Chapter 4 - Aku Budakmu

Ketika Tara membuka matanya, dia sudah berada dalam sebuah kamar. Dia bangkit menuju jendela, hari sudah gelap. Tara berdecak, dia tidak bekerja lagi. Mata menatap sekeliling kamar. Kamar yang ditempatinya sangat mewah. Perabotan mahal menghiasi tiap sudut kamar. Kemudian matanya tertuju pada secarik kertas yang ada di meja rias. Dia menghampiri meja rias kemudian mengambil kertas itu. Tulisan sangat rapi menyapa matanya.

Aku ada urusan. Aku sudah membuat surat izin tidak bekerja untuk bosmu. Damian.

Ponsel Tara berdering di atas meja rias. Telepon dari Lucia.

"Halo?"

"Tara, kenapa kau keluar?"

Pertanyaan itu membuat Tara terkejut. "Hah?"

Terdengar dengusan Lucia. "Tara, tadi ada telepon dari sepupumu, kata Mark, kau mengundurkan diri. Katanya kau akan pulang ke Indonesia."

Tara menahan geramannya. Dia benar-benar kesal pada Damian. bagaimana bisa Damian dengan seenaknya mengatakan itu pada Mark? Lalu bagaimana dia akan hidup untuk ke depannya lagi jika dia tidak bekerja?

"Ada masalah, Lucia." Hanya itu yang dapat Tara katakan pada Lucia. 'Sampaikan permintaan maafku pada Mark."

"Ya, Tara. Jaga dirimu."

Tara menutup teleponnya. Diperhatikan waktu yang ditunjukkan pada ponselnya. Pukul tujuh malam. Tara keluar dari kamar matanya menatap sekeliling. Rumah tersebut sangat besar dan mewah. Begitu banyak kursi-kursi menghiasi tiap sudut rumah tersebut.

"Damian!" Tara berteriak. "Damian!" teriak Tara lagi kemudian berjalan mencari Damian. tidak ada orang. Rumah itu seolah kosong tidak berpenghuni.

Tara mencari keseluruh penjuru rumah besar itu namun tidak ditemukan orang yang dicarinya. Tara menuju pintu keluar dan membuka pintu namun tidak terbuka. Damian menguncinya.

"Damian! sialan kau!" maki Tara. Tara berpikir bahwa Damian menipunya dan menyekapnya.

Mata Tara menatap sekeliling. Mencari benda yang bisa dia gunakan untuk memecahkan kaca. Matanya tertuju pada guci besar. Dia meraih guci itu kemudian diangkatnya dan dilemparkannya pada kaca jendela. Guci pecah berantakan namun kaca jendela tersebut tidak pecah. Kening Tara berkerut. Dihampirinya jendela itu dengan hati-hati lalu disentuhnya kaca jendela itu.

"Terbuat dari apa dia?" gumam Tara seraya mengetuk-ngetuk kaca jendelanya. Tidak ada bekas lemparan guci. Kaca tersebut masih mulus.

Tara menghela nafas. Dia menyerah saja. walau semua barang dia pecahkan, dia tidak akan bisa keluar dari rumah itu. Dia hanya harus menunggu Damian lalu memakinya sesuka hatinya.

Tara berjalan ke salah satu sofa kemudian duduk. Perutnya yang lapar membuatnya kembali bangkit. Dia menuju dapur. Dapur rumah itu juga mewah. Kompornya, lemari pendinginnya, dan semua peralatannya. Tara menggeleng berusaha mengesampingkan rasa kagumnya. Dibukanya lemari pendingin yang penuh dengan makanan. Tara mengambil satu buah apel merah lalu memakannya seraya berjalan menuju kamar yang tadi dia tempati. Tara memutuskan untuk mandi saja sambil menunggu Damian datang entah pukul berapa.

Tara berdecak ketika sadar di dalam kamar mandi tersebut tidak ada handuk. "Bagaimana bisa tidak ada handuk?" gumam Tara sebal.

