Ujian masuk perguruan tinggi. Kenapa saya harus mengikuti ujian itu? Saya seharusnya sudah berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sebuah seleksi pencarian aktris, tepatnya mengikuti casting untuk sebuah film. Hari ini saya sangat kacau, biar bagaimanapun saya tidak pernah ingin menjadi seorang dokter. Saya lebih suka seni, terutama seni peran. Saya sering mengikuti pementasan seni teater di sekolahku, dan memerankan profesi dokter sudah biasa bagiku. Tapi, jika ingin menjadi dokter dalam dunia nyata, ibuku pasti sudah pikun akan keinginannya menjadikanku seorang dokter. Karena ibu sangat tahu kalau putrinya ini sangat tidak bisa jika melihat darah. Selalu saja lemas bahkan jatuh pingsan jika melihat darah. Jangankan darah orang, melihat darah binatang yang di sembeli saja, saya sudah tidak kuat.
"tok. tok. Ra... tok. tok. Ra... "
"iya bu."
"buka pintu dulu nak! "
Namaku Mera, di eja "M-E-R-A" dan huruf E-nya di baca dengan ejaan orang bule atau ejaan bahasa ingris. Kata ibuku, nama itu sangat unik. Bagiku, nama itu cukup membuat teman-temanku tertawa sesaat setelah mereka menggodaku ataupun mengejekku.
" bule dari mana neng? " atau " keturunan BULE sudah datang. "
Lalu mereka tertawa bersama, seperti itulah ke unikan dari namaku dan dampaknya yang cukup mengikis rasa percaya diriku. Tapi, itu hanya berlangsung sementara saja. Karena pada akhirnya beberapa dari mereka yang pernah mengejekku, kini menjadi teman setiaku. Sedang sebagiannya takut jika nilai mata pelajaran bahasa ingris mereka menjadi rendah, karena berani mempermainkan anak dari guru bahasa ingrisnya. Mungkin karena ibuku memiliki disiplin ilmu sastra ingris, hingga dalam pengambilan namaku harus berlandaskan disiplin ilmunya. Tapi, meski banyak hal yang membuatku jengkel akan keputusan Ibu. Saya tetaplah anaknya, dan saya tidak ingin menjadi anak durhaka, lagipula saya lebih menyayangi Ibu lebih dari apapun. Karena, beliau bisa merawatku dan membesarkanku meski ayah telah meninggal dunia di saat umurku baru lima tahun.
"kamu sudah siap? "
Ibu menyakan kesiapanku untuk mengikuti ujian, ketika dia berada dalam kamarku.
" tunggu dulu bu." jawabku agak memelas.
" kamu belum mandi? "
"belum bu, saya kan baru saja bangun! "
" aduhh, dasar anak malas. Mau jadi apa kamu, kalau begini terus."
" ingin jadi aktris bu."
Mencoba mempertahankan diriku dari omelan ibu.
" dasar anak nakal."
Ibu mencubit telingaku.
" aduh.. aduh.. iiihh, sakit bu. " Berusa melepaskan cubitan ibu.
" sudah tahu sakit. Jangan buat ibu marah lagi dan jangan bicara soal menjadi aktris lagi. sekarang kamu mandi, setelah itu sarapan. Ibu menunggu kamu di teras! "
" baik bu."
Lalu ibu meninggalkanku sendiri di kamar dengan kekecawaan yang mendalam. Saya tahu, menjadi dokter adalah mimpi ibu dan jika mampu mencapainya, sudah pasti ibu akan bahagia. Tapi, saya juga punya mimpiku sendiri, menjadi Aktris. Dan berperan dalam sebuah film. Dari kecil lagi, saya sangat suka dengan film, sangat kagum dengan kemampuan aktris dan aktor yang memerankan tokoh-tokoh fiksi dalam film-film itu. Mereka sangat natural dan alami, serta sangat profesional. Keindahan seni peran berada pada kemampuan seorang aktris dan aktornya dalam mengepresikan dirinya dalam bentuk yang lain atau dalam cara pandang orang lain/tokoh fiksinya.
Saya sudah berada di dalam antrian. Banyak orang yang datang untuk mendaftar di Universitas yang cukup terkenal dengan prestasinya mencetak alumni yang sangat konpetitif dan cerdas-cerdas. Sebut saja Jusuf Kalla dan Abraham Samad yang mampu menjadi tokoh-tokoh nasional yang cukup berpengaruh dalam pembangunan negara ini, dan masih banyak yang lainnya. Menjadi Universitas yang memiliki gensi tinggi, sehingga membuat para pencari ilmu berlomba-lomba untuk mendaftar. Meski berdesak-desakan di antrian dan peluang di terimanya mereka menjadi mahasiswa di Universitas Hasanudin ini. Mereka tidak peduli dengan panas yang menguras keringat, mereka tak ragu untuk melanjutkan niatannya, mendaftarkan diri kemudian berkuliah di Universitas favorit ini. Beberapa di antara mereka di penuhi keraguan dan ketegangan di wajahnya. Harapan mereka untuk di terima. Hingga kelak mereka mampu bersaing untuk mendapatkan sebuah pekerjaan, status sosial, gengsi dan masa depan yang cemerlang. Harapan yang logis, jika berada di "Era Moderen Kapitalis" ini. Bukan hanya skil dan pengetahuan yang dimiliki,, melainkan pengakuan secara hukum dan citra diri dalam sistem sosial sangat mempengaruhi kehidupan mereka kelak. Mereka ingin Ijazah sebagai pengakuan hukum dan gelar sebagai pendongkrak citra dalam statuta sosial masyarakat. Jika hal itu, memberiku peluang untuk mampu menjadi aktris. Mungkin saya akan sangat bersemangat hari ini. Dalam seni peran, yang di butuhkan hanya skil atau kemampuan memerankan pribadi-pribadi yang berbeda dengan diri pemerannya. Jika ingin lebih dari menjadi aktris? Atau menjadi populer. Mungkin, saya butuh itu semua untuk mendongkrak popularitas. Dengan sedikit drama serta politik pencintraan pastinya. Menjadi populer, bukan inginku. Menjadi seorang aktris, itulah mimpiku.