelah sambungan telepon berakhir, Tara memberikan ponsel itu kembali pada Damian.
"Terima kasih, Damian."
Damian mengangguk. Dia tidak tahu bagaimana berbincang dengan seorang gadis. Bahkan ketika menyalurkan hasratnya di atas ranjang pun dia tidak banyak bicara. Asalkan dia dapat memuaskan diri, itu sudah cukup. Namun kali ini, Damian bingung harus memulai dari mana agar selalu berbincang dengan Tara.
***
Mobil mewah Damian berhenti di bangunan apartemen biasa. Bangunan apartemen Tara bertingkat lima. Dahi Damian berkerut melihat betapa bangunan itu nampak perlu perbaikan di sana dan sini.
"Ini apartemen yang kau tempati?" tanya Damian saraya memandang bangunan itu.
Tara mengangguk.
"Kau kerja di mana?"
Tara ikut memandang bangunan apartemen itu lalu menjawab, "Stasiun radio."
"Yang ada di depan jalan itu?"
Tara mengangguk kemudian membuka handel pintu mobil hendak keluar ketika tangan Damian terulur mencegahnya.
"Kuantar sampai pintu apartemenmu." Ucap Damian.
Tara tidak dapat menjawab. Dia tidak tahu harus menjawab apa namun mengingat Damian yang sudah berbaik hati menolongnya, membuat Tara mau tidak mau mengangguk pada akhirnya.
Damian tersenyum. Tara melihat ini pertama kali Damian tersenyum padanya. Senyum Damian begitu menawan hatinya. Jantungnya berdebar tidak karuan, terlebih pegangan tangan Damian di lengannya belum dilepaskan.
Damian melepaskan cengkeramannya lalu berdehem. "Kuantar." Gumamnya lagi kemudian keluar dari dalam mobil.
Mereka jalan beriringan menuju apartemen Tara. Apartemen Tara terletak di lantai tiga. Tidak ada lift yang membawa mereka ke lantai apartemen Tara.
"Maaf, apartemenku tidak ada lift." Gumam Tara. Dia melirik Damian yang tidak memperlihatkan rasa lelah menaiki anak tangga.
Damian mengangkat bahu. "Aku sudah biasa." Jawab Damian yang ditanggapi Tara dengan anggukan walau Tara skeptis. Orang kaya seperti Damian tidak mungkin sanggup naik ke lantai tiga apartemennya.
Sesampainya di pintu apartemen, Tara membuka pintu dengan kunci yang dia bawa. Tara memandang Damian. "Mau masuk?"
Damian memasukkan kedua tangannya ke saku celananya kemudian menggeleng. "Aku masih ada urusan." Jawab Damian.
Tara mengangguk. Dia menatap Damian. Wajah dingin itu ternyata memiliki hati yang baik. Bibir Damian tersenyum lagi padanya yang membuat Tara tersenyum canggung.
"Tara," gumam Damian.
Tara menatap Damian. Menunggu ucapan Damian yang selanjutnya. "Ya?"
Alis Damian berkerut memikirkan sesuatu. Kemudian pria itu menghela nafas. "Selamat siang." Ucapnya kemudian berbalik pergi.
Tara menatap kepergian Damian dengan bingung. Damian dan sikap anehnya itu membuat Tara tidak mengerti.
***
Tara menghela nafas. Tanpa ponsel, dia tidak bisa berbelanja secara daring padahal isi kulkasnya sudah hampir kosong. Tara harus menunggu bulan depan lagi untuk membeli ponsel baru. Hari sudah beranjak sore ketika Tara sedang menyiapkan cemilan. Tara memotong buah apel dan pir lalu menempatkan buah tersebut dalam piring. Dibawanya buah itu menuju ruang tamu.
Tara menyalakan televisi. Televisi menyiarkan berita lokal dan mancanegara. Siaran berita sore itu membahas mengenai mafia yang merajalela. Tara bergidik. Dia tidak pernah ingin terlibat ataupun berteman dengan mafia. Mafia baginya menyeramkan.
'Ting ... Tong ....'
Bel di pintu apartemennya membuat Tara segera beranjak. Dia membuka pintu apartemennya dan di depannya ada Lucia dan Mark.
"Hei." Sapa Tara.
"Kau sakit, Tara?" tanya Lucia menatap Tara iba.
Tara mengangguk. "Tadi pagi kepalaku sakit sekali. Sekarang sudah lebih baik."
"Ponselmu mati, Tara?" kali ini Mark bertanya. Dia mengikuti Lucia dan Tara masuk ke dalam apartemen.
"Aku lupa menaruh ponselku." Jawab Tara mencoba tertawa. Berusaha menutupi kejadian sesungguhnya. Dia tidak ingin Lucia atau Mark mengasihaninya. Tara tidak suka dikasihani oleh siapapun.
"Kau ini." Decak Lucia, "tidak biasanya kau lupa sesuatu."
