"Kau mau pulang?" tanya teman satu kantor Tara yang bernama Lucia. Tara mengangguk. Rambut ikal sebahunya bergoyang ketika Tara mengibaskannya demi menghalau rasa gerahnya.
"Ini sudah malam, Tara." Sahut Mark, pimpinan redaksinya.
Tara memakai kacamatanya kemudian menatap keduanya. "Tidak apa-apa. Aku sudah biasa pulang hingga larut seperti ini." Tara mengangkat bahu. Dipakai jaketnya lalu dijinjing tas bahunya.
"Akan kuantar, ya." Ucap Mark lagi. Mata abu-abu Mark menatap Tara penuh harap.
Tara menggeleng. Sebaliknya, dia memerhatikan wajah Lucia yang berubah cemberut. Tara tersenyum tipis. Lucia menyukai Mark. "Antarkan saja Lucia. Kurasa dia lebih membutuhkan tumpangan. Rumahnya lebih jauh daripada rumahku. Aku hanya berjalan kaki dari sini." Ucap Tara lagi kemudian melesat pergi sebelum Mark mencegahnya lagi.
Tara bekerja di sebuah stasiun radio di kota Paris yang indah. Tugas Tara biasanya menyiarkan lagu-lagu permintaan pendengarnya melalui sambungan telepon. Hari ini dia pulang sangat larut—biasanya dia pulang pukul delapan malam—karena pimpinan redaksinya yang bernama Mark mengadakan acara ulang tahun yang ketiga puluh tahun. Semua karyawannya diundang.
Tara mengeratkan jaketnya. Udara malam yang berangin membuatnya sedikit kedinginan. Dia menatap langit malam kota Paris. Keningnya berkerut melihat kilatan petir.
"Mau hujan." Gumam Tara. Dia mempercepat langkahnya keluar gedung kantor tempatnya bekerja.
Tara tinggal di sebuah apartemen biasa tidak jauh dari tempatnya bekerja. Jika berjalan kaki hanya menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit. Tara mengangkat tangan kirinya. Didekatkan lengan yang berbalut jam bermerek Casio—hadiah pemberian ibunya ketika Tara memutuskan untuk tinggal jauh dari orangtuanya—waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Sudah sangat larut sekali.
Tara menghembuskan nafasnya. Suasana sekitar sangat sepi. Membuatnya menyesal mengapa tidak menerima tawaran Mark tadi namun sejurus kemudian dia teringat mengapa dia menolak tawaran Mark. Lucia. Lucia menyukai Mark. Wanita cantik itu pernah mengatakan padanya dan Lucia pun pernah menyatakan perasaannya pada Mark yang ditolak oleh pria itu. Tara berdecak. Lucia sangat cantik dengan rambut lurus cokelat kemerahan mencapai batas pinggang dan warna mata yang biru. Entah kriteria apa yang diinginkan Mark.
Tara kembali menatap sekitar. Gedung-gedung perkantoran yang sangat gelap membuat Tara mempercepat langkahnya. Dia merasa bahwa langkah kakinya saat ini begitu sangat lambat.
Tara berhenti melangkah, dia menyentuh bagian belakang lehernya lalu melirik ke belakang. Tidak ada siapapun. Tadi perasaannya mengatakan bahwa dia seperti diikuti oleh seseorang. Tara memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya demi menghalau ketakutannya yang berlebihan kemudian mulai berjalan lagi tatkala ....
"Ah!"
Dua orang yang tiba-tiba berdiri di hadapannya membuat Tara jatuh terduduk. Tawa dari orang itu membuat Tara mengetahui bahwa keduanya adalah pria. Mata Tara menyipit berusaha mengenai kedua pria itu namun dia tidak mendapatkan apapun. Suasana yang gelap membuat Tara hanya memandang gelap wajah mereka.
"Mau ke mana, Cantik?" tanya salah satu dari mereka.
"Pulang." Jawab Tara berusaha menghalau rasa takutnya kemudian berdiri. Dia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya walau jantungnya mengatakan lain. Jantungnya berdegup lebih cepat. Pikiran buruk melintasi kepalanya. Dieratkan pegangannya pada tasnya.
"Boleh aku lihat isi tasmu?" tanya yang lainnya.
Tara menggeleng. "Tasku tidak ada isinya." Gumamnya. Dia tidak ingin gajinya yang baru diterimanya diambil oleh kedua orang itu. jika itu terjadi, dia tidak bisa membayar sewa apartemennya. Tara berbalik hendak melarikan diri namun salah satu dari pria itu menarik lengannya.
"Mau ke mana?" gumam pria itu dari belakangnya sementara yang lain berdiri di hadapannya.
Tara mendongak dan menatap pria yang berada di hadapannya. Dia tidak mengenal pria itu semenjak dia tinggal di kota ini. Tangan pria di hadapannya terulur lalu menarik paksa tas yang ada dalam genggaman tangan Tara. Sementara pria yang ada di belakang Tara menarik pinggang Tara.
