Chapter 5 - Berlian

Damian pulang ketika hari sudah mulai siang. Wajah Damian lelah yang membuat Tara menatap Damian kasihan. "Kau mandilah, akan kusiapkan sarapanmu. Mau minun apa?"

Damian tersenyum melihat Tara yang berdiri di dapur mewahnya hanya memakai kemejanya yang sangat kebesaran dipakai Tara. "Kopi." Jawabnya singkat lalu duduk di kursi makan seraya memakan roti milik Tara yang belum sempat dimakan gadis itu.

Tara mengerutkan kening mendengar minuman apa yang diminum Damian. Dia bersidekap memandang Damian yang sibuk mengunyah roti lapisnya. "Apakah kau cukup tidur?" tanya Tara penuh selidik.

Damian mengangkat bahu. Diletakkan rotinya di piring kemudian berjalan menuju Tara. Dia berhenti di hadapan Tara. Diulurkan tangannya mengusap pipi Tara.

"Pekerjaan membuatku tidak bisa tidur. Dan nanti sore aku harus bekerja lagi." Ucapan itu membuat kening Tara semakin berkerut. Damian tersenyum kemudian mencium kening Tara. Dipandangnya Tara penuh kasih. "aku sudah biasa kurang tidur. Jangan khawatir." Ucapnya lagi.

Kemudian Damian merogoh saku celana panjangnya. Dia menarik tangan kanan Tara. Diletakkan sebuah benda di tapak tangan Tara. "Sesuai permintaanmu." Bisik Damian.

Tara yang tidak mengerti, melihat benda yang ada di telapak tangannya. Sebuah batu berlian. "Damian, ini—"

"Sesuai yang kau inginkan. Berlian. Indah, bukan?"

Berlian tersebut berukuran sekepalan tangan bayi. Otak Tara mulai menghitung berapa harga berlian itu dan tidak mungkin Damian memiliki berlian semahal itu. Dipandangnya Damian penuh selidik. "Kau mencuri?" tanyanya.

Damian tertawa pelan. "Aku tidak mencuri. Itu berlian yang kuambil dari simpananku di bank," Damian memandang Tara penuh pemujaan, "makanya aku pulang terlambat. Aku ke bank dahulu."

Tara menatap berlian itu. Damian orang kaya. Rumahnya yang mewah-mewah, tidak mungkin Damian tidak dapat membeli berlian. Mungkin Damian pun memiliki pesawat terbang berikut landasan pacunya.

"Apa kau punya pesawat terbang?" tanya Tara masih memerhatikan berlian itu.

Terdengar tawa Damian. "Aku punya beberapa pesawat jet, helikopter dan pesawat pengangkut barang." Ucapan Damian membuat Tara mendongak. Dia seharusnya tidak terkejut namun dia tetap saja terkejut. "Kapan-kapan, akan kuajak kau naik helikopter."

"Pesawat pengangkut barangmu untuk apa?"

"Mengangkut beberapa barang untuk propertiku." Ucap Damian mengangkat bahu. "Perjalanan darat yang memakan waktu lama membuatku lebih suka memakai pesawat agar lebih cepat."

Tara mengangguk. Damian masih menatap Tara. Tatapan penuh pemujaan yang dia ciptakan hanya untuk Tara. Kedua tangan Tara terulur mengusap kedua mata Damian yang lelah. Usapan itu membuat Damian menutup matanya.

"Kau sangat lelah." Gumam Tara. "Tidurlah sebentar. Akan kubangunkan saat makan siang."

Damian bergumam menjawab permintaan Tara. Masih menutup mata, Dia menangkup wajah Tara kemudian mendaratkan ciuman di bibir Tara. Damian melenguh. "Ya, Tuhan, aku merindukanmu." Bisiknya diantara ciumannya.

"Damian," Tara memrotes. Dia tidak ingin Damian sakit akibat kurang tidur. Damian bergumam menjawab ucapan Tara. "Tidurlah." Perintah Tara lagi.