Tara mendengar bunyi petir diiringi hujan deras. Jika seperti ini, Damian pasti tidak akan pulang dengan cepat. Hal itu membuat Tara memberanikan diri keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan handuk sama sekali. Dalam keadaan basah karena sehabis mandi, Tara berjalan menuju lemari hendak mencari sesuatu ketika pintu terbuka lebar.

Tara tidak menyadari bahwa Damian berdiri di ambang pintu. Damian bertelanjang dada karena kehujanan. Mata Damian tanpa kedip melihat Tara berjalan mondar mandir mencari sesuatu tanpa mengenakan sehelai benang pun. Tenggorokan seolah kering saat melihat bagian belakang tubuh Tara ketika gadis itu sedang mencari sesuatu dari daam lemari pakaian. Tubuh mulus Tara membuat Damian tidak dapat bergerak.

Seolah diperhatikan seseorang, Tara berbalik. matanya melotot melihat Damian yang berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba kemarahan melintasi kepalanya lagi. Damian menguncinya di rumah itu agar tidak bisa kabur. Gigi Tara gemeretak kesal. Dihampirinya Damian tanpa memedulikan tubuhnya yang masih belum mengenakan apapun. Kemarahan membuat Tara melupakan bisa apapun.

"Kau sialan!" maki Tara. Dia berdiri di hadapan Damian seraya bertolak pinggang. Kemarahan Tara membuat Damian tidak dapat berkedip. Tara sangat seksi ketika marah. "Katakan padaku kenapa kau mengunciku? Dan berikan alasan yang logis untukku kenapa kau seenaknya saja mengatakan pada bosku bahwa aku keluar dari pekerjaan itu? kau sialan, Damian! kau sialan!" Tara memaki-maki Damian.

Damian tidak bisa berkata. Kemarahan Tara itu membuat Damian betah jika harus mendengarkan makian Tara setiap hari asalkan tidak berpakaian. Menurutnya itu sangat seksi dan menggemaskan. Dalam sekejap, Damian menyukai Tara. Ditatapnya bibir Tara yang merah itu. bibir itu masih memaki-maki Damian seenaknya. Hal itu membangkitkan hasratnya yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

"Katakan! Kau sialan!" Tara masih memaki. "Damian, kau si—"

"Aku tidak ingin kau meninggalkanku." Sela Damian yang membuat Tara terdiam. "Akan kulakukan apapun asalkan kau tetap bersamaku. Aku menyukaimu, Tara. Aku sangat menyukaimu."

Tara menatap Damian. Damian menarik lengan Tara kemudian mencium bibir gadis itu. Mata Tara melebar ketika Damian menciumnya. Tangan Damian yang bergerak mengusap dada Tara membuat gadis itu kembali terkejut. Dia lupa memakai pakaiannya. Tara hendak berusaha melepaskan diri namun Damian mencegah. Damian menatap Tara. Kedua tangan besar Damian menangkup wajah Tara.

"Aku menyukaimu dan semua yang ada pada dirimu, Tara. Akan kuberikan apapun untukmu asal kau tidak meminggalkanku. Aku tidak akan mengecewakanmu, Tara. Aku ingin yang terbaik untukmu."

Kemarahan Tara musnah sudah. Bibir Damian dengan lembut menjelajahi bibir Tara kembali. Tara menikmati ciuman itu. Kedua tangannya melingkari leher Damian. Damian menggigit bibir bawah Tara yang membuat gadis itu membuka mulutnya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Damian. Damian menjulurkan lidahnya. Menelusupi lidah Tara hingga lidah mereka beradu. Tanpa Tara sadari, kedua kakinya sudah melingkari pinggang Damian. Dengan perlahan tanpa melepaskan ciuman itu, Damian membawa Tara ke atas tempat tidur.

Tangan Damian menjelajahi tubuh Tara. Meremas dada Tara hingga membuat Tara melenguh. Ciuman Damian berpindah pada leher Tara. Meninggalkan jejak-jejak bahwa gadis itu hanya miliknya seutuhnya. Tidak ada yang boleh memiliki Tara selain dirinya. Tara adalah miliknya.

