Chereads / LOVE AT THE END OF THE ROAD (Cinta Di Ujung Jalan) / Chapter 8 - Tidak Akan Menjadi Kita

Chapter 8 - Tidak Akan Menjadi Kita

Tara merasa mendengar seseorang berbicara. Dahinya menyernyit. Dia merasa seluruh tubuhnya terasa lemas. Kemudian, dia merasa seseorang mengusap kepalanya berulang kali. Matanya terasa sangat berat untuk terbuka namun dia berusaha membuka matanya. Kemudian pikirannya tertuju pada wajah pria tampan yang menangisinya. Mengatakan bahwa pria tersebut mencintainya.

"Damian." Bisik Tara, "Damian?" bisiknya lagi.

Saat matanya sudah terbuka, yang dia lihat pertama kali adalah Ayahnya. Dia menatap Ayahnya heran. Apakah Damian meminta Ayahnya untuk datang ke Paris?

"Ayah?"

Ayah tersenyum mengangguk. "Syukurlah. Kamu sudah sadar, Nak." Mata Ayahnya berkaca-kaca. "Ayah kira kehilangan kamu lagi."

"Ayah, mana Damian?"

Pertanyaan Tara membuat Ayah mengerutkan kening. "Siapa Damian?" tanya Ayah bingung.

Tara menatap Ayahnya heran. "Pacarku, Yah." Jawab Tara. Dia ingat, dia bersama Damian terakhir kali dia terkena luka tembak. Dia ingat, Damian menembaki orang yang membuatnya celaka dengan membabi buta.

"Ayah hanya kenal Tuan Aberte. Dia yang mengurusi semuanya."

Tara mengernyit bingung. "Aku enggak kenal Aberte, Yah." Tara heran, siapa pria yang bernama Aberte itu? mengapa pria itu diburu orang?

Ayah mengusap kepala Tara. "Enggak perlu dipikirkan, Tara. Sebaiknya Ayah panggilkan Dokter."

Sebelum Tara mengatakan sesuatu, Ayahnya sudah keluar ruang perawatan. Tara menghela nafas. Dia menatap langit-langit kamar. Sejurus kemudian dia tersenyum. Dia merindukan Damian. Apakah Damian setiap hari menjenguknya? Apakah Damian selalu mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkannya dalam keadaan apapun?

Akan tetapi, di pikiran terdalamnya, Tara merasakan kepedihan yang sangat. Matanya mulai berkaca-kaca. Tara menyentuh dadanya yang terasa sangat sakit sekali. Alat pendeteksi jantung berbunyi tidak beraturan ketika Tara berusaha menahan tangisnya. Sesak dadanya hingga dia berusaha menggigit bibir. Dia membutuhkan Damian saat ini. Hanya Damian yang dia inginkan namun mengapa Damian seakan terasa sangat jauh dalam pikirannya?

Seorang Dokter pria memasuki kamar perawatan Tara. Tatapan dokter berubah serius dan tanpa berbicara apapun, Dokter tersebut memeriksa Tara menggunakan stetoskopnya. Ditatapnya Tara yang sedang mengusap air matanya.

"Tenangkan pikiran," ucap Dokter tersebut pada Tara yang membuat Tara menatap Dokter tersebut. Dia mengira hanya Ayahnya saja yang berbicara bahasa Indonesia namun ternyata dokter tersebut juga berbicara dalam bahasa Indonesia.

"Dokter orang Indonesia?" tanya Tara pelan. "Berapa orang dokter yang bekerja di rumah sakit ini yang orang Indonesia?" tanya Tara lagi penasaran.

Dokter tersebut menatap Tara serius lalu tersenyum. "Semuanya berwarganegara Indonesia." Ucap Dokter hati-hati. Dokter memasukkan stetoskopnya ke saku jas dokternya. "Karena kita ada di Indonesia."

Ucapan itu membuat Tara menatap dokter terkejut. "Apa? kita di Indonesia? Bagaimana bisa?"

Dokter menepuk lengan Tara. "Enggak perlu dipikirkan. Kamu baru saja sadar dari koma selama hampir dua bulan. Jadi, kamu enggak perlu khawatir."

Tara mulai panik. Dia bingung bagaimana bisa dia berada di Indonesia. Jika sudah seperti ini, dia hanya perlu menanyakan Damian. dia berpikir bahwa ini adalah urusan Damian. Damian dapat melakukan apapun. Dia meraih lengan Dokter yang hendak pergi. "Dok, panggilkan Damian. Tolong saya, Dok. Panggilkan Damian."

Perlahan Dokter melepaskan genggaman tangan Tara. Ditepuknya lengan Tara sekali lagi kemudian berlalu.

"Dok, panggilkan Damian." Pinta Tara lagi setengah berteriak.

Terdengar cakap-cakap antara dua orang di luar kamar rawat Tara. Tara tersenyum. Pasti itu Damian. Tara ingin Damian tahu bahwa dirinya sudah sadar. Bahwa dia ingin mengatakan pada Damian jika dia pun mencintai Damian.

Seseorang membuka pintu yang membuat Tara memanggil nama Damian namun ternyata yang masuk adalah Ayahnya. Tara menatap Ayahnya penuh harap. "Yah, mana Damian?"

Ayah menggeleng.

"Apa Damian enggak pernah jenguk aku, Yah?"

Ayah kembali menggeleng yang membuat mata Tara berkaca-kaca. Damian yang tidak pernah menjenguknya membuat Tara sangat sedih. Namun Tara tersenyum. Dia berusaha berpikir positif.

"Pasti Damian sibuk. Dia orang sibuk, Yah." Tara menatap Ayahnya berbinar. "Rumah Damian besar, Yah. Besar banget, Yah." Ucap Tara semangat menceritakan pada Ayah hal-hal yang dilaluinya bersama Damian. Tara yang tidak pernah bertemu dengan Ayah, menceritakan hal-hal menyenangkannya bersama Damian. Terakhir kali dia bertemu dengan Ayah ketika saat dia sekolah menengah pertama.

"Nanti aku kenalkan Damian sama Ayah. Damian orang yang baik, Yah. Dia ramah." Ucap Tara kemudian menatap Ayahnya namun tatapan iba Ayah membuat Tara menatap heran.

"Kenapa, Yah?"

Ayah mengusap kepala Tara kemudian tersenyum. "Nak," Ayah menghela nafas, "Ayah bingung harus kasih tau kamu dari mana dulu."

"Kenapa, Yah?"

"Nak," ucap Ayah lagi yang membuat Tara tidak sabar.

"Yah, bilang!" tuntut Tara.

Ayah menatap serius Tara. Kemudian Ayah memilih merogoh saku celana jeans yang dipakainya. Diberikannya selembar kertas pada Tara. "Ini,ada titipan untuk kamu baca kalau kamu sudah sadar."

Tara menerima surat itu dan dengan tidak sabar menyobek amplopnya. Dikeluarkan selembar kertas dari dalam amplop kemudian membacanya sementara Ayah memilih untuk duduk di kursi. Ditatapnya anaknya kasihan.

Tara,

Apapun yang sudah kita lewati anggap saja bukan apa-apa. Aku dan kau tidak akan pernah menjadi kita. Bertemu denganmu adalah suatu kesalahan. Aku menyesal telah mengenalmu. Aku dengan suka rela mengembalikan kau ke Indonesia. Kau pernah mengatakan padaku bahwa kau ingin sekali pulang. Dengan ini aku memulangkanmu dan aku minta padamu jangan pernah mencariku karena aku akan menikah dengan wanita lain yang lebih kucintai. Kau hanya pelarianku. Mengenalmu hanya membuatku terlibat dalam bahaya dan hal itu membuat aku membencimu. Kau telah membuang waktuku percuma.

Tangan Tara gemetar membaca itu. Dia membaca berulang kali dan berulang kali pula tulisan itu tetap sama. Tara berharap matanya yang salah namun tidak. Dia mengibaskan surat itu berharap tulisannya dapat berubah namun ternyata tidak. Tulisan itu tetap sama. Tulisan tangan Damian yang rapi. Tulisan itu begitu menyakitkan bagi Tara. Damian membencinya. Kebersamaan mereka selama ini hanyalah sia-sia.

Air mata mengalir deras. Hatinya sangat sakit. Inilah yang dia pikirkan tadi. Mengapa dia merasa sangat sedih. Begitu menyakitkan bagi hatinya. Damian telah memutuskan sepihak. Tara ingin sekali bersama Damian hingga akhir hayat namun Damian tidak seperti itu. Ucapan manis pria itu telah meluruhkan hatinya. Pertahanan yang dibangunnya terhadap pria seketika luntur ketika bersama Damian. Damian yang pandai merayu akhirnya membuat Tara jatuh berlutut hingga memberikan satu-satunya harta berharganya sebagai seorang wanita. Damian tidak jauh beda dengan pria-pria yang dikenalnya. Hanya mengincar harta berharganya saja dan Damianlah yang telah sukses mengambilnya. Tara begitu membenci Damian.

***

Setelah dirawat beberapa minggu di rumah sakit, Tara sudah bisa pulang diantar oleh Ayah, Ibu tirinya serta Adik tirinya. Rumah Ayahnya sangat sederhana namun terlihat sangat nyaman.

"Rumah baru, Ayah?" tanya Tara seraya masuk ke dalam rumah.

"Iya." Jawab Ayah.

Ibu tirinya membawa Tara masuk ke dalam kamar. "Karena kamu akan tinggal bersama kami dan Ayahmu ada rejeki jadi kami pindah, Tara. Dan ini jadi kamarmu."

Tara menatap ibu tirinya. "Terima kasih, Bu." Tara menatap Adiknya, "kamu sendiri, kamarmu di mana, Tio?"

Adik laki-laki Tara menunjuk kamar yang ada di seberang kamar Tara. Tara mengangguk. Adik Tara tidak banyak bicara. Tara beranggapan bahwa Adiknya itu pendiam.

Ayah menunjuk koper besar yang ada disudut kamar Tara. "Pakaianmu belum sempat kami rapikan. Kamu saja yang rapikan." Ucap Ayah.

Tara tersenyum kemudian duduk di tempat tidur.

"Istirahat." Ucap Ibunya yang membuat Tara mengangguk. Mereka baik padanya. Tidak seperti ibu kandungnya. Mengingat itu membuat Tara memikirkan bagaimana ibu kandungnya saat ini. Hidup susah atau hidup senang?

"Tara," panggil Ayahnya yang membuat Tara berhenti memikirkan Ibu kandungnya. "Ayah dan Ibu ada keperluan di luar. Kamu dan Tio di rumah."

Tara tersenyum mengangguk.

"Tio," panggil Ibunya, "Jaga Kakakmu. Jangan pergi."

"Iya."

Hanya itu yang dijawab Tio kemudian keluar dari kamar Tara disusul Ibunya dan Ayahnya. Menyisakan Tara di dalam kamar. Jika sudah seperti itu, Tara kembali memikirkan Damian. Damian yang mulai dia cintai. Tara mengusap air matanya yang menggenang. Dia tidak ingin memikirkan Damian.

Perlahan Tara berjalan menuju koper besarnya kemudian duduk di lantai. Diusapnya koper itu. Koper yang dia siapkan untuk tinggal bersama Damian namun yang terjadi diluar rencana. Dibukanya koper tersebut. Pakaiannya masih utuh. Tara mengeluarkan satu persatu pakaiannya ketika didapatinya amplop cokelat berukuran sedang dengan isi yang sangat banyak diantara tumpukan baju. Tara bingung. Dia tidak pernah ingat memasukkan amplop besar ke dalam kopernya.

Dia mengintip isi amplop tersebut kemudian terkejut. Uang dollar Amerika dalam jumlah yang sangat banyak. Dia tidak ingat memiliki uang sebanyak itu. Terdapat pula sepucuk amplop surat berwarna putih. Terburu-buru Tara mengeluarkan amplop surat tersebut dan membukanya. Di dalam amplop tersebut terdapat dua lembar surat. Tara membuka salah satunya yang ternyata tulisan tangan seseorang. Bukan tulisan tangan Damian. Tulisan tangan surat ini tidak rapi namun tetap bisa terbaca.

Perkenalkan, namaku Hendrik.

Tara mencoba mengingat apakah ada temannya di Paris yang bernama Hendrik. Namun dia tidak ingat juga. Akhirnya Tara memilih melanjutkan bacanya.

Kusertakan uang untukmu melanjutkan hidup yang baru. Uang itu adalah uang pribadi dariku untukmu. Aku minta maaf perkenalan kita seperti ini. Aku ingin memberitahukan sendiri padamu siapa aku namun aku tidak bisa. Ini demi kebaikan kita bersama. Bersama surat ini, kusertakan pula sebuah kabar dari rumah sakit di Paris. Kuingin kau membacanya sendiri. Kuberharap kau kuat menghadapi cobaan yang menimpamu. Setelah membaca surat tersebut, semua keputusan ada di tanganmu. Aku selalu mendukungmu. Salam persahabatan.

Tara membuka surat lain yang berlogo sebuah rumah sakit mahal di Paris. Dibukanya surat tersebut dengan berdebar. Dia tidak ingin mengetahui bahwa dia mengidap penyakit berbahaya atau menular.

Dibacanya perlahan surat tersebut kemudian air matanya tumpah. Tara menangis lagi. Luka hatinya bertambah parah. Sangat parah hingga dia tidak sanggup untuk menyembuhkannya.

***

Kepergian Tara berhasil mengubah Damian. Pria itu semakin keras dan tegas pada siapapun termasuk anak buahnya. Hal itu membuat ibunya Damian khawatir. Dia tidak pernah melihat anaknya itu begitu dingin dan tidak berperasaan pada siapapun walau tidak pada dirinya.

"Damian?" panggil Karla Aberte pada anaknya.

Damian bergumam seraya memakan sarapannya. Damian memilih untuk mengunjungi ibunya. Hal yang biasa dia lakukan diakhir pekan.

"Sarapan pagimu jangan berat seperti itu. Kau seharusnya makan roti atau buah, bukannya makan daging barbeque."

Damian memakan satenya dengan tenang. Dia tidak peduli dengan apa yang ibunya sebutkan untuk makanan yang dia makan. Tadi dia meminta pelayan ibunya untuk memasak sate dengan resep yang dia cari di jejaring internet. Walau rasanya tidak seenak buatan Tara, Damian tetap memakannya.

Ibunya duduk di hadapannya kemudian ditatapnya anaknya itu. Diulurkan tangannya menyentuh punggung tangan Damian. Damian mendongak mengangkat alisnya. "Ada apa, Bu?" tanya Damian masih mengunyah.

"Kau tidak ingin menikah?" tanya Karla dengan hati-hati.

Damian menggeleng masih mengunyah.

"Kalau begitu, tidak ada lagi yang dapat meneruskan usaha kita." gumam Karla kecewa.

Ucapan itu membuat Damian berhenti mengunyah. "Jika Ibu hanya ingin penerus, aku akan mencarikan penerus tanpa harus menikah."

Karla menatap tajam Damian. diremaskan tangan Damian erat. "Ibu ingin anak dari perempuan yang kamu nikahi. Ibu mau anak kandungmu. Bukan anak pungut!"

Damian berdiri dari duduknya. Selera makannya sudah hilang jika menyangkut pautkan mengenai pernikahan. Dia tidak ingin menikah namun dia juga tidak ingin mengecewakan Ibunya.

"Terserah." Gumam Damian lalu beranjak pergi. Tidak dihiraukannya panggilan Ibunya.

***