Bersama Arini, Anya yang baru datang, mengedarkan tatapannya ke segala penjuru sudut café mencari tempat kosong. Lalu mengirim chat pada Artha si manusia setengah ningrat agar segera datang menemuinya di café ini.
Bola mata jernih Anya lalu menangkap sosok penampakan teman terkutuknya, si Gerald yang tampak duduk sendirian di meja seberang. Mendadak membuatnya teringat akan desahan bersautan-sautan yang tanpa sengaja ia dengar di telepon tempo hari.
Menyadari Anya sedang memperhatikannya di meja seberang, Gerald melambaikan tangannya dengan gerakan anggun.
Anya terpaksa menarik bibirnya untuk tersenyum senatural mungkin. Sungguh sulit baginya bersikap normal sejak peristiwa itu.
"Sama siapa lo?" tanya Gerald saat ia akhirnya memilih menghampiri Anya dan Arini. Wajahnya gantengnya yang kebule-bulean dan postur tubuh tinggi atletisnya membuat Arini terpana.
"Temen sekantor gue." Anya memperkenalkan Arini.
Belum sempat Anya menyebutkan namanya, tangan Arini sudah mendahului terulur minta kenalan dengan Gerald.
"Arini," Arini menyebutkan namanya dengan tatapan terpesona.
"Gerald." Gerald menyambutnya dengan nada dan wajah biasa saja. You know why? Pesona kecantikan Arini yang level sembilan itu tidak akan mempan bagi Gerald. Anya tahu itu. Yang sanggup menggoda Gerald mungkin hanya Bambang seorang.
"Ngapain lo ngopi sendirian?" tanya Anya.
"Nunggu temen," jawab Gerald santai sambil menarik satu kursi di sebelah Arini lalu duduk. Arini tampak seolah sedang menahan nafas. Anya memperhatikannya dan menduga Arini sepertinya menyukai Gerald pada pandangan pertama.
"Oo i see..." komentar Anya sambil tersenyum simpul. Semoga bukan Bambang yang lagi Gerald tunggu. Anya mencoba untuk tidak tertawa karena lagi-lagi ia mengingat peristiwa itu. Apakah Gerald tidak menyadarinya?
"Siapa Ger? Pasti wanita seksi ya?" Anya bertanya lagi namun sebenarnya sedang bermaksud menyindir.
Gerald tertawa mendengarnya.
"Bukan. Gue nunggu si Jono," jawabnya dengan ekspresi normal.
Hah Jono? Nama pria siapa lagi itu? Kirain si Bambang. Batin Anya menutupi rasa terkejutnya.
"Ah itu dia." Gerald melambaikan tangannya pada seorang pria bertubuh kurus berpenampilan kasual yang baru masuk ke dalam café.
Sebelum Gerald mengangkat pantatnya untuk pindah, ia berkata, "Kalo ada waktu hubungi gue ya. Udah lama kita nggak clubbing bareng."
"Ok." Anya mengiyakan sambil tersenyum tipis. Sementara Arini yang tak punya kesempatan mengobrol sedikit pun dengan Gerald hanya menatap punggung pria itu berlalu meninggalkan mereka berdua untuk menghampiri Jono, temannya.
"Kaaak, temen kak Anya ganteng deh," ujar Arini dengan tatapan terpesona.
Anya tersenyum miring.
"Lo suka dia dek?"
Arini mengangguk cepat.
"Mendingan jangan," Anya buru-buru mengingatkan.
"Kenapa?"
"Dia ganteng tapi nggak bisa ngelawak," Anya beralasan. Mencoba menutupi sesuatu yang ia tahu tentang Gerald.
"Nggak apa-apa kak. Aku tetap suka." Arini menopang dagunya dengan sorot mata mendamba yang ia lemparkan pada sosok Gerald yang kini telah duduk berdua dengan Jono.
"Gue saranin jangan dek. Lo nggak masuk dalam kriterianya."
Arini tiba-tiba menatap Anya dengan tatapan curiga sekaligus heran. Bagaimana bisa dirinya yang kerap membuat banyak pria jatuh cinta tidak bisa masuk dalam kriteria pria sejenis Gerald?
"Emang seperti apa kriterianya?" Arini bertanya dengan penuh rasa ingin tahu dengan mencondongkan tubuhnya pada Anya.
"Yang berjakun," jawab Anya cepat. Sontak membuat Arini terperangah lebar dan menatapnya dengan tatapan tak percaya.
"Berjakun?" Reaksi Arini tampak lucu saat mengucapkannya. Bahkan dengan polosnya ia sampai meraba lehernya sendiri lalu berkata dengan nada sedih, "sayang aku nggak punya jakun, kak," ujarnya sedih tapi membuat Anya tertawa sejadi-jadinya karena kepolosannya.
"Dia nggak suka cewek dek. Apalagi yang secantik kamu." Anya akhirnya menerangkan sesuatu mengenai Gerald dengan lebih spesifik. Semoga kali ini Arini mengerti dan tidak berharap apa-apa tentang Gerald.
"Gay maksud kak Anya?" tukas Arini yang akhirnya paham sambil menutup bibirnya yang terperangah kaget dengan kedua tangannya. Masih belum percaya dengan apa yang ia dengar. Anya akhirnya dapat tidur dengan nyenyak.
"Iya. Lupain dia. Bentar lagi lo bakal gue kenalin sama seseorang yang pasti lo suka," ujar Anya masih wajah geli. Mengundang rasa penasaran yang baru pada diri Arini.
Anya lalu melambaikan tangan kanannya memanggil waiter.
"Vanilla latte ya mas. Less sugar." Anya memesan minuman kesukaannya. "Kalo lo pesen apa dek?" Anya beralih pada Arini yang masih tampak sedih. Arini tampak masih memikirkan Gerald dan masