"Alhamdulillaaaaaah....!" Ucapan syukur Artha begitu berhasil menghidupkan motor Ayah Anya yang sempat mogok. Setelah beberapa kali percobaan yang menguras emosi, akhirnya Artha dapat terhindar dari kemurkaan Tuan Takur alias Ayah Anya.
Sesudahnya Artha baru menyadari Anya tidak berada di dekatnya melainkan sudah berada di tepi danau. Berdiri bersebelahan dengan kuda hitamnya. Artha menatap takjub ke arah danau laut tawar yang masih diselubungi kabut tipis.
"Indahnya..." Artha berdecak kagum pada keindahan di depannya. Cuma Allah yang bisa menciptakan pemandangan seindah ini. Tidak perlu berburu view cantik hingga ke New Zealand. Takengon, Aceh Tengah ternyata memilikinya.
Termasuk keindahan seorang wanita berselubung kain etnik hitam khas Gayo yang berdiri di depan danau. Anya dan punggungnya. Berdiri tak bergeming bagai patung. Hanya rambutnya saja dan ujung gaunnya yang berkibar-kibar dipermainkan angin.
Artha menaiki motornya menyusul Anya ke tepian danau. Perempuan itu tampak terpaku ke arah danau. Artha diam-diam mengabadikan sosok itu dengan kamera ponselnya.
"Indah ya..." Artha berdiri di samping Anya. Melipat kedua tangannya di dada untuk meredakan rasa dingin di tubuhnya.
"Hmm..." Hanya itu yang keluar dari tenggorokan Anya tanpa sedikit pun membuka bibirnya. Matanya menerawang jauh ke depan, ke hamparan danau yang airnya kebiru-biruan dan dikelilingi pemandangan perbukitan yang hijau dan menawan.
Artha menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Menikmati segarnya udara Takengon. Melirik Anya lagi yang masih tetap membisu. Tadi tertawa lepas sekarang murung.
"Hei...Jangan melamun. Nanti diculik hantu penunggu danau." Artha mencoba menggoda Anya sambil menarik sedikit kain Anya. Berusaha mengajak Anya bercanda dan menanti respon Anya yang biasanya akan ia tuai.
Sa ae lo kutu beras...kutu firaun...biawak gila…
Tapi kali ini responnya malah berbeda dengan harapan Artha. Keceriaan Anya seolah lenyap ditelan tempat ini. Dari gurat wajahnya, Artha seolah dapat melihat ada suatu kesedihan yang terpendam pada diri Anya.
"Ayo kita pulang ke villa," Anya akhirnya berbicara tanpa menatap Artha sambil menarik tali kekang kudanya.
"Hei...gue baru sebentar di sini. Belum puas Nyak. Belum foto-foto." Artha protes sambil mengacungkan ponselnya.
"Sini hape lo. Gue fotoin lo sekarang." Anya mengulurkan telapak tangannya.
"Kita foto selfie aja gimana?"
"Ok. Bertiga ya sama kuda."
"Yaelaaaah....Kenapa harus ada pihak ketiga di antara kita sih Nyak?!"
Mendengar protes Artha, bibir Anya mengembang. Akhirnya Artha dapat melihat kembali tawa manis itu.
"Tega amat lo ama King." Anya mengusap wajah kudanya dengan lembut dan penuh kasih. Menerbitkan rasa iri pada diri Artha yang kemudian tersadar bahwa tidak seharusnya ia merasa cemburu pada seekor kuda.
Artha mengangkat kameranya ke atas dengan tangannya yang panjang. Selfie dengan latar belakang danau laut tawar. Bertiga dengan seekor kuda di tengah-tengah mereka berdua. Kuda sadar kamera yang langsung meringkik memamerkan deretan gigi besarnya ke arah kamera. Mengalahkan senyum lebar Artha.
"Sa ae lo kuda." Artha berdecak kagum menatap hasil jepretannya. Ia dan sang kuda tampak kompak tersenyum lebar bagai saudara kembar beda spesies, sementara Anya tampak tidak tersenyum sedikit pun.
"Senyum lo jatuh di dalam danau ya?" pertanyaan Artha yang tiba-tiba terlontar membuat Anya bingung.
"Mana bisa senyum jatuh ke danau? Emangnya semacam benda?" Anya menimpali dengan wajah geli.
"Kalo gitu kenapa tadi nggak ikutan senyum? Ayo kita ulang lagi." Artha menarik Anya mendekat dan merangkul bahunya dengan erat. Mengarahkan lagi kamera ponselnya ke arah mereka berdua. Kali ini tanpa si kuda.
"Ayo bilang Waikiki, Hawaii, Baliiii…"
Dan kali ini Artha puas. Anya tampak tersenyum dalam jepretannya yang terakhir.
Setelahnya Anya kembali menaiki pelana kudanya. Tanpa menunggu Artha yang sibuk menyalakan mesin motor, ia menghela kudanya. "Hiyaaa…."
Melihat Anya yang mendahuluinya, Artha sedikit panik hingga berseru, "Tungguin gue Nyaaaak! Gue takut nyasar!"
***
Saat tiba di villa, tampak Ayah Anya sedang duduk-duduk di teras sambil minum kopi dan membaca koran. Ditemani dua bocah yang kemarin, Hanan dan Fatih yang asyik bermain lego di lantai teras. Sedangkan wanita cantik yang kemarin, muncul dari dalam rumah dengan sepiring makanan yang tidak Artha tahu namanya. Makanan itu dibungkus daun pisang mirip lemper di Jawa.
Jika Anya memilih langsung ke belakang villa menuju kandang kuda untuk mengembalikan King, Artha memilih menghampiri bapak Abdullah Saleh, ayahnya Anya.
"Pagi pak." Artha menyapa dan hanya dijawab dengan dehaman. Artha sungguh heran dengan bapak dan anak yang ternyata sama saja gayanya. Selalu membuat suasana menjadi canggung.
"Saya boleh duduk bersama bapak di sini?" Artha memberanikan diri mengambil tempat di sebelah kursi ayah Anya.
"Silahkan," jawabnya sambil menyesap secangkir kopi hitam pekat. Tak lama kemudian ia memanggil istrinya.
"Dek...bikinkan kopi satu lagi," pinta ayah Anya kemudian yang dibalas dengan anggukan cantik. Cantik sekali mamak tiri Anya ini. Andai belum menikah pasti Artha sudah tidak tenang dari kemarin.
Pak Abdullah Saleh mengangkat korannya lagi, menutupi wajahnya. Lalu suasana menjadi hening. Lebih hening dari kuburan. Artha selalu benci situasi seperti ini. Masa calon mantu ganteng yang gantengnya sekecamatan Ciheulang diacuhkan seperti ini.
Iseng-iseng Artha mengunggah foto selfie-nya bersama Anya di social media. Menunggu ayah Anya selesai baca koran lalu mengajaknya mengobrol.
Ada sekitar lima belas menit Artha dibiarkan begitu saja menonton pak Abdullah Saleh yang lebih memilih membaca koran ketimbang mengajak tamunya mengobrol. Padahal untuk menghargai tuan rumah, Artha sengaja tidak banyak berinteraksi dengan ponselnya. Mengabaikan beberapa notifikasi teman-temannya yang ramai mengomentari foto dirinya bertiga dengan kuda dan Anya yang barusan ia unggah. Tapi tidak sebaliknya dengan ayahnya Anya. Membaca koran dianggap lebih menarik dari pada membaca masa depan tamunya, pemuda yang merasa ganteng yang sedang duduk tegang di sampingnya.
Tidak tahan diacuhkan, Artha akhirnya berinisiatif membuka obrolan. Lebih baik nekat dari pada diacuhkan. Lebih baik ia yang memulai dahulu. Ia sudah biasa melakukannya dengan siapa saja dalam pekerjaannya.
"Tadi saya dan Cut pergi ke danau laut tawar, Pak. Anya naik kuda dan saya meminjam motor bapak. Jadi sebelumnya mohon maaf pak, kalau saya tadi tidak minta ijin dahulu..."
Kali ini cerita Artha berhasil membuat pak Abdullah Saleh menurunkan korannya. Menatap Artha dengan mata terbelalak tidak percaya. Artha mengira ayah Anya bakal murka mendengar pengakuan dosanya. Apalagi kalau sampai tahu motornya habis jatuh. Bisa-bisa Artha pulang tinggal nama.
"Cut naik kuda?" Pak Abdullah Saleh menyahut kaget. Artha pun tak kalah kaget. Pak Abdullah Saleh sama sekali tidak menyinggung soal motor yang Artha pinjam.
"Iya pak." Artha akhirnya dapat menghela nafas dengan lega.
"Kuda yang mana?"
"Yang hitam."
"Oo si King."
"Betul pak. Si King." Yang garangnya sama kayak bapak, batin Artha.
"Cut bisa mengendalikannya?"
"Sangat lihai pak." Artha mengacungkan jempolnya.
Pak Abdullah Saleh melipat korannya.
"Si King itu baru aku beli bulan lalu. Belum jinak-jinak amat. Kuda ras Eropa itu masih galak sebenarnya. Nggak ada yang berani naikin. Jadi aku kaget kali Cut bisa menaklukannya dalam hitungan jam."
Luar biasa. Diam-diam Artha kagum dan bertanya-tanya mengapa Anya tidak menjadi atlet berkuda profesional saja?
"Benar-benar nggak sangka kemampuannya ternyata masih ada."
"Kemampuan apa pak?"
"Menjinakan kuda."
Artha tercengang heran mendengarnya.
"Sejak kecil, Cut sudah pandai berkuda. Setelah lama di rantau pun ternyata tidak membuat Cut hilang kemampuan." Pak Abdullah Saleh tampak bangga menceritakannya. "Dahulu sejak usianya sepuluh tahun hingga tujuh belas tahun, Cut sering kali dapat piala kejuaraan tingkat daerah."
"Waaah…" Artha tercengang.