Tara mencoba tertawa. "Akan kucari lagi nanti. Mungkin terselip entah di mana?"
Lucia duduk di sofa ruang tamu seraya meluruskan kakinya. "Apa yang ada di pikiran pengelola gedung ini? Kenapa lift tidak ada? Payah!" Lucia menggerutu sedangkan Mark hanya terkekeh.
"Aku tidak bisa pindah dari sini." Terang Tara.
Lucia memandang Tara. Tatapannya tidak enak. "Aku menyalahkan pengelola ini. Kenapa tidak memasang lift saat pembangunan gedung."
Tara tertawa mengangguk. "Iya, aku paham." Senyum Tara.
Seperti teringat sesuatu, Lucia duduk tegak. "Kau pinjam ponsel siapa siang tadi?"
"Ponsel tetanggaku." Jawab Tara sekenanya. Dia tidak ingin Lucia menanyakan lebih lanjut jika dia mengatakan bahwa dia meminjam ponsel seorang pria yang baru dikenalnya. Menghindari pertanyaan lain, Tara beranjak seraya bertanya, "kalian mau minum apa?"
"Apa saja." Sahut Lucia.
"Aku kopi." Jawab Mark.
Tara mengangguk menyiapkan minum untuk tamunya ketika didengarnya lagi suara bel pintu. "Cia, boleh tolong buka?" pinta Tara.
"Biar aku saja." Sahut Mark.
Mark menuju pintu kemudian membukanya. Damian berdiri di ambang pintu Tara dengan mata menyipit melihat pria lain berada di dalam apartemen Tara. Spekulasi bemain di kepala Damian. Apakah ini pacar Tara?
"Siapa kau?" tanya Damian penuh selidik.
Mark bersidekap. "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Siapa kau dan mau apa?"
Tara mendengar Mark berbicara dengan seorang pria membuat Tara segera menuju ruang tamu. "Siapa Mark?" tanya Tara mengintip dari balik bahu Mark. Matanya beradu dengan tatapan tidak suka milik Damian. "Oh, Damian. Ada apa?"
Mark berbalik, "Kau kenal dia, Tara?"
Tara mengangguk. "Dia temanku."
Alis Mark berkerut, "kenapa aku tidak kenal dia? semua temanmu aku kenal."
Tara menghela nafas tanpa berniat menjawab pertanyaan Mark. Tara menyenggol Mark agar menepi. Terdengar gerutuan Mark ketika pria itu menyingkir yang membuat Damian menatap tajam Mark.
"Ada apa?" tanya Tara yang membuat Damian mengalihkan pandangannya.
Damian memberikan Tara sebuah tas kertas berisi sesuatu. "Ponselmu sudah kutemukan." Ucapnya.
Tara menyambut itu dengan suka cita. Dibukanya segera tas kertas itu untuk melihat isinya. Benar saja, ponsel dan amplop cokelat berisi uang gajinya masih utuh. Tara mendongak menatap Damian.
"Dari mana kau menemukannya?"
Damian tersenyum. "Ponsel dan amplopmu itu masih ada di gang kemarin."
Tara mengangguk kemudian tangannya terulur menggandeng Damian. Tara begitu senang sekali. "Ayo masuk. Kuperkenalkan kau pada teman kerjaku."
Damian tersenyum lagi. Dia menurut. Pasrah ditarik paksa oleh Tara. Dia menatap tangan Tara yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Tangan itu begitu halus menurut Damian.
"Lucia, Mark." Panggilnya pada Mark dan Lucia yang sedang menonton siaran berita. Mereka kompak menoleh. "Ini Damian. Damian, itu Mark dan Lucia. Mark itu pimpinan redaksiku."
Lucia berdiri melihat Damian. Tara paham, ketampanan Damian tidak akan bisa dipungkiri oleh semua kaum hawa. Tangan Lucia terulur. "Perkenalkan, aku Lucia."
Damian mengangguk tanpa menerima uluran tangan Lucia. "Damian." Jawabnya. Dia lebih senang digandeng oleh Tara.
Mata Damian tertuju pada siaran berita yang menampilkan perseteruan para anggota mafia. "Kau menonton itu, Tara?" tanya Damian.
Tara menggeleng. "Aku tidak suka berita kriminal dan mafia. Kebetulan tadi saat kunyalakan televisinya sudah menyiarkan itu."
Damian menatap Tara. "Oke, aku pulang dulu."
Alis Tara naik. "Buru-buru sekali. Apa ada hal penting?"
Damian mengangguk. "Aku masih ada urusan."
"Oke."
Damian berbalik kemudian berjalan pergi keluar dari apartemen Tara. Tara menatap kepergian Damian dengan bingung. Sekejap pria itu ramah, sekejap pria itu diam. Tara mengangkat bahu, mungkin memang seperti itu sikap Damian.
"Ke mana temanmu itu?" Tanya Mark seraya meminum kopinya.
***