Chapter 6 - Matahariku

"Kau yakin mau pulang ke apartemenmu?" tanya Damian untuk kesekian kalinya.

Tara mengangguk. Diperhatikannya Damian yang menampilkan wajah khawatir. "Tidak perlu cemas, Damian. Aku akan aman di apartemen itu." Tara mengusap lengan Damian. Berusaha menenangkan kekhawatiran Damian yang menurut Tara berlebih.

Mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju apartemen Tara setelah sebelumnya gadis itu bersikeras ingin mengemasi barang-barang. Damian yang memiliki banyak musuh sangat khawatir jika Tara menghadapi masalah. Terlebih lagi gadisnya itu adalah magnet bahaya.

"Aku hanya perlu memerintahkan anak buahku untuk mengemasi pakaianmu. Kau tidak perlu repot-repot."

Tara memutar matanya. "Tidak. Aku tidak ingin mereka melihat pakaian dalamku." Dengus Tara.

Damian bersidekap. "Aku asumsikan kau belum membelanjakan uangku. Pasti jumlah uang di rekeningku belum berkurang sepeserpun."

"Aku tidak sematrialistis itu, Damian. Pakaian-pakaianku masih layak dipakai. Sayang jika harus membeli yang baru." Tara mencubit pipi Damian gemas. Damian dan sikap anehnya itu membuat Tara tidak habis pikir. "Kau ini aneh. Orang lain akan marah jika menghabiskan uang pasangannya, kau malah memintaku menghabiskan uangmu." Tara menggeleng lalu menatap jendela mobil. Pemandangan yang dilihatnya hanya jalanan lengang.

Damian tertawa. "Kalau kau menghabiskan uangku, akan ada alasanku untuk bekerja lebih keras lagi, Tara." Damian mengulurkan sebelah tangannya lalu mengusap kepala Tara. "Belilah gaun koktail atau sepatu hak tinggi bermerek. Aku tidak keberatan kau menguras rekeningku."

Tara mendengus. "Untuk apa gaun koktail dan sepatu hak tinggi? Aku tidak bisa berlari kencang menggunakan kedua itu jika ada kebakaran."

Tawa Damian meledak. Pikiran-pikiran mengejutkan Tara membuat Damian terhibur. Bersama Tara, dia menemukan sisi lain kehidupannya. Kehidupannya yang lebih berwarna. Dia tidak bisa berpikir jernih jika harus berpisah dengan Tara.

Damian membawa sebelah tangan Tara ke dadanya. Dipejamkan matanya seraya meremas lembut tangan Tara. "Kau harus tau, Tara. Kau adalah matahariku."

Tara menatap Damian. Pria tampan yang duduk di sampingnya itu sepertinya memang benar-benar mencintainya. Memercayakan semua padanya. Dan Tara akan mencoba untuk mencintai Damian seperti Damian yang mencintainya sepenuh hatinya.

"Kita sampai, Bos." Ucap sopir pada Damian. Damian menatap keluar jendela. Mereka sudah berada di depan apartemen Tara.

"Akan kuantar kau sampai ke apartemenmu." Ucap Damian pada Tara kemudian membuka handel pintu namun Tara mencegah.

"Bukankah kau terburu-buru? Aku bisa sendiri, Damian."

Damian mengibaskan tangannya. "Pekerjaan bisa menunggu. Aku harus mengantarmu sampai ke dalam apartemenmu." Kemudian keluar dari mobil.

Tara mengangkat bahu. Dia menunggu Damian membuka pintu mobil untuknya. Tangan Damian terulur pada Tara ketika pintu mobil terbuka. Tara tersenyum menyambut tangan Damian kemudian mereka berdua berjalan bergandengan tangan menuju apartemen Tara.

Tara berdiri di depan pintu apartemennya saat mereka sudah sampai. Damian memasukkan tangannya ke dalam saku celananya sementara Tara membuka pintu apartemennya. Tara membuka lebar pintu apartemennya meminta Damian masuk.

"Buat dirimu nyaman." Ucap Tara kemudian masuk ke dalam kamar untuk merapikan pakaiannya.

Damian mengangguk. Dia berjalan-jalan di sekitar apartemen Tara, matanya menatap berkeliling. Tangan Damian terulur memegang pigura foto yang menampilkan Tara seorang diri. Tidak ada pigura lain selain itu. Damian hampir lupa bahwa Tara tidak diinginkan di dalam keluarganya. Tara sepertinya tidak memiliki teman kental.

Damian mengecek jamnya. Sudah sangat sore. Dia harus segera pergi untuk mengecek semua pekerjaannya. Damian berjalan menuju kamar Tara. Gadisnya itu sedang mengeluarkan pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper besar.

"Aku harus pergi." Ucap Damian.

Tara menoleh lalu mengangguk. "Pergilah. Aku tidak apa-apa."

Damian menghampiri Tara yang sedang duduk dipinggir tempat tidur. Dipeluknya Tara erat. "Akan kusuruh sopirku menunggumu di depan pintu apartemenmu."

Tara melepaskan pelukannya. Ditatapnya Damian tidak setuju. "Biarkan dia di dalam mobilnya, Damian. Aku akan turun saja jika sudah selesai."

"Tidak apa-apa. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Setidaknya biarkan dia menjagamu selagi aku bekerja." Damian mencium puncak kepala Tara lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah senjata jenis revolver. Mata Tara membulat menerima itu. "Bawalah ke manapun kau pergi. Aku tidak selalu ada untuk menjagamu."

Pistol itu terasa berat di tangan Tara. Dia tidak pernah menggunakan pistol sebelumnya. "Aku tidak tahu cara pakainya."

Damian tersenyum. "Bidikkan saja pistol itu ke arah orang yang ingin kau tembak."

"Tidak semudah itu, Damian." Tara cemberut. Dia benar-benar tidak mengerti pada jalan pikiran Damian. "Lagipula siapa yang akan membunuhku? Kau ini."

Damian mengacak rambut Tara. "Kau itu magnet bahaya. Kau lupa?" katanya kemudian mencium sekilas bibir Tara yang masih cemberut. "Aku harus pergi. Akan kusuruh Bob menunggumu di depan pintu apartemen. Setelah itu kau harus pulang ke rumah kita. Tunggu aku di sana."

Tara menghela nafas dan akhirnya mengangguk. Diperhatikannya punggung Damian yang tegap itu hingga menghilang dari balik pintu. Tara memasukkan pistol yang diberikan Damian ke dalam tas selempang ukuran sedang yang dipakainya.

Damian mengetuk kaca mobil ketika dia sudah sampai di area parkir mobil. Bob menggulung kaca mobil. "Ya, Bos?"

"Tolong kau tunggui Tara di depan pintu apartemennya."

Bob mengangguk. Pria berambut plontos itu keluar dari dalam mobil. "Itu saja, Bos?"

"Jangan sampai ada yang melihat Tara masuk ke dalam mobil ini nanti." Bisik Damian. "Usahakan Tara sibuk hingga hari sudah mulai gelap, dan bawa dia ke rumahku tadi."

Bob mengangguk lagi.

"Apa Hendrik sudah sampai?" tanya Damian.

Bob menunjuk mobil hitam yang terparkir tidak jauh darinya. Tangan Hendrik terulur dari dalam mobil. Mengacungkan jempolnya ke udara pertanda tidak ada siapapun yang mengikuti mereka hingga saat ini.

Damian menepuk bahu Bob kemudian berjalan menuju mobil Hendrik. Dia ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Damian duduk di kursi penumpang ketika sampai di mobil Hendrik. Dia melirik Hendrik sekilas. "Jalan, Hendrik." Gumam Damian.

Hendrik melajukan mobilnya keluar dari wilayah apartemen Tara. Ketika berkendara menuju tempat tujuan, mata Damian melirik spion mobil. "Hendrik, belok kiri, kita masuk jalan bebas hambatan."