"Hm," lenguh Damian kemudian mencium leher Tara. "Temani aku." Ucapnya kemudian menggigit leher Tara main-main.

Jika itu yang dapat membuat Damian dapat istirahat, Tara menurut. "Baiklah."

Damian melepas ciumannya kemudian membopong Tara hingga membuat gadis itu memekik. "Damian!" teriaknya takut jika Damian akan menjatuhkannya. "Aku berat." Ucapnya panik.

"Kau seringan bulu." Damian tertawa.

Ketika Damian akan membawa Tara menuju kamar, bel di pintu rumahnya berbunyi yang membuat Damian mengerang. "Siapa yang bertamu!" makinya karena menganggu niatnya untuk melakukan hal menyenangkan dengan Tara di kamar tidur.

Tara tertawa. "Turunkan aku, Damian. Aku harus membuka pintu."

Damian menurunkan Tara namun dia mencegah Tara membukakan pintu. "Biar aku saja." Ucapnya serius yang membuat Tara mengangguk. "Kau lanjutkan apa yang tadi kau akan kerjakan."

Damian menuju pintu sementara Tara kembali menuju dapur. Tara melanjutkan membuat beberapa tusuk sate daging sapi untuk dibakar di atas wajan. Tidak adanya suara dari ruang tamu membuat Tara penasaran. Dia mengintip untuk mengetahui siapa yang datang. Terdapat dua orang pria yang duduk berhadapan dengan Damian dan seorang wanita berpakaian seksi duduk di samping Damian. Mereka sedang terlibat percakapan serius. Tara mengangkat bahu.

Suatu kebiasaan Tara jika ada tamu akan disediakan minum dan camilan. Tara mengeluarkan camilan berupa potongan buah melon dari dalam lemari pendingin. Dituangkan kopi espresso dari mesin pembuat kopi espresso ke dalam beberapa cangkir. Dia membawanya perlahan menuju ruang tamu.

Tamu Damian serta merta melihat Tara. Tatapannya tertuju pada pakaian yang dipakai oleh Tara. Mereka hanya menatap Tara tanpa berani bertanya pada Damian. Bertanya pada Damian hanya akan membawa petaka. Damian tidak suka kehidupan pribadinya dibicarakan oleh siapapun.

Ketika Tara sudah menghilang dari pandangan, Damian menendang meja hingga membuat kedua pria yang duduk di hadapannya itu terkejut. "Jika kalian terus memandangnya seperti itu, akan kucongkel mata kalian."

Kedua pria itu mengangguk lalu meminum kopi mereka.

"Siapa dia, Damian?" tanya wanita yang duduk di sampingnya. Penasaran.

Damian menatap wanita itu tajam. "Kau hanya sekretarisku, jangan bertanya mengenai siapa dia." Ucap Damian tidak suka.

Sekretaris Damian bersidekap lalu menyandarkan punggungnya di sofa namun tidak mengatakan apapun.

"Apakah semua berjalan lancar?" tanya Damian pada para tamunya. Kedua orang di hadapannya ada orang-orang penting dalam bisnisnya.

Salah satu dari pria —yang memiliki tato di sebagian besar tubuhnya—di hadapan Damian mengangguk. "Lancar, Bos."

"Di mana Hendrik?" tanya Damian lagi.

"Hendrik sedang berada di Atlanta," kali ini sekretarisnya menjawab, "dia mengurusi beberapa pengiriman barang di sana agar berjalan lancar."

Damian mengangguk kemudian menyandarkan punggungnya di sofa. Dahinya berkerut memikirkan sesuatu. "Apakah metodeku terlalu longgar menurut kalian?" ditatapnya pria bertato, "bagaimana menurutmu, Thomas?" tanyanya pada Thomas—pria bertato.

Alis Thomas bertaut.

"Sepertinya metode ayah anda mesti dicoba lagi, Bos." Ucap pria yang duduk di sebelah Thomas.

Damian menatapnya. "Begitukah, Max?"

Pria bernama Max mengangguk dan Thomas kali ini setuju. "Kebijakan anda membuat orang-orang itu senang, Bos. Kami pikir anda harus mengubah metode anda agar anda lebih ditakuti lagi. Seperti dahulu ketika awal anda menggantikan Tuan David Aberte."

Damian mencondongkan tubuhnya. "Jadi menurut kalian aku harus lebih keras lagi?"

Mereka bertiga mengangguk.

"Setelah apa yang anda saksikan sendiri kemarin." Ucap Max mengingatkan.

Damian mendengus mengingat kejadian kemarin. "Aku tidak suka dibandingkan dengan ayahku. Orang gendut itu membuatku kesal ingin sekali menembaknya."

Setelah pertemuannya dengan Tara, sikap dingin dan tidak berperasaan Damian berubah. Damian mudah tertawa dan tersenyum. Hal itu berpengaruh pada bisnis yang dia jalani. Kening Damian berkerut memikirkan bisnisnya. Tara tidak mengetahui semuanya. Tara hanya mengetahui dasarnya saja. Tidak pernah mengetahui bisnis gelap yang Damian geluti.

"Kenapa tidak kau tembak saja dia?" kali ini sekretarisnya bersuara.

Damian melirik sekilas sekretarisnya. "Aku sedang tidak ingin menembak mati orang."

Bisnis properti hanya berupa kedok saja. Bisnis Damian lebih dari itu. Penjualan obat terlarang, penyelundupan senjata tajam, prostitusi dan masih banyak lagi. Usaha tersebut diturunkan dari Ayahnya. Mereka merupakan kartel Aberte. Bukan kartel terkejam di dunia namun masih ditakuti oleh orang-orang jika menyebut David Aberte. Pria berdarah dingin yang dengan mudahnya membunuh tanpa perasaan.

Sebelum bertemu Tara, Damian dikenal pria terkejam. Lebih kejam dari David Aberte. Kartel Aberte hampir menguasai dunia di tangan Damian yang masih muda namun akhirnya kembali merosot ketika Damian bertemu Tara. Tara berhasil menjungkir balikkan Damian dalam sesaat. Dia melihat indahnya dunia hanya dengan menatap Tara. Dia dapat mengasihi orang lain ketika bertemu Tara yang penuh kasih.

"Apa kalian sudah berhasil menemukan putri si gendut itu?"

Max mengangguk. "Dia galak sekali, Bos." Kemudian Max tertawa.

Damian menatap sekretarisnya. "Kuingin kau memaksa anak si gendut itu agar melunasi hutang Ayahnya. Aku tidak mau rugi milyaran dollar." Alis Damian bertaut saat sekretarisnya hanya memandangnya. Dijentikkan jarinya di wajah wanita itu seraya memanggil namanya, "Caroline."

Caroline gelagapan. "Ya?" tanyanya.

Damian mendengus. Dia berdiri dari duduknya. "Thomas, terangkan pada Carol. Aku tidak suka mengulang perintah. Kalian boleh pergi."

Mereka bertiga berdiri. Thomas dan Max berjalan terlebih dahulu. menyisakan Caroline dan Damian. mereka berdiri berhadapan.

"Damian, siapa perempuan itu?" tanya Caroline lagi.

Damian menatap Caroline tajam. "Bukan urusanmu."

Caroline mendekatkan wajahnya, "jadi urusanku jika itu berkaitan denganmu." Gumam Caroline tidak terima.

Damian mendengus. Diraihnya pergelangan tangan kiri Caroline lalu dicengkeramnya sekuat tenaganya hingga Caroline meringis. "Kau dan aku hanya sebatas teman ranjang. Tidak lebih. Jadi jangan berharap kau akan mendapatkan hatiku."

Mata Caroline berkaca-kaca. "Karena hatimu sudah menjadi milik perempuan yang ada di dapur itu?" gumamnya. "Jadi selama ini aku hanya pemuas nafsumu? Kukira kita selama ini dalam jalan yang sama."

Damian tertawa pelan namun kejam. "Tidak. Kita di jalan yang beda." Lalu dilepas cengkeraman tangannya pada Caroline. "Pergi dari sini atau kutembak kakimu seperti aku yang pernah menembak kaki Maria."

Mata Caroline membulat mengingat Maria. Dia mempercepat langkahnya hingga hampir saja menabrak pajangan guci sebelum akhirnya keluar dari rumah Damian.

"Loh, sudah pergi?" pertanyaan Tara membuat Damian menoleh. Dia melihat Tara membawa sepiring penuh daging yang ditusuki sebatang besi kecil-kecil.

Damian tersenyum. Sirna sudah tatapan kejamnya. "Kau membuat barbeque?" tanya Damian antusias.

Tara menatap masakannya. "Bukan. Ini sate."

Alis Damian bertaut. "Satai?" tanyanya yang dijawab Tara dengan tawa.

"Iya. Ini satai daging sapi. Enak dipakai saus kacang. Di Indonesia, ini makanan kesukaanku."

Damian mengusap kedua tangannya bersamaan. Penasaran dengan masakan buatan Tara. "Yum ... yum ... aku lapar."

"Kau sanggup menghabisnya semua ini? ini untuk enam orang." Alis Tara naik.

Damian mengangguk antusias.

"Ayo, kita makan di ruang makan. Aku sudah menyiapkan makanan berkuah juga."

"Apa itu?" tanya Damian seraya mengikuti Tara menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur.

"Soto."

"Soto?" Damian membeo.

Tara tertawa. "Akan kuperkenalkan kau dengan masakan Indonesia. Kujamin kau pasti suka. Bahan-bahan di lemarimu lengkap jadi kupakai semua."

Damian tersenyum berjalan mensejajari Tara. "Pakai semuanya. Itu semua menjadi milikmu juga."

***

"Kau benar-benar menghabiskan sate itu." Tara tertawa melihat Damian yang mengusap perutnya. Kekenyangan.

"Kau membuat masakan yang enak. Satai akan jadi kesukaanku juga."

Tara tersenyum menatap Damian. Dia memang tidak mau mendengarkan pembicaraan Damian dengan para tamunya tetapi Tara yakin, pembicaraan mereka sangat serius. "Jadi, bagaimana bisnismu?"

Damian meminum air putihnya kemudian menjawab. "Sepertinya aku perlu perubahan."

Alis Tara naik. "Jika itu memang yang terbaik dan membuatmu lebih banyak waktu, menurutku lakukan saja. Kau sudah bertanya dengan rekanmu yang lain?"

Damian menatap Tara. "Aku belum bertanya pada Hendrik."

Tara mengangguk lalu mulai merapikan piring bekas makan mereka. Diletakkan piring itu di mesin pencuci piring satu persatu. Damian memerhatikan kerja Tara kemudian menghela nafas pelan. Setelah ucapan Tara yang mengatakan bahwa gadisnya itu benci mafia, Damian memilih untuk merahasiakannya. Dia tidak ingin Tara tahu. Damian sudah membayangkan jika Tara tahu, Tara akan menjauhinya bahkan membencinya. Bayangan itu membuat Damian bergidik. Dia tidak ingin Tara meninggalkannya. Dia baru saja bertemu dengan cahayanya dan dia tidak ingin kehilangan cahayanya itu.

Mata Damian tertuju pada berlian besar yang diletakkan Tara di dekat wastafel pencuci tangan. Diperhatikannya Tara mengambil berlian itu lalu mengantunginya di saku kemeja yang dipakainya. Dia akan melakukan apapun untuk Tara walau harus merahasiakan kejamnya dunianya. Tekadnya sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat.

***