"Tara," desah Damian. Ditatapnya Tara, "aku adalah budakmu." Ucapnya lagi kemudian menciumi Tara penuh hasrat yang selama ini tidak pernah dia dapatkan.

***

Percintaan panas sudah berakhir. Damian memeluk Tara yang berada di sampingnya. Tangannya mengusap punggung Tara yang telanjang. Sejurus kemudian Damian tertawa pelan yang membuat Tara menatap Damian bingung.

"Kenapa?" tanya Tara heran.

"Aku suka kau berjalan mengelilingi rumah tanpa berpakaian. "

Wajah Tara bersemu kemudian dia tertawa malu. Dipukulnya dada Damian kesal. "Kenapa kau tidak mengatakan padaku untuk berpakaian? Maah menyerangku."

Damian tertawa lagi. Kali ini lebih keras. Bersama Tara, membuat dia menatap dunia dari sisi yang berbeda. Tara telah mampu membolak-balikkan dunianya.

"Aku suka melihatmu marah seperti itu. Kau sangat seksi, Tara." Ditatapnya Tara. Mata itu membuat Damian terpesona. Damian mengusap pipi Tara. Wajah Damian yang tampan itu membuat Tara jatuh hati. Kelembutan pria itu dan kasih yang diberikan Damian padanya membuat Tara tidak berdaya. "Aku menyukaimu. Akan kulakukan apapun agar kau tetap berada di sisiku. Bersamaku. Jika kau meminta bulan, akan kuberikan padamu."

Tara tertawa. Tawa yang membuat Damian semakin terpesona. Tawa yang membuat Damian bersedia menjadi budak Tara seumur hidupnya, seperti apa yang dia katakan pada Tara sebelumnya.

Damian mendekatkan wajahnya. Tawa Tara terhenti tatkala bibir mereka bertemu. Damian mencium Tara dengan lembut hingga membuat jantungnya berdebar kencang.

Damian melepas ciumannya kemudian menatap Tara lagi. "Aku menyukaimu, Tara. Tetaplah bersamaku di sini."

Tara tersenyum. Dia mengusap wajah Damian yang membuat pria itu menutup matanya. "Aku akan mencoba." Bisik Tara.

Damian membuka matanya. Dia memeluk Tara. Baginya, itu sudah cukup. Tara mencoba bersamanya adalah lebih dari cukup. "Terima kasih, Tara."

'Kring! Kring!'

Ponsel Damian berdering. Mengerang, Damian duduk lalu menggapai ponsel yang dia letakkan di nakas samping tempat tidurnya. Tara memeluk Damian dari belakang. Damian tersenyum. Diusap jari jemari Tara sementara dia mengangkat telepon.

"Halo?"

Damian mendengarkan saksama siapapun yang meneleponnya itu.

"Tidak bisakah kau tangani kali ini?"

Terdapat jeda kemudian Damian mengangguk. Dia menatap jam dipergelangan tangannya.

"Oke. Aku akan ke sana. Sementara aku dalam perjalanan, kalian tangani dahulu."

Alis Tara bertaut. Sepertinya Damian ingin pergi lagi. "kau mau pergi lagi?"

Pertanyaan itu membuat Damian menatap Tara kemudian mengangguk. Diciumnya bibir Tara segenap hatinya. Dipandanginya Tara, ibu jarinya mengusap bibir bawah Tara.

"Ada masalah. Mereka membutuhkan aku."

Tara menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Waktu sudah hampir tengah malam. "Apakah harus maam-malam? Apakah ada masalah dengan propertimu?"

Damian menghela nafas dan mengangguk lagi. "Ya, pembebasan lahan berjalan tidak mulus." Damian berdiri. Dipakainya celana hitamnya kemudian menuju lemari dan menarik keluar kaus abu-abu. "Aku mungkin pulang nanti pagi. Kau tidurlah. Mana ponselmu?"

Tara menyerahkan ponselnya. Sesaat Damian sibuk dengan ponsel Tara. Dikembalikan ponsel Tara. "Aku sudah mengunduh aplikasi perbankan di ponselmu jadi kau bisa belanja apapun jika besok pagi aku belum sampai."

Tara menatap ponselnya. Dilihatnya saldo rekening bank milik Damian yang nilainya tidak main-main. Dia menatap Damian terkejut. "Damian, ini—"

"Pakailah sesukamu." Sela Damian. dia mendekati Tara kemudian mencium Tara sekilas. "Aku benar-benar harus pergi. Kau mau kubawakan apa?"

"Berlian." Jawab Tara sekenanya. Dia benar-benar bingung pada Damian.

Damian tertawa lalu mengangguk. Apapun akan Damian lakukan asalkan Tara bersama dengannya.

"Damian?" panggil Tara saat pria itu membuka pintu kamar. Damian menoleh. "Aku bercanda. Istirahat yang cukup, jangan sampai sakit. Seharusnya kau tidur, bukannya bekerja."

Damian tersenyum. Senyum yang membuat siapapun terpesona. "Akan kulakukan." Ucapnya kemudian pergi.

Tara menguap. Dia memilih untuk tidur lagi.

***

Seorang pria berdiri mengitari tawanannya. Tawanannya seorang pria pengusaha yang meminjam uang darinya namun tidak bisa mengembalikan.

"Aku sudah memberikanmu tenggang waktu. Dua bulan. Namun kau tidak juga membayar hutangmu."

Pria tawananya itu meludahi wajah penculiknya yang membuat penculiknya geram.

"Terkutuk kau, Aberte!"

Pria yang dipanggil Aberte itu tertawa. "Aku tidak akan menawanmu jika kau tidak membayar hutangmu. Kau sudah kuberikan kokain dalam jumlah banyak dan kupinjami uang, namun kau malah memperlakukanku seperti ini? Siapa yang terkutuk? Aku atau kau?"

Tawanan Aberte menggeram namun tidak memaki lagi. Sebaliknya, anak buah Aberte memukul tawanannya itu. Membuat Aberte berdecak pada anak buahnya.

"Aku belum menyuruh kalian memukul dia." Decak Aberte. Pandangan Aberte kembali pada tawanannya. "Jadi, kapan kau akan membayar hutangmu?"

Tawanannya menatap Aberte dengan penuh harapan. "Aku punya putri. Apakah bisa dijadikan bayarannya?"

Aberte mendengus. Dijambaknya rambut tawanannya itu. "Aku tidak butuh putrimu. Putrimu tidak akan bisa menghasilkan uang. Aku butuh uang, bukan perempuan." Aberte kemudian memukul wajah tawanannya hingga hidung pria gendut itu patah.

"Anakku bisa kau jual. Kau akan menghasilkan uang." Tawanannya tidak kehabisan akal. Ide itu membuat Aberte tertawa.

"Kau ada benarnya." Tatapannya kemudian beralih pada anak buahnya. "Bawa anaknya dan pekerjakan dia di klub malam milikku, jangan bayar putrinya itu hingga hutang Ayahnya lunas."

Anak buah Aberte mengangguk patuh, kemudian beberapa orang dari mereka menyingkir dari sana untuk mencari anak dari tawanan Aberte.

Tawanan Aberte menatap Aberte. "Kau sangat berbeda dengan Ayahmu."

Aberte mendengus kemudian duduk di salah satu kursi. Dia mengambil salah satu rokok ganja yang diberikan anak buahnya kemudian menghisapnya.

"Ayahmu tidak akan segan-segan membunuh. Sedangkan kau tidak. Kau masih memiliki hati. Apakah ada wanita yang memikatmu?"

Aberte menendang kursi yang diduduki tawanannya. "Jangan membandingkanku dengan Ayahku. Dan kau tidak perlu tahu bagaimana kehidupan pribadiku. Kau melunjak!"

***