Selepas sholat subuh, Artha tidak langsung keluar dari kamarnya, di atas kasurnya ia memilih bermain game di ponselnya. Sekaligus menunggu Anya mengetuk pintu kamarnya menawarkan sarapan pagi. Tidak biasanya sepagi ini perut Artha sudah merasa keroncongan.
Lamat-lamat terdengar suara aneh dari luar. Artha menajamkan pendengarannya. Seperti ada suara langkah kaki kuda yang berjalan di luar. Ia segera bangkit dari kasurnya dan membuka dua daun jendela kamarnya lebar-lebar. Seketika hembusan udara dingin pagi Takengon langsung menerpa wajahnya.
Sedetik kemudian Artha terperangah nyaris tak percaya dengan pemandangan pagi berkabut dari jendela kamarnya. Ia melihat Anya menunggang kuda besar berwarna hitam sedang menatapnya dengan wajah geli. Artha yang kedua tangannya masih belum lepas dari daun jendela seketika tersadar.
Anya pagi itu, tidak mengenakan jilbab yang seperti ia kenakan kemarin. Tetapi hanya mengenakan kain hitam bermotif etnik yang sepertinya khas Gayo untuk sekedar menutupi sebagian rambutnya sekaligus untuk menjaganya dari udara dingin.
"Ooi! Ngapain di dalam kamar terus? Ayok olah raga pagi!" Serunya lantang sambil menahan tali kekang, mengendalikan kudanya yang mulai tidak sabar ingin berlari.
"Maksud lo? Lo naik kuda terus gue lari-lari di belakang lo kayak jongos?"
Anya tertawa geli mendengar tuduhan Artha.
"Pake kuda juga dong Tha. Lo bisa kan naik kuda?" Nada suara Anya terdengar meremehkan di ujung kalimatnya.
"Huh, sombong!" Artha beralih dari jendela. Mengambil jaketnya lalu keluar menyusul Anya.
"Naik kuda tuh gampang. Mana kuda buat gue?" Artha menghampiri Anya yang menjulang tinggi di atas kuda hitamnya yang gagah.
"Yakin bisa?" Anya menyeringai lalu mengarahkan kudanya mendekati seorang pria Gayo setengah baya dengan kuda merah yang tampak lebih kecil dari kuda Anya.
"Pak, pinjam kudanya buat kawan aku," Anya berseru meminta dan langsung dijawab dengan anggukan pria bertubuh kurus itu yang merupakan salah satu pekerja Ayahnya.
"Beuh! Kok kudanya lebih kecil dari kuda lo?" Artha tidak terima. Harga dirinya bagai jatuh lalu diinjak-injak kuda.
Anya tergelak keras. Membuat beberapa helai rambutnya mampir di wajah tanpa make-up-nya.
"Jangan remehin si Thunder. Kecil-kecil gitu sering juara di pacuan kuda Takengon." Anya menjelaskan kelebihan kuda merah yang disodorkan untuk Artha tunggangi.
Artha menatap wajah kuda merah bernama Thunder itu dengan sangsi. Kuda itu bahkan tampak lemah dibandingkan kuda hitam besar yang Anya tunggangi sekarang.
Seolah memiliki kontak batin,si Thunder melihat ke arah Artha sambil meringkik memamerkan gigi geligi besarnya.
"Tolong bantu kawan aku naik, pak. Pegangi jangan sampe jatuh," Anya mencibir sekaligus menghela kudanya pelan, meninggalkan Artha dengan si Thunder.
Gengsi karena tak ingin diremehkan, Artha lalu naik ke punggung Thunder meski harus dengan susah payah. Sejujurnya terakhir kali ia naik kuda adalah ketika ia masih duduk di bangku SD, itu pun kuda poni di obyek wisata Tangkuban Perahu Bandung.
Begitu berhasil naik di atas punggung si Thunder, Artha kembali bingung. Apalagi yang harus ia lakukan pada si Thunder? Langsung menarik tali kekangnya atau memukul pantatnya agar si Thunder berjalan. Itu pun Artha merasa tidak yakin. Apalagi lelaki tua Gayo yang masih memegang tali kekang di rahang si Thunder pun tidak berkata apa-apa. Menunggu reaksi Artha yang tampak canggung dan kebingungan.
Dalam kegalauannya, kedua mata Artha mendadak berbinar-binar, menangkap penampakan motor trail terparkir di dekat taman villa. Artha urung naik kuda. Kalau untuk skill naik kuda, Artha jelas kalah telak. Tapi lain soal kalau motor trail. Artha ahlinya.
"Pak, boleh pinjam motornya?"
"Boleh." Pria Gayo itu merogoh saku celananya, memberikan kunci motor pada Artha tanpa keberatan sedikit pun.
"Makasih, Pak." Artha bergegas menyalakan mesin motornya dengan semangat tinggi karena akan mengejar Anya.
Mengetahui Artha mengejarnya dengan motor trail, adrenalin Anya meningkat tajam. Ia pun memacu kudanya lebih kencang menyusuri jalanan Takengon menuju arah danau. Hingga kain yang dikenakan Anya melorot dari kepalanya dan melambai-lambai bagai spanduk seiring dengan kecepatan kudanya.
"LO NGGAK AKAN BISA KALAHIN GUE, THA!!!" Anya berteriak sembari tertawa lepas. Membuat nafas yang dipasok ke paru-parunya seolah menipis.
"LIHAT SAJA NANTI!!!" balas Artha tidak mau kalah. Motornya ia pacu sekencang mungkin berusaha menyamai kuda Anya yang seolah melesat bagai anak panah.
Kejar-kejaran berbeda jenis tunggangan begitu sengit dan seru. Keduanya tidak ada yang mau saling mengalah. Jika Artha hampir mendahului kudanya, maka Anya akan semakin kencang memaju kudanya. Begitu juga sebaliknya dengan Artha. Ketika danau laut tawar mulai tampak di depan mata, keduanya makin menggila.
"YANG KALAH TRAKTIR MAKAN SIANG SEBULAN!!!" Artha melontarkan tantangan dengan lantang, karena ia yakin akan menang. Membuat Anya lebih kencang memacu kudanya.
"LIHAT SAJA!!!" balas Anya sengit.
"Faster King, Faster! Jangan sampe gue kalah!!!" Anya berteriak pada kudanya dan ia melesat hingga tak terkejar.
Setelah persaingan yang begitu sengit dan menegangkan, akhirnya Anya menang. Anya tiba di tepi danau lebih dulu. Tawa lepas kemenangannya menguar ke udara.
"SORRY YA GUE YANG MENANG!!!" Anya berseru lantang dengan senang sambil menarik tali kekang untuk memutar kudanya ke belakang. Seratus meter dari tempatnya berada, tubuh Artha sudah terlentang dengan motor trail yang juga rebahan di dekatnya.
Anya terperangah kaget. Artha tampak terkapar tak berdaya. Anya kembali memacu kudanya dengan mimik muka khawatir. Menuju ke tempat Artha berada.
Artha pingsan, Terkapar di atas hamparan rumput. Anya panik luar biasa, mengingat Artha tidak mengenakan helm. Takut Artha gegar otak. Anya langsung melompat turun dengan sigap dari kudanya untuk menolong.
"Thaaa! Arthaaa!" Anya berlutut di samping Artha sambil menepuk-nepuk pipi Artha. "Haduuuuh...jangan bikin gue takut, Tha! Please wake up..."
Cukup lama Anya berusaha menyadarkan Artha dengan wajah yang menunduk begitu dekat dengan wajah Artha. Ia benar-benar khawatir dengan kondisi Artha yang tak sadarkan diri. Saking kalutnya, airmata Anya bahkan sudah mulai menggenang di pelupuk matanya.
Tapi kemudian tangan Artha tiba-tiba bergerak menahan tangan Anya yang terus saja menepuk pipinya. Anya langsung lega namun dengan cepat berubah menjadi kesal karena Artha tiba-tiba tertawa geli. Membuat Anya yakin Artha tadi hanya pura-pura pingsan.
Meski berpura-pura pingsan, Artha tadi memang benar-benar jatuh hingga terpelanting. Tapi saat melihat Anya kembali ia memutuskan sedikit mengerjai Anya.
"Dasar biawak!" Anya mencak-mencak mengibaskan tangan Artha dan langsung berdiri begitu saja.
"Aduuuuh...tapi gue beneran sakit nih, Nyak." Artha meringis mengusap pinggangnya lalu beralih memperlihatkan kedua telapak tangannya yang lecet-lecet.
"Jangan bohongi gue lagi. Udah nggak mempan buat gue. Ayo bangun!" Anya berkacak pinggang.
"Gue serius, Anyak! Badan gue beneran sakit." Artha malah terus saja berbaring di atas rumput bahkan tampak menikmatinya. Menatap hamparan langit biru disertai hembusan angin sejuk yang menerpa kulit wajahnya.
Melihat Artha yang meringis kesakitan dan tampak tidak sedang berpura-pura lagi, Anya kembali jongkok di samping Artha.
"Kok bisa sampe jatuh sih?!" tanyanya di sela-sela rasa kesalnya namun masih panik.
Demi seluruh penghuni Ragunan, baru kali ini Artha sungguh senang melihat wajah Anya yang tadi panik luar biasa, dan jujur lebih menggemaskan dari pada wajahnya saat marah-marah.
"Valentino Rossi aja bisa jatuh berkali-kali, masa gue nggak boleh?" jawab Artha, masih terbaring sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"Kalah deh gue..." tambahnya sambil meringis malu.
"Lo bisa bangun sendiri kan?" Anya berdiri.
"Nggak bisa." Artha meringis nyeri sambil mengulurkan tangannya minta Anya menariknya bangun.
"Lo belum jawab, kenapa tadi bisa sampe jatuh?" Anya mengulangi lagi pertanyaannya. Benar-benar penasaran mengapa Artha bisa sampai jatuh dari motor.
Artha tidak bisa menjawab pertanyaan Anya yang satu itu. Haruskah ia jawab bahwa Artha kehilangan kendali atas motornya gara-gara terhipnotis dengan kibaran rambut panjang ikal Anya? Yang keindahannya mengalahkan bidadari yang lagi keramas di kali. Akibatnya, tiga detik kemudian ia jatuh terpelanting dari motornya karena kehilangan keseimbangan.
"Tha? Lo nggak merasa keseleo kan atau merasakan ada tulang lo yang geser?" Anya mengulurkan tangannya, menarik tangan Artha hingga lelaki itu bangkit.
"Raden Bagus Arthayaksa itu sebelas dua belas sama Gatotkaca. Nggak akan selemah itu," kelakarnya sambil menepuk dada membuat Anya gemas hingga memutar bola matanya ke atas.
"Fix...gue tahu. Ternyata otak lo yang geser." Anya menuding jidat Artha.
"Dan gue menang." Anya tertawa jahat.
"Well...apa boleh buat. Lo menang dan gue harus bayar kekalahan gue."
"Makanya jangan sok-sokan nantang gue." Anya menyelipkan sejumput rambut ikalnya di belakang telinganya.
Kain hitam bermotif yang dikenakannya sudah melorot dan menampakan sebagian besar rambutnya. Memancing tangan Artha naik untuk memperbaiki letak kain hingga mengerudungi kepala Anya sepenuhnya.
Artha baru sadar Anya ternyata hanya mengenakan gaun tidur putih gading semata kaki di balik kainnya. Gaun tidur yang terlihat sangat kuno jika dipakai di jaman sekarang ini. Mengingatkan Artha akan tokoh 'ibu' di film Pengabdi Setan.
Sisirin ibu Artha...
Artha tidak menyangka, Anya yang katanya suka pakai lingerie seksi setiap tidur ternyata bisa juga mengenakan gaun tidur seanggun ini.
Merasakan tingkah Artha yang tak biasanya membuat Anya merasa pipinya memanas. Anya merasa tatapan mata Artha seolah sedang menilai dirinya dari ujung rambut sampai ujung kakinya yang dibalut sepatu boots. Tapi ia memilih tidak menampakan reaksinya. Berusaha bersikap biasa saja, karena Anya tahu Artha akan besar kepala jika melihat perempuan yang jadi 'baper' gara-gara ulahnya.
Kedua tangan Artha tiba-tiba bergerak lagi memperbaiki letak kain Anya di kepala, bertahan beberapa detik di sana dan menatap Anya dengan tatapan tak terbaca. Membuat jantung Anya tiba-tiba berdebar keras.
"Jangan sampai melorot lagi. Gue takut lo ditangkap gara-gara nggak pakai jilbab," katanya sebelum melepaskan tangannya. Membuat Anya kian canggung dengan perlakuan Artha yang manis padanya.
Artha lalu mendekati motornya yang tergeletak dengan tertatih-tatih. Hendak memeriksa motornya.
"Waduh...rusak nggak ya?" Artha memeriksa beberapa bagian motornya. "Pak siapa tadi namanya? Yang punya motor ini?"
"Pak Asrul, pekerja bokap," sahut Anya. "Tapi ini motor bukan milik dia."
"Terus milik siapa?" Artha bertanya sambil berusaha menghidupkan motornya.
"Punya bokap gue," sahut Anya sambil meringis prihatin.
Artha terperangah. Terkejut dengan fakta yang diberikan Anya.
"Mampus!" Artha menepuk jidat. Bertambah sudah satu alasan Ayah Anya untuk tidak menyukai dirinya.
"Kalo gara-gara motornya rusak, terus bokap lo makin nggak mau nerima gue gimana?" Artha pasang wajah galau karena motornya belum mau hidup juga!
"Gue nggak tau, Tha. Berdoa aja yang banyak." Anya menepuk bahu Artha dengan raut wajah yang ia buat sekhawatir mungkin di depannya. "Bokap gue suka banget menembak apa aja kalo lagi marah."