"Jangan ...." pinta Tara ketika pria yang ada di hadapan Tara mengobrak-abrik isi tasnya. Pria itu mengeluarkan amplop cokelat dari dalam tas Tara. Gajinya! "Tolong, jangan. Uang itu sangat kubutuhkan." Tangan Tara berusaha menggapai amplop yang kini sudah berpindah tangan namun pria yang ada di belakangnya mencegahnya.
"Eits ...," gumam pria yang ada di belakangnya. "Kami juga butuh." Bisiknya di telinga Tara.
Tara memejamkan mata berusaha meronta namun kedua orang itu begitu kuat. Dua pria melawan satu orang wanita. Tidak sebanding. Tara diangkat lalu di bawa paksa menuju lorong gelap. Teriakan memilukannya tidak dapat didengar oleh siapapun. Tara menangis. Inilah akhir dari pertahanannya. Dia tidak akan bisa mempertahankan dirinya lagi.
Kedua pria itu menarik paksa jaket yang dipakai Tara kemudian merobek kemeja katun yang dipakainya. Tangan-tangan itu menjamah tubuh Tara. Meremas dengan paksa. Tara berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan. Dia tidak ingin berakhir seperti ini. Tangan lain berusaha melepas celana jeans yang dipakainya. Tara menendang, berusaha mempertahannya satu-satunya harta yang paling dia jaga.
"Jangan." Pinta Tara. "Ambil semua barangku tapi jangan sentuh aku." Pinta Tara lagi sangat pilu.
Salah satu dari mereka mendekatkan wajahnya lalu berbisik di telinga Tara. "Tidak akan. Kau terlalu sayang untuk kami lewatkan." Katanya kemudian menciumi dada Tara. Tara meronta-ronta. Dia takut setengah mati.
Kancing celana jeansnya berhasil dibuka. Hal itu membuat Tara ketakutan. "Tolong!" Tara berteriak sekuat tenaga. "Tolong saya!" teriaknya lagi diatas paru-parunya.
Tara menangis. Dia akhirnya pasrah. Rontaannya dia lepaskan. Dia membiarkan dua pemuda itu menarik paksa celana jeansnya hingga hampir memperlihatkan celana dalamnya ketika didengarnya salah satu dari mereka ditarik paksa.
"Kau mengganggu kesenangan kami!" maki salah satu pria yang berusaha menyentuh Tara.
Semua tangan-tangan yang menjamah itu pergi. Tara membuka matanya. Kedua pria yang menjamahnya itu kini berhadapan dengan seorang pria lain. Hal itu membuat Tara memiliki kesempatan untuk beringsut menjauh. Tubuhnya sangat lemas. Tara menempelkan tubuhnya pada sebuah tempat sampah kecil, berusaha agar tidak terlihat orang lain walau sesungguhnya itu tidak mungkin. Tara tidak sanggup untuk menggerakkan kedua tangan serta kakinya menjauh dari situ. Sebaliknya, dia menatap ketakutan pada ketiga pria itu.
Pria yang baru datang itu penampilannya sangat berbeda dengan kedua pria yang berusaha menjarahnya. Pria itu memakai kemeja dan celana panjang rapi, berbeda yang dua orang yang lain. Kedua pria itu kini baku hantam dengan pria yang baru datang. Dua lawan satu. Tidak seimbang namun sepertinya pria berkemeja itu tidak kewalahan. Ilmu beladiri pria berkemeja itu begitu lihai. Dalam sekejap, kedua pria itu jatuh.
"Kau tidak tahu siapa aku?" ucap pria berkemeja itu lalu mendekatkan wajahnya pada kedua pria yang jatuh. Serta merta kedua pria itu mundur ketika melihat dengan jelas wajah pria berkemeja.
"Maafkan kami! Maafkan kami!" kedua pria itu ketakutan tatkala melihat pria berkemeja, lalu kedua pria itu berlari.
Tara melihat itu semua. Tara mulai beringsut semakin merapatkan tubuhnya di dinding yang kumuh ketika dia melihat pria berkemeja itu mendekatinya. Tara yang mengalami kejadian menakutkan, membuatnya trauma jika harus berhadapan dengan kejadian itu lagi. Tara menekuk lututnya. Dibenamkan kepalanya di kedua lututnya. Berusaha melindungi dirinya ketika di dengarnya langkah sepatu itu semakin mendekat. Dia takut setengah mati.
Tangan dingin menyentuh bahunya yang telanjang membuat Tara berteriak sekuat tenaga. "Jangan ganggu saya. Tolong jangan ganggu saya!" Tara berusaha menyingkirkan tangan itu dari bahunya.
"Hei, aku tidak akan menganggumu."
Ucapan itu membuat Tara berhenti berteriak. Dia membuka matanya kemudian mendongak. Pria di hadapannya menatapnya khawatir. Wajah pria itu menurut Tara begitu tampan. Tatapan tajam kedua mata hitam itu membuat mata Tara mengedip.
"Kau tidak apa-apa?" tanya pria itu kemudian mata pria itu meneliti tubuh Tara yang membuat Tara semakin menutupi tubuhnya yang hampir telanjang.
Mata pria itu tertutup sejenak lalu terbuka. Pria itu berdiri kemudian mencari sesuatu. Dia menemukan apa yang dicarinya lalu diberikan jaket yang dibuang oleh kedua penjahat itu pada Tara.
"Pakai jaketmu. Udara sangat dingin." Ucap pria itu.
Dengan masih menahan tangis, Tara memakai jaketnya kembali. Pria itu menjulurkan tangannya meminta Tara berdiri.
"Ayo, kuantar kau pulang."
Tara menggeleng. Dia tidak mungkin berdiri jika celana panjang yang dipakainya masih berada di bawah pinggulnya. Seakan tahu apa yang dipikirkan Tara, pria itu menghela nafas kemudian berbalik memunggunginya.
"Pakai kembali celanamu." Ucap pria itu pada Tara.
Tara berdiri, berusaha menarik keatas celana jeans yang dipakainya. Dia mengutuki celana jeans ketatnya. Sangat susah dipakai ketika dia ingin semuanya berjalan cepat. Tara mengeluh. Keluhannya itu membuat pria berkemeja itu mengerutkan keningnya. Setelah itu, terdengar bunyi 'gedebuk' keras yang membuat pria itu berbalik. Tara terjatuh. Tubuhnya menubruk tempat sampah yang berada di sampingnya.
"Kau lemas." Ujar pria itu kemudian mengangkat Tara berdiri. "Kubantu kau memakaikan celanamu." Gumam pria itu lagi.
Tara menangis. Dia takut jika pria berkemeja itu melakukan tindakan asusila padanya. Tangisan Tara terdengar oleh pria yang masih berusaha menarik keatas celana Tara. Pria itu mendongak. Matanya menatap Tara yang memejamkan mata seraya menangis.
"Aku tidak akan menyentuhmu jika itu yang kau takutkan." Ucapnya. Secara tidak sengaja tangannya menyentuh pangkal paha Tara. Tangisan Tara masih terdengar memilukan. Ketika pria itu berhasil menarik keatas celana Tara, gadis itu jatuh pingsan.
Pria itu menghela nafas panjang. Dia merunduk kemudian memanggul Tara di bahu kirinya. Di ujung gang gelap itu, seorang pria lain menunggunya.
"Kau ini lama sekali, Damian." Gumam pria itu kemudian tertawa, "mengapa kau menggendongnya seperti itu, Damian?"
Pria berkemeja yang bernama Damian itu mendengus. "Aku tidak tahan melihat dia yang hampir tidak berpakaian." Gumam Damian lalu berjalan melewati temannya.
Temannya tertawa. "Apa sih yang membuatmu tahan pada makhluk yang berwujud perempuan? Hantu perempuan pun mungkin tidak akan membuatmu tahan."
Damian memutar matanya.
"—tidak tahan untuk tidak lari." Sambung temannya lagi yang membuat Damian berbalik.
Damian melotot memandang temannya. "Diam atau kutembak kepalamu." Ancamnya.
Terdengar dengusan temannya yang berjalan mensejajarinya. "Kenapa tidak kau tembak saja dua kepala orang bodoh itu, Damian? Kau membuang energimu saja."
"Aku hanya mengetes ilmu beladiriku. Ternyata masih berfungsi."
Temannya berdecak. "Pamer." Gerutunya.
Damian diam. Tidak menjawab ucapan temannya itu lagi. Mereka berjalan menuju mobil BMW yang dia parkir di luar gedung perkantoran. Damian membuka pintu belakang mobilnya kemudian meletakkan dengan hati-hati Tara di dalam mobil. Ketika hendak menutup pintu, siulan temannya membuat Damian berbalik.
"Ada apa?" tanya Damian pada temannya.
"Seksi sekali dia."
Damian mendengus. Hendrik dan kelakuannya membuat Damian tidak terkejut lagi. "Jangan kau ganggu dia."
Hendrik tertawa. "Hah!" ejek Hendrik.
"Dia sudah mengalami malam yang buruk. Jangan kau tambah lagi keburukanmu."
Hendrik tertawa lagi. "Kita ke mana, Damian?" tanya Hendrik mengalihkan pembicaraan.
Damian masuk ke dalam mobil kemudian menyalakan mobilnya. Hendrik duduk di samping Damian. Damian melirik sekilas Tara yang masih tidak sadarkan diri.
"Pulang ke rumahku."
Hendrik mengangguk. "Setelah itu, kita masih ada kerja, Damian."
Damian bergumam menjawab ucapan Hendrik.
***