"Sayangnya lepas lulus SMA, Cut lebih senang pergi kuliah di Jakarta. Nggak mau lanjut lagi berkuda." Pak Abdullah Saleh menghela nafas panjang, seolah Anya telah menyia-nyiakan potensi besarnya selama ini.
Artha masih terkagum-kagum mendengar cerita tentang Anya yang selama ini tak pernah ia dengar. Berani taruhan, Amor sebagai sahabatnya pun belum tentu telah mengetahui kehebatan Anya yang satu ini.
Ternyata selain Anya jago berdandan dan jago masak, Anya ternyata juga jago menjinakan kuda. Fix, Anya keren. Benar-benar calon istri idaman.
Anya kemudian muncul di tengah-tengah mereka. Masih dengan gaun tidur kunonya dan kain hitam tebal yang masih membalut bahunya. Membuat ayahnya shock begitu melihatnya. Mungkin ayahnya sudah pernah nonton film horor itu, Pengabdi Setan. Wajahnya sampai kaget begitu. Artha yakin karena itu.
"Cut?"
"Mirip kali ya yah Cut sama mamak?" Cut tersenyum sambil mengibaskan rambut ikalnya panjangnya ke belakang menjawab ekspresi terkejut sang Ayah. Anya tahu ayahnya pasti terkejut karena melihat ia mengenakan gaun tidur peninggalan almarhumah ibunya.
Kalau menurut Artha, yang penting Anya jangan pakai baju itu pas tengah malam di tengah jalan. Anya bakal disangka kuntilanak. Tapi Anya memang makin cantik mengenakan gaun tidur itu, Artha saja sempat terpesona meski sempat merasa merinding setelah mengetahui gaun tidur itu milik almarhumah ibunya.
"Iya...Cut mirip kali dengan mamak Cut," pak Abdullah Saleh berkata lirih namun bernada pilu.
Wanita cantik yang juga ibu tiri Anya lalu keluar membawa secangkir kopi untuk Artha dan sama terkejutnya seperti ayah Anya.
"Tapi lebih cantik mamak Cut lah. Iya kan Yah?" ujar Anya sengaja mengeraskan suaranya namun enggan menatap wajah ibu tirinya.
Pak Abdullah Saleh mengangguk sambil menjawab, "iya Cut benar."
Artha menangkap raut wajah sendu milik ibu tiri Anya saat meletakan cangkir kopi di meja. Pasti akibat kata-kata Anya barusan yang sepertinya memang sengaja diperuntukan untuk menyindir ibu tirinya.
"Terima kasih," ucap Artha sambil memperhatikan raut wajah istri Pak Abdullah Saleh yang tampak murung.
Wanita itu hanya mengangguk lalu berlalu dengan cepat.
Artha kembali melirik ponselnya yang dipenuhi belasan notifikasi. Salah satunya dari Amor yang mengomentari foto selfie-nya bersama Anya.
Amor: Ciyeee....mesranya. Jangan sampai lupa daratan apalagi lupa pulang!
Artha mengetik balasan singkat.
Artha: Sumpah gue betah di sini!
Menyusul komentar suami Amor yang masuk.
Jovan: Jangan lupa oleh-olehnya. Kopi Gayo.
Artha: Siap bos!
Sampai di mana tadi? Artha sampai melewatkan Anya yang masih ceriwis mengobrol dengan ayahnya.
Obrolan manja Anya kemudian ditikung oleh Hanan yang tiba-tiba mendekati ayahnya.
"Yah, mamak bilang...sarapannya sudah siap. Kak Cut dan Om Artha ayok sarapan."
Pak Abdullah Saleh melirik Anya, "diajak sarapan tuh sama adik kamu."
"Ayah duluan. Cut mau ngobrol sama Artha," sahut Anya malas-malasan.
Pak Abdullah Saleh menghela nafas. Tampak memahami apa yang Cut lakukan. Anak gadis satu-satunya itu selalu bersikap angkuh jika berhubungan dengan Rahma, ibu tirinya.
"Cut...dah lama kita nggak sarapan sama-sama. Ayo, Rahma dah masak makanan kesukaan Cut juga." Ayah Cut mengulangi ajakannya sambil masuk ke dalam menggandeng Hanan.
"Ayoklah Cut, sarapan." Artha ikut-ikutan menirukan nada suara pak Abdullah Saleh dan dibalas dengan pelototan mata Anya.
"Males gue." Anya meruncingkan bibirnya.
"Ayooook." Artha yang tidak menyerah, menarik Anya paksa agar bangun dari kursinya dan menggandengnya masuk ke dalam rumah.
"Lo jangan ambil kesempatan dalam kesempitan ya!"
"Pengen bokap lo tahu kalo anaknya sedang berbohong?" Artha makin mengeratkan jemarinya yang bertaut di jemari tangan Anya yang dingin.
Anya tidak ingin Artha mengacau rencananya dan akhirnya hanya bisa mendengus kesal sembari mengikuti Artha masuk. Membiarkan lelaki itu tetap menggandeng tangannya dengan erat.