"Saat kau katan untuk memilih dia menjadi masa depanmu. Aku putuskan untuk pergi. Menjadi lelaki yang percaya cinta, tapi seolah tak memiliki cinta. Menjadi lupa adalah tujuanku. Menjadi terasing bukan inginku, hanya saja hal itu menghantuiku. Menafikan harapan, rasanya seperti memanggang diri diatas bara api.
Aku akui, bukanlah baik jika terus-terusan menjadi budak dari rasa. Meresahkan, melelahkan, dan merusak logika. Inginku adalah membebaskan diri dari luka, dengan lupa. Aku harus memenjarakan rindu. Membuang ingin untuk bertemu. Menjadi seseorang yang suka. Salahkah itu? Aku katakan suka, karena mencintai terlalu terdengar mulia. Sedangkan aku dalam kondisi mengutuk takdir tuhan.
Apakah akhirnya, aku menjadi buruk atau baik. Jika hanya itu pilihan yang ada. Aku akan menjadi baik. Menjadi buruk, sama saja aku memperburuk keburukanku sendiri. Tapi, aku terlalu bingung untuk memilih. Menjadi serba salah, menjadi salah sendiri atau kemudian membenarkan yang salah. Bukankah sama jika, menjadi serba benar, menjadi benar sendiri dan menyalahkan kebenaran. Sama-sama menjadi berlebihan, atau hanya aku yang melebih-lebihkannya.
Banyak orang yang tidak akan menerima kekalahanya.Sama seperti aku, yang kalah dengan kekasihmu dan tak menerimanya. Tapi aku akan pergi demi kebaikanmu. Aku akan terus menjalani hidup dengan kenangan kita. Menjadi luka bukan kesalahan, sama halnya dengan menjadi cinta denganmu, maka aku akan menerima keduanya. Tapi, mampukah kekasihmu menjadi sepertiku?"
Baru saja saya turun dari panggung, setelah mewakili fakultas kedokteran untuk mempersembahkan sebuah pertunjukan seni. Saya memilih membaca sebuah narasi yang di tulis oleh seseorang yang telah membuat saya berani bermimpi tentang hidup sebagai seorang kekasih. Dia tidak akan tahu, dan tidak akan pernah tahu tentang saya membaca tulisannya di acara ulang tahun kampus ini. Dia telah pergi jauh. Bukan, dia telah kembali lagi. Karena dia yang datang sudah selayaknya akan kembali pulang. Dia yang pergi adalah dia yang pernah sepakat untuk menjadi satu dalam kebersamaan. Kami tidak pernah sepakat untuk itu. Hanya saya yang memiliki keingin itu. Keinginan untuk bersamanya dan menjadi kekasihnya.
Sudah dua tahun saya tidak berkomunikasi dengannya. Saya memiliki nomor teleponnya. Hanya saja, terlalu segan untuk menjadi orang pertama yang menghubunginya. Kata Mera, Andi sangat sibuk selama dua tahun terakhir ini. Sibuk dengan bisnis pariwisata yang di bangunnya, katanya lagi. Saya masih berkomunikasi dengan Mera, bahkan kami selalu bersama jika dia pulang kerumah orang tuanya. Kami selalu menghabiskan waktu berjalan-jalan dan jajan di kota ini. Di saat-saat seperti ini juga Mera terkadang bercerita tentang Andi sambil mengaitkan kenangan yang kami bertiga alami saat masih bersama-sama mengikuti pendaftran mahasiswa baru di Universitas tempat saya sekarang menjalani perkuliahan. Tentang mereka yang bertemu dengan cara yang cukup konyol dan saya yang begitu polos bertanya tentang hubungan mereka. Bagi Mera, saat itu saya sangat polos dengan pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Karena kami benar-benar belum saling mengenal. Namun bagi saya, pertanyaan itu sangat mengganggu di benakku. Mereka terlihat sangat akrab dan begitu dekat. Bagi seseorang yang memiliki perasaan terhadap orang lain, bukankah wajar untuk memastikan kedaan hati orang yang kita sukai tersebut. Lagi pula, saya melakukannya sangat hati-hati. Sebisa mungkin, hanya terlihat sebagai basa-basi semata.
Karena sering bertemu dan saling curhat dengan Mera. Dia juga tahu tentang perasaan saya terhadap Andi. Dia selalu membujuk saya untuk mengatakan hal itu kepada Andi. Namun selalu saya tolak, karena kami tahu tentang Andi yang kembali ke Bali untuk wanita lain, bukan saya.
Lalu selama dua tahun hanya mendengar keadaannya dari Mera. Secara kebetulan, tiga hari yang lalu. Andi menghubungi saya. Cukup lama kami bercerita. Dan seperti yang telah lalu. Dia selalu memperlakukan saya sebagai adik polosnya. Dan tentang apa yang di rasakannya selama ini. Seolah tergambar jelas pada keadaan saya selama dia pergi. Bukan, dia kembali ke Bali untuk menunggu wanita dari masa lalunya. Karena yang pergi, hanya untuk orang yang pernah berjanji bersama selamanya. Dan kami tidak pernah berjanji satu sama lainnya. Dia telah kembali untuk menunggu. Saya yang telah bertahan selama dua tahun terakhir. Akan selalu menjadi wanita yang bertahan.