Alis Hendrik bertaut. Dia ikut melirik kaca spion mobil kemudian memaki. "Kita diikuti!"

"Aku tahu." Gumam Damian tenang. "Biarkan dia mengikuti kita. Setelah sampai jalan bebas hambatan, aku akan mengeksekusi mereka."

Tangan Damian menuju dashboard mobil kemudian dikeluarkannya senapan apinya. Dia membuka jendela kemudian menembak roda depan mobil yang mengikuti mobilnya dan menembak pengemudi mobil tersebut. Roda mobil penguntit pecah hingga membuat mobil tersebut bermanuver lalu menabrak mobil lain hingga terjadi tabrakan beruntun.

Mata Hendrik kembali tertuju pada spion sementara dia mengemudi dengan kecepatan tinggi. Damian kembali duduk di kursinya.

"Berapa yang mengikuti kita, Damian?" gumam Hendrik.

"Satu." Damian menoleh ke belakang, memastikan tidak ada lagi yang mengikuti mereka. setelah aman, dia kembali duduk tenang. "Hendrik, suruh Thomas atau Max menyelidiki siapa yang mengikuti kita."

Hendrik mengangguk. Dia menggapai ponsel yang dia letakkan di dashboard mobil. Dicarinya kontak Mark kemudian meneleponnya.

***

"Bob, apa kau yakin Damian menyuruhku membawa semua pakaianku?" Tara berusaha mengeluarkan dua kopernya dari dalam kamarnya. Hari sudah mulai gelap ketika Tara selesai merapikan pakaiannya dan menutupi semua perabotannya dengan penutup kain tipis demi menghalau debu atau kotoran.

Bob mengangguk. Dia membantu mengeluarkan koper Tara. "Bos juga meminta Nona membawa barang lain yang sekiranya Nona butuhkan di rumah baru."

Alis Tara bertaut memikirkan barang apalagi yang harus dia bawa. Sejurus kemudian Tara mengangkat bahu. Dia akan tetap membiarkan barang-barang yang lain di apartemen tersebut jika suatu saat dia rindu ingin mengunjungi apartemennya, dan dia akan membayar biaya sewa apartemennya itu setiap bulannya. Damian tidak akan sadar jika uangnya berkurang beberapa ribu dollar.

"Tidak perlu, Bob. Aku membawa pakaianku saja." Ucap Tara.

Bob mengangkat bahu. "Baiklah jika seperti itu." mata Bob memandang sekitar apartemen Tara yang sepi, "sebaiknya kita berangkat sekarang, Nona. Agar tidak terlalu malam sampai rumah."

Tara setuju. Dia mengikuti Bob keluar dari apartemen. Tara membantu Bob memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Mata Bob menatap sekeliling agi yang membuat Tara jengah. Dia berkacak pinggang menatap Bob jengkel.

"Bob, kau ini ada apa?"

Bob menggeleng. "Sebaiknya kita cepat berangkat, Nona. Hari sudah mulai gelap."

Tara menghela nafas, dia masih jengkel dengan sikap Bob yang seakan sedang diikuti oleh seseorang. Tara masuk ke dalam mobil diikuti Bob.

'BANG!'

Bunyi tembakan terdengar nyari hingga membuat mobil yang ditumpangi Tara dan Bob bergetar. Tara sadar, seseorang hendak menembakinya.

"Bob!" Teriak Tara yang membuat Bob segera melajukan mobilnya.

Panik, Tara menoleh ke belakang. Dua mobil berwarna hitam mengikutinya seraya menembaki mobil yang ditempatinya yang membuat Tara memekik.

Lain halnya dengan Bob yang tenang. Dia menambah kecepatan mobilnya tanpa memedulikan akan terlibat kecelakaan atau tidak. Peluru demi peluru menembaki mobil yang ditumpangi Tara namun tidak satupun kaca mobil itu pecah. Hal itu menjadi perhatian Tara.

"Mobil ini apakah anti peluru, Bob?" Tanya Tara seraya menunduk.

"Ya, Nona." Sahut Bob tanpa memperlambat kecepatan mobilnya. "Nona tenang saja!"

Gemetar, Tara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, bersamaan dengan pistol yang diberikan Damian meluncur jatuh. Tara tidak memedulikan pistolnya. Dia lebih memilih menelepon Damian. Dia ingin Damian tahu bahwa dirinya dalam bahaya.

Dering kedua Damian mengangkat teleponnya.

"Tara?"

"Damian!" Tara memekik seraya menutup sebelah telinganya demi menghalau bunyi nyaring pistol Bob yang meletus seraya menyetir.

"Tara! Kau di mana?!" Suara Damian mulai panik.

Tara menatap sekitar. Dia tidak tahu ada di mana. "Aku tidak tahu! Bob yang membawa mobilnya!"

Terdengar geraman Damian. "Tara, nyalakan GPSmu! Sekarang!"

Tara mengangguk patuh. "Akan kulakukan." Katanya masih panik kemudian dengan gemetar, Tara berusaha menyalakan GPS di ponselnya lalu memasukkan ponselnya ke dalam bra yang dia pakai.

Tara menggapai pistol yang terjatuh lalu menggenggamnya erat. Dia menatap Bob yang sibuk menyetir seraya menembak penguntit. Dua lawan satu. Tara takut Bob kalah. Salah satu mobil hitam berhasil mensejajari mobil yang ditumpangi Tara yang membuat Tara berjongkok. Bersembunyi.

Mobil hitam menabrakkan bagian depan mobilnya pada mobil yang ditumpangi Tara hingga gadis itu terlonjak. Tara menutup mulutnya.

"Nona, tetap di tempatmu!' Perintah Bob. Tara mengangguk. Tanpa disuruh dua kali pun Tara melakukannya. Dia sangat takut.

Tara menutup matanya erat-erat. Dua mobil itu berhasil mengapit mobil yang ditumpangi Tara. Menggiring mobil itu menuju badan jalan. Berusaha agar mobil yang ditumpangi Tara terguling.

Cipratan darah yang mengenai lengannya membuat Tara mendongak. Kepala Bob berlubang dan darah segar mengucur dari kepalanya. Tara gemetar hebat. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tara berharap dia dapat mengecil seperti Alice in Wonderland. Dia ingin tidak terlihat seperti Harry Potter dengan jubahnya.

Tara menelan ludah. Dia meraih pistolnya kemudian menyembunyikannya dibalik punggungnya. Kemejanya yang kebesaran membuat pistolnya tidak akan terlihat.

Seseorang membuka paksa bagian penumpang kemudian menarik paksa Tara yang masih berjongkok. Tara meronta. "Jangan! Tolong!" namun mereka tidak mendengarkan.

Tara tidak mengenal siapa orang-orang itu. Tara memandang mereka satu persatu dan mulai menghitung. Mereka terdiri dari delapan orang. mereka semua berpakaian serba hitam. Salah satu dari mereka berjalan mendekati Tara. Pistol teracung ke dahi Tara.

"Katakan, di mana Aberte?" tanya pria itu. Tara menggeleng. Dia tidak mengenal siapa Aberte.

"Aku tidak tahu." Gumam Tara. Pria yang mencengkeram Tara menarik rambut gadis itu hingga Tara memekik.

"Katakan sekali lagi, di mana Aberte?" tanya pria yang mengacungkan pistol ke kening Tara.

"Kukatakan sekali lagi, aku tidak tahu." Gumam Tara. Dia berusaha melawan ketakutannya. Dia tidak ingin ketakutan menguasai dirinya.

"Kalau begitu, kuakhiri saja kau. Dengan begitu, Aberte akan muncul." Pria itu tertawa.

Terdengar bunyi klik dari pistol yang diacungkan pria itu yang membuat Tara menatap pria itu. Tara tersenyum miring lalu dengan gerakan cepat, kaki Tara yang bebas menendang tangan pria itu hingga pistolnya terjatuh. Tara mulai menendang lagi namun kali tendangannya meleset. Tara terjatuh dan berhasil ditangkap kembali. Delapan lawan satu, Tara kalah.

Pria itu tertawa. "Kau betina." Geram pria itu. Ditatapnya Tara kesal. Kemudian tatapannya beralih pada orang-orang yang bersamanya. "Bawa dia."

'BANG!'

Bunyi pistol yang meletus kemudian diiringi jatuhnya pria yang menyeret Tara membuat suasana menjadi gaduh. Hal tersebut dimanfaatkan Tara untuk kabur. Dia menggerakkan kakinya secepat mungkin. Namun kecepatan larinya kalah dengan pistol yang meletus mengenai punggung Tara. Hingga gadis itu terhuyung kemudian terjerembab jatuh.

Kejadian itu tidak luput dari pandangan Damian yang baru saja sampai. "TARA!" dia berteriak. Dia melihat Tara jatuh terjerembab dengan luka tembak di bagian belakang tubuhnya. Damian melihat Tara yang susah payah bangkit. Hal itu membuat Damian membabi buta. Menembaki semua orang yang menghalangi jalannya.

Damian berhasil mencapai Tara. Direngkuhnya gadis itu dalam pelukannya. "Tara?" panggilnya.

Tara membuka matanya. Dia tersenyum menatap Damian. "Hey."

Damian mengusap kening Tara. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada gadisnya. "Kau akan baik-baik saja. Oke?"

Tara tersenyum. Dia merasakan punggungnya seperti terbakar. Sangat panas dan sakit sekali. "Punggungku panas. Sakit." Gumamnya.

"Kita akan ke rumah sakit. Ya? Kau akan baik-baik saja." Ucap Damian kemudian membopong Tara. Dia melihat semua anak buahnya sudah berhasil menembak mati semua orang yang berusaha membunuh Tara.

Pandangan mata Tara berkunang-kunang. Dia seakan melihat titik-titik putih dalam pandangannya. "Damian?" bisiknya.

"Kau jangan banyak bicara." Ucap Damian. Dia masuk ke dalam mobil dengan Tara masih dalam pelukannya.

"Apakah aku akan mati?" bisik Tara lagi.

Damian menatap Tara tidak suka. "Jangan katakan itu padaku!" bentak Damian.

"Apakah kau akan bersamaku?" tanya Tara lagi.

Pertanyaan aneh itu membuat Damian mengangguk. "Sudah kukatakan apapun akan kuberikan asal kau bersamaku."

Tangan Tara terulur. Dia mengusap pipi Damian. Damian menangis. "Jangan menangisi aku, Damian."

"Aku akan menangisimu sepanjang sisa umurku jika kau tidak selamat. Berjanjilah padaku, kau akan selamat." Damian memohon pada Tara. Tara tersenyum.

"Damian, katakan pada ibuku, aku menyayanginya. Aku tahu, aku bukanlah anak kebanggaannya. Tetapi aku tetap menyayanginya."

"Tara!" Damian membentak Tara. Tatapan Damian beralih pada Hendrik yang mengemudikan mobilnya. "Hendrik, sialan! Bawa mobilnya dengan cepat!"

Hendrik menarik pedal gas kemudian membawa mobilnya dengan kecepatan penuh. Mengikuti perintah Damian yang sedang kalut.

"Kau tidak akan meninggalkanku! Kau dengar?! Kau tidak akan meninggalkanku!" Damian mengguncang tubuh Tara yang lemas.

Tara tersenyum. Dia mengulurkan kedua tangannya lalu meletakkan tangannya di dada Damian. "Kau harus tau, aku mencintaimu, Damian. Sungguh. Ada banyak keinginanku. Salah satunya adalah bersamamu."

Tepat bersamaan dengan sampainya mobil mereka di rumah sakit, tepat saat itu pula mata Tara tertutup.

"TARA!" Damian berteriak memanggil nama Tara. Separuh hatinya. Cahayanya. Semangat hidupnya.

***