Cuaca sangat terik dan polusi kendaraan tidak mampu di kendalikan oleh pepohonan di tengah ibu kota sulawesi selatan ini. Makassar adalah kota besar, tidak jauh beda dengan kota kelahiranku di Bali. Menjadi kota termaju di indonesia timur, cukup membuat kota ini menjadi kota yang cukup sibuk. Beberapa pengamat mengatakan bahwa pusat perekonomian di indonesia timur berada di Kota Makassar. Lebih tepatnya, untuk menyuplai kebutuhan masyarakat dan wilayah di indonesia timur maka Kota Makassar di jadikan sebagai tempat untuk melakukan hal itu. Makassar bukan hanya menjadi kota yang perekonomiannya terus berkembang dan maju, tapi Kota ini juga menjadi pusat pendidikan yang memiliki kualitas dan citra yang tinggi di Negara ini. Jadi, tidak heran jika sangat mudah menemukan orang-orang dengan latar belakang suku lain selai suku asli tanah Makssar yaitu suku bugis. Banyak orang luar Makassar yang sedang menuntut ilmu serta sedang bekerja di sini. Bahkan dari luar negeri juga banyak. Yang pasti dari bali juga ada banyak, termasuk aku yang mewakili pulau Dewata Bali.
Antrian sudah cukup panjang, dan matahari tak lelah menebar pesona teriknya. Panas bercampur peluh serta aroma-aroma keringat yang mulai tidak nyaman di indra penciuman tak bisa lagi di tolak. Saya sudah berada di antrian dan sebetar lagi tiba giliranku untuk mengambil lembaran yang cukup penting dan menjadi lembar berharga bagi setiap insan yang berada di sepanjang antrian. Setidaknya, dengan lembaran formulir pendaftaran itu akan menjadi langkah awal bagiku untuk menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran di universitas Hasanuddin, salah satu Univeraitas yang cukup memiliki citra yang baik dengan lulusan yang bisa di perhitungkan kualitas dan kredibilitasnya. Sebut saja, Abraham Samad yang mampu menduduki jabatan sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Di negara ini, dan banyak lagi tokoh-tokoh nasional yang lulus dari Universitas Hasanuddin ini. Saya tidak berharap banyak jika di terima di Kampus ini. Hanya saja, semoga aku bisa menemukan kisah dan cerita hidup yang menyenangkan nantinya. Seperti, bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan dan menerimaku apa adanya.
" Hey! " tiba-tiba tiba saja seseorang melewatiku. Dia menerobosku lalu mengambil tempatku di antrian. Salahku juga, yang sedari tadi asik termenung.
" Hey! " aku menegurnya lagi. Dia terlihat tak meresponku. Aku tidak tahu jenis klamin manusia ini. Dia memakai topi dan memakai kaos hitam serta celana jeans dan sepatu kasual. "Sepertinya laki-laki" pikirku.
"Maaf mas, tapi ini tempat saya. " saya mencoba memberitahunya dengan sopan. Karena, saya tahu posisiku sebagai pendatang di Kota ini, saya tidak ingin mempersulit diriku saja.
" ya! " dia berbalik dan membuka topinya.
" maaf yah bang. Tapi, saya bukan mas. Saya wanita!" dia terlihat melotot padaku.
" dan sepertinya, kamu ini bukan asli makssar. Kamu pasti orang jawa." dia terus berbicara.
" bukan, saya bukan jawa. Saya.... "
" terserah kamu dari mana. Yang pasti kamu bukan asli Makassar."
" iya. " aku mengangguk.
" jadi, begini mas. Kamu harus tahu peraturan di kota ini. Kalau tidak ada yang namanya aturan mengantri yang seperti mas pikirkan. Yang jelas saya sudah berada disini. Yang berarti ini tempat saya, mengerti." tanpa sadar saya hanya mengangguk ketika di menegaskan apa yang di katakannya padaku. Lalu kemudian saya tersadar ketika tiga orang laki-laki menerobos mendahuluiku lagi. Barulah saya sadar akan apa yang dia maksud. Dan saat itu juga, aku mulai berhati-hati menjaga tempatku.
Hingga sore hari, ketika selesai mengambil formulir. Aku memutuskan untuk menuju sebuah tempat yang cukup terkenal di kota ini, menuju pantai Losari.
Suasananya cukup ramai disini. Aku melihat sebuah tempat duduk yang mengarah langsung ke laut. Aku menuju tempat itu, dan duduk disana. Aku sudah membeli beberapa makanan ringan sebelum kesini dan aku memnikmatinya sambil memandangi ombak-ombak yang berlomba menuju bibir pantai. Dan renunganku jauh ke waktu yang telah berlalu, perlahan saya membuka sebuah kotak kecil di dalam memoriku. Sebuah kenangan bersama seseorang yang cukup berarti bagiku. Lalu kemudian buyar, ketika seseorang duduk di sampingku. Aku mencoba bergeser sedikit, lagi pula kursi ini cukup panjang dan bisa di isi tiga sampai empat orang.
" mas merindukan kampung halamannya ya? " tiba-tiba saja dia yang baru duduk di seblahku bertanya, dia seorang wanita saya tahu dari suaranya. Dan dia seperti mampu membaca pikiranku dengan mengajukan pertanyaan itu.
" iya mbak. Kok mbak bisa tahu. " aku menoleh padanya, dan benar dia wanita. Dan wajahnya yang agak kuragukan pernah aku temuai dan mengenalnya.
" oh.... Tahu saja mas, soalnya mas tadi bilang. Kalau mas bukan asli dari Kota ini. " dia menjawab agak berpikir dan tersenyum agak ragu.
" maksud mbak? "
" iya mas. Saya tadi yang mengambil tempat mas di antrian. " saya mencoba merenung wajahnya. Lalu dia membuyarkannya dan melanjutkan kata-katanya.
" saya minta maaf soal itu mas. Tadi itu sangat panas dan saya sangat kegerahan. Jadi saya menerobos saja tampa berpikir panjang. Maaf ya, mas! "
" oh iya.. Aku baru sadar itu mbak. Tidak apa-apa mbak! Sebenarnya, saya juga punya pemikiran seperti itu tadi. Hanya saja saya tidak punya keberanian seperti mbak untuk melakukannya. Hehehe.."
Dia terlihat tersenyum lagi dengan kelegaan.
" oh iya mas. Mas ini dari kota mana di jawa? Maksud saya, apakah kota mas dekat dengan jakarta. Atau mas dari jakarta?"
" tidak! Maksud saya, saya bukan orang jawa dan kota kelahiran saya jauh dari jakarta."
" tapi, setahu saya. Cuman orang jawa saja yang panggil mas atau mbak ke pada orang lain. Maksud saya begini mas. Saya punya langganan penjual bakso keliling di kompleks perumahan yang saya tiggali dan dia bilang, kalau cuman orang jawa saja yang memakai kata mas dan mbak untuk panggilan. Dan di telivisi juga, saya sering melihat orang-orang di jakarta memakainya. Dan mas tadi memakainya untuk menegur saya." ekspresi wajahnya menggambarkan ketidak percayaan dirinya terhadap apa yang di sampaikannya sendiri.
" hehehe. Iya betul mbak. Tadi saya hanya agak ragu ingin menegur mbak dengan cara apa. Soalnya saya tidak tahu mbak dari mana. Lagipula itu adalah salah satu kata umum yang di pakai orang indonesia untuk menegur orang yang tidak di kenalnya. Saya juga tahunya dari acara televisi, seperti yang mbak tadi katakan. Dan kalau saya ingin memanggil mbak dengan cara saya sendiri. Maka saya akan memanggil mbak " bli" karena saya pikir mbak itu laki-laki tadinya. Hehehe. "
" hehehe. Jadi, dengan panggilan seperti itu mas.. Orang bali? "
" iya mbak, saya orang bali. Bali tulen. Hehehe" sedikit berlogat bali.
" wow. Bali adalah pulau idaman untuk berlibur. Saya pikir asal mas dekat dengan jakarta. Hemmm.. "
" iya mbak.. Tapi, ada apa di dengan jakarta? Maksud saya, kenapa mbak tertarik sekali dengan Jakarta? "
" tidak ada apa-apa mas. Cuman ingin merasakan tinggal di Ibu Kota saja."
"ohh.. Tapi, tidak jauh beda kok mbak dengan Makssar. Di sana juga hanya ada bangunan dan polusi. Saya beberapa kali kesana. Tapi, setelah datang di kota ini. Saya pikir lebih baik Kota Makassar dari Ibu kota Jakarta. Di sini masih banyak tempat nyaman dan alami seperti tempat ini. Sedang di sana, hampir semuanya di cemari dengan pembangunan yang tidak ramah terhadap lingkungan alaminya."
" hmm. Mas ini enak pernah kesana. Jadi, bisa bilang seperti itu. Bagi saya, jakarta adalah peluang dan gerbang menuju impian saya mas." dia mengatakannya penuh dengan pengharapan dan kesungguhan hati.
" tett.. Tett.." tiba-tiba teleponku berbunyi. Dan itu sebuah panggilan sepertinya.
" iya. Halo Bu. " ternyata ibuku telah mengkhawatirkanku. Maklumlah kami baru pindah ke kota ini. karena setahu saya, Ibu tidak pernah sekhawatir ini saat di Bali dulu, meski aku keluar dari rumah cukup lama.
" iya Bu. Iya, saya pulang sekarang." saya menutup panggilan itu. Tampa menyadari, wanita di seblahku juga, baru saja selesai menutup panggilan teleponnya dari seseorang.
" oh iya mas. Saya pergi dulu. "
" iya mbak." saya mempersilahkannya dengan iringan seyum.
Diasaat sendiri ini. Kenangan seperti berlarian mendatangiku. Terlalu banyak pertanyaan yang membebani pikiranku. Seperti, jika seseorang masih memiliki cinta, lalu mengapa harus memintanya menjauh? Atau cinta sudah menhilang? Entahlah, tentang rasa selalu rumit. Hanya saja, jika cinta hanya sekedar bias dari keberadaan hati. Yang mampu pudar lalu menghilang. Maka, banyak orang yang telah menipu dirinya, menipu pasangannya dengan ungkapan CINTA yang ikhlas serta tulus. Ada berapa banyak pasangan yang bertahan dengan ungkapan cinta yang abadi. Benarkah, semua itu hanya di dasari oleh ketakutan untuk hidup dalam kesendirian yang menghadirkan kesepian. Mereka benar-benar tidak saling mencintai. Hanya ingin bertahan hidup. Hanya sekedar refleksi mempertahankan dirinya sendiri. Benarakah itu? Bahwa cinta hanya manik-manik penghias hati semata. Karena hati, tidak percaya diri untuk menegaskan keberadaan dirinya yang apa adanya. Yang hanya sekedar entitas yang terkadang sangat membosankan.
Mencari cinta adalah bagian menghias hati. Dekorasi yang lengkap dengan rasa-rasa yang mampu di terjemahkannya. Menariknya, hati terkadang tak mampu menampung semuanya. Meski sangat di butuhkannya. Mungkin, tidak semuanya mampu di terjemahkannya. Seperti saya yang tidak mampu memahami kekasih yang memutuskan pergi. " Harus pergi" menurutnya.