"Kau mau makan siang?" tanya Mark pada Tara. Tara mengangguk. Jam siarannya yang pertama sudah selesai dan akan dimulai lagi menjelang sore hari. Setiap harinya Tara melakukan siaran sebanyak dua kali.
"Ayo, aku juga." Mark mengajaknya. Tara melirik ruang siaran. Lucia masih di dalam ruang tersebut.
"Aku bersama Lucia." Elak Tara.
"Lucia akan selesai setelah makan siang. Jam siarannya kutambah tiga puluh menit mulai kemarin."
Tara akhirnya mengangguk. Berpikir bahwa menunggu Lucia selesai siaran akan lebih lama lagi, dan perutnya sudah mulai lapar.
"Kau mau makan siang di mana?" tanya Mark lagi.
Tara nampak berpikir sejenak. "Lebih baik di sekitar sini saja."
Mark mengangguk. Mereka berjalan beriringan keluar dari gedung perkantoran. Tara dan Mark memilih berjalan kaki menuju restoran makan siang yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka bekerja.
Mereka memasuki restoran dan Mark memilihkan tempat duduk dekat jendela untuk mereka makan siang. Restoran sedang ramai oleh pengunjung karena sudah masuk jam makan siang. Kursi-kursi hampir penuh oleh para pengunjung.
"Kau mau makan apa, Tara?" tanya Mark seraya melihat menu.
Tara menatap menu tersebut. Sebetulnya tidak ada yang membuatnya tertarik. Dia sebenarnya ingin makan masakan Indonesia. Dia rindu kampung halamannya. Dia rindu ibunya. Sudah lama dia tidak menelepon ibunya. Tara menghela nafas. Ibunya pasti baik-baik saja. Ibunya pasti tidak akan merindukannya.
"Apa saja aku pasti makan." Ucap Tara akhirnya.
Mark mengangguk. Dia memanggil pelayan restoran tersebut dan menyebutkan pesanan mereka. setelah pelayan selesai mencatat pesanan mereka, Mark menatap Tara yang pandangannya sedang tertuju pada luar jendela.
"Setelah ini, apa yang kau lakukan, Tara?" tanya Mark membuka percakapan.
Tara menoleh kemudian tersenyum tipis. Dia teringat ingin berbelanja bahan makanan di supermarket. "Aku akan belanja. Bahan makananku habis." Ucap Tara.
"Naik apa?" tanya Mark lagi karena seingatnya, Tara tidak mempunyai kendaraan.
"Taksi atau Bus." Jawab Tara mengangkat bahu. Dia tidak mempermasalahkan transportasi yang akan digunakan. Tara biasanya menaiki taksi, bus, atau sepeda. Karena berhubung sepedanya rusak, Tara memilih menaiki taksi atau bus.
"Kuantar." Tawar Mark.
Tara mengerutkan kening mendengar tawaran Mark. Dia tidak ingin merepotkan Mark. "Apakah kau tidak ada jadwal bekerja setelah makan siang?"tanya Tara.
Mark nampak berpikir kemudian mendengus. "Ya. Aku ingat akan ada pertemuan dengan salah satu artis untuk diwawancarai di radio kita."
Tara tersenyum. Dia tidak perlu mencari alasan untuk menolak tawaran Mark. Mark sangat baik padanya. Sejak dia mengenal pria itu, Mark selalu begitu.
"Kau bisa pakai mobilku, Tara. Tidak apa-apa." Tawar Mark.
"Tidak perlu, Mark. Aku bisa naik taksi. Dekat." Elak Tara.
"Tapi—"
Pembicaraan mereka terhenti ketika pelayan restoran datang membawakan pesanan mereka. Mark memesankan steak untuk makan siang mereka berdua. Suatu kebiasaan Tara ketika makan, matanya memandang sekeliling. Sebagian besar yang makan siang berupa pekerja atau karyawan kantor. Kemudian mata Tara tertuju pada Damian yang baru saja memasuki restoran. Pria itu memakai pakaian kasual. Kaus polo dan celana panjang bahan berwarna hitam. Damian datang bersama beberapa tiga orang pria.
Tara hendak mengangkat tangannya ketika seorang pria yang bersama Damian berbisik di telinga pria itu, lalu matanya menatap sekeliling kemudian berhenti di meja Tara. Damian tersenyum mengangguk pada Tara namun tidak menghampiri gadis itu. Damian memilih menuju meja lain dan duduk bersama tiga orang pria yang bersamanya. Tara melihat betapa Damian sangat ramah pada para pengunjung restoran seolah pria itu sudah sering datang ke tempat itu.
"Kau dengar apa yang kukatakan, Tara?"
Pandangan Tara beralih pada Mark. Tara tersenyum bersalah. "Ada apa?" tanya Tara tidak enak karena sudah mengabaikan Mark.
"Kau boleh memakai mobilku." Ulang Mark lalu minum colanya.
Tara menggeleng. "Tidak perlu. Aku sudah memesan taksi."
Alis Mark naik. "Kapan?"
"Sebelum makan siang, aku sudah menelepon perusahaan taksi untuk datang." Sesungguhnya Tara berbohong. Dia belum memesan taksi. Tara merasa sungkan pada Mark.
Mark menghela nafas. "Baiklah. Tetapi kau harus hati-hati. Banyak orang jahat."
Tara mengangguk. Dia percaya itu karena baru kemarin dia mengalaminya, dan dia berjanji tidak akan pulang selarut kemarin.
Makanan dalam piring Mark sudah habis kemudian pria itu berdiri. "Tara, aku tidak bisa menemanimu," diperhatikan jam yang melingkari pergelangan tangan pria itu, "aku ada janji dengan artis yang tadi kubicarakan."
Tara mengangguk mengerti. "Tidak apa-apa. Cepatlah pergi. Akan kubayar makanan kita."
Mark mengeluarkan dompetnya lalu meletakkan beberapa lembar uang dollar. "aku yang membayar," elaknya. Ditatapnya Tara merasa bersalah. "Sebetulnya ada yang ingin kubicarakan lagi padamu, Tara. Tetapi aku harus cepat-cepat."
Tara tersenyum. "Masih ada waktu." Ucapnya.
Mark mengangguk. "Oke, aku pergi." Ucapnya kemudian berjalan keluar dari restoran.
Tara memakan makan siangnya perlahan. Tatapannya tertuju pada Damian yang duduk memunggunginya sedangnya tiga pria lain duduk dihadapan Damian. Mereka sedang terlibat percakapan serius. Di meja itu terdapat empat buah bir dan satu loyang pizza buatan restoran.
Tara meminum air putihnya kemudian hendak berdiri ketika tangan kokoh menjerat lehernya dari belakang hingga membuat semua yang ada di sana memekik. Di tangan lain pria itu terdapat senjata jenis revolver.
"Jangan bergerak atau kutembak kepalamu." Bisik pria yang menjerat lehernya.
Degup jantung Tara berpacu. Pandangan Tara tertuju pada Damian. Pria itu berdiri namun tatapannya begitu tenang. Tidak ada raut ketakutan dalam tatapan mata itu. Begitu juga dengan ketiga pria yang ada di belakang pria itu. Berbeda dengan tatapan para pengunjung restoran yang lain.
Tangan berpistol pria yang menjerat leher Tara itu membidikkan pistolnya pada kening Tara. Tara menutup mata. Dia takut jika inilah akhir dari kehidupannya. "Serahkan barang kalian atau kutembak kepada gadis cantik ini." ancamnya.
Seketika suasana restoran gaduh. Mereka ketakutan dan serta merta mengeluarkan semua barang mereka ke atas meja.
"Kumpulkan di sini!" perampok itu menunjuk ujung kaki Tara. Memerintahkan semuanya meletakkan barang mereka di depan Tara. Semua orang mengumpulkan barang bawaan mereka berupa dompet dan ponsel. Kemudian tatapan perampok itu tertuju pada Damian dan kelompoknya. "Kau, mana barangmu!"
Damian berjalan perlahan. Tatapan Damian tertuju pada perampok itu. Tara menatap Damian, memohon pertolongan namun sepertinya Damian tidak melihat permohonan Tara karena tatapan Damian fokus pada perampok tersebut seolah perampok tersebut adalah hewan buruannya. Cekikan perampok itu di leher Tara semakin erat hingga membuat Tara hampir sesak nafas. Tara hanya berdoa semoga semua berakhir. Ketika Damian hampir dekat, dengan gerakan cepat, Damian menarik sesuatu dari balik punggungnya.
'BANG!'
Perampok dan Tara yang masih dicekiknya itu roboh hingga menimbulkan teriakan kencang dari pada pengunjung restoran terkecuali Damian dan kelompoknya.
Degupan jantung Tara bertau-talu. Tara tidak dapat bergerak yang membuat Damian membantu Tara berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Damian.
Tara menggeleng walau lehernya masih terasa sakit. Tara mengusap perlahan lehernya dan Damian dapat melihat itu. Disingkirkan tangan Tara kemudian diperhatikannya leher Tara yang merah.
"Kau perlu berobat." Ucap Damian.
Tara menggeleng kemudian menatap Damian. Tatapan pria itu sangat tajam menusuk hingga ke dalam relung hatinya. Tatapan Damian kali ini sangat menakutkan.
Tara menggeleng lagi. Dia tidak sanggup berkata-kata. Damian melirik ketiga orang yang bersamanya kemudian memberi kode untuk membereskan kekacauan tersebut. Mereka bertiga mengangguk samar. Damian memilih membawa Tara keluar dari restoran tersebut. Tara yang masih terkejut, hanya menurut ketika Damian memasukkan Tara ke dalam mobilnya di kursi belakang bersamanya.
"Tara?" bisik Damian saat pria itu memakaikan sabuk pengaman untuk gadis itu. Tara diam. Dia masih terkejut dengan apa yang terjadi. Tangan Damian terulur lalu mengusap pipi Tara demi mendapatkan perhatian gadis itu. Tangan Damian yang dingin membuat Tara terkejut. "Hei, ini aku." Bisik Damian lagi.
Tara menatap Damian. "Damian?" gumamnya.
Damian tersenyum. Tangan Damian mengusap kepala Tara.
"Kukira kau akan menembakku." Gumam Tara. Tatapannya ketakutan. "Kukira kau tidak akan menolongku."
Damian menutup matanya sesaat kemudian membukanya lagi. Dia menarik nafas panjang lalu menggeleng. "Aku tidak akan melakukan itu, Tara. Aku tidak akan menembakmu."
Tara menelan ludah. Kedua tangannya gemetar yang membuat Damian menangkup kedua tangan Tara. Dilingkupinya tangan Tara dengan tangan besarnya.
"Aku tidak akan menembakmu, Tara. Aku tidak akan melakukan itu padamu." Ucap Damian lagi. Tara ketakutan dan itu terlihat jelas oleh Damian.
Seorang pria masuk ke dalam mobil dan duduk di bagian kemudi. "Kita ke mana, Bos?" tanya pria itu.
Damian menatap pria tersebut. "Pulang, dan suruh Thomas menelepon dokter."
Pria itu mengangguk. "Siap, Bos."
***
Tara menyadari kini bahwa rumah Damian begitu jauh. Jika sebelumnya dia tidak memperhatikan jalan, kini dia lebih memperhatikan. Perjalanan memakan waktu dua jam lebih. Tara mengerutkan keningnya. Yang dia ingat, rumah Damian sebelumnya tidak jauh seperti ini.
"Damian?" panggil Tara dengan tatapan tertuju pada jalan.
"Ya?"
"Ada berapa rumahmu?" tanya Tara. Dalam sekejap saja dia ingin tahu.
Terdengar tawa Damian. "Aku pengusaha properti, Tara. Rumahku ada beberapa."
"Kenapa kau membawaku jauh?"
Tidak ada jawaban dari Damian yang akhirnya membuat Tara menatap pria itu. Pria itu sedang menatap Tara.
"Kenapa kau membawaku jauh?" ulang Tara lagi.
"Kau adalah magnet bahaya, Tara."
Ucapan Damian membuat Tara tertawa pelan. magnet bahaya? Yang benar saja. "Aku tidak percaya."
"Sudah berapa kali kau terlibat bahaya?" Damian masih menatapnya tanpa kedip.
Tara memalingkan wajahnya. Ditatapnya jalan-jalan yang kini berubah sepi. Tidak banyak kendaraan yang lewat. Entah Damian ingin membawa Tara ke mana. Pikiran Tara tertuju pada masa lalunya. Alasan terbesarnya untuk memilih pergi jauh-jauh dari Indonesia.
"Ibuku dan Ayahku bercerai saat aku sudah dilahirkan. Kakakku meninggal ketika kami dalam perjalanan ke tempat wisata. Ibuku menyalahkanku karena awalnya aku yang bersikeras meminta Kakakku mengajakku pergi. Kemudian, pamanku, adik dari ibuku berusaha menggagahiku, aku berusaha melindungi diriku dengan memukul kepalanya menggunakan botol kaca. Ibuku selalu mengatakan bahwa aku anak pembawa sial. Aku bersyukur ketika ada tawaran beasiswa untuk berkuliah di Paris. Aku mengambil itu tanpa kupikirkan bagaimana aku makan nantinya. Aku hanya berharap aku bisa menghindari pukulan ibuku."
Tara mengusap air matanya yang menetes. Dia teringat bagaimana perjuangannya berada di negeri orang. Bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran yang gajinya tidak seberapa. Terkadang Tara makan hanya sekali dalam sehari asalkan dia bisa membayar uang sewa.
"Beasiswaku dicabut oleh kampus karena aku terlibat dalam pembunuhan temanku. Aku melindungi diriku. Aku membunuhnya karena dia berusaha melecehkanku berulang kali, menyebarkan pada pihak kampus bahwa aku pelayan restoran plus-plus. Aku dikeluarkan dari kampus."
Tara menangis. Kuliahnya berantakan dan mimpinya untuk menjadi ahli dibidang akuntan pupus sudah. Damian serta merta memeluk Tara. Diusapnya kepala Tara perlahan. Dibiarkannya Tara menangis dalam pelukannya. Tangisan Tara berubah dengkuran halus yang membuat Damian tersenyum. Dia masih memeluk Tara. Menggoyangkannya maju dan mundur.
"Wow, Bos."
Damian menatap supirnya. "Ya, wow." Angguknya setuju.
"Dia ganas juga jika sudah terjepit. Lady Killer. Tetapi kenapa dia tidak melawan tadi?"
Damian mengusap punggung Tara kemudian mengangkat bahu. "Mungkin dia tidak ingin berurusan dengan hukum lagi."
"Kupikir, dia belum semua menceritakan masa lalunya."
Damian setuju. "Ya. Kupikir juga begitu."
"Kau tidak takut padanya jika nanti kau tiba-tiba ditembak mati olehnya?"
Damian tertawa mendengar itu. "Tidakkah kau melihat tadi? Apakah dia sanggup membunuhku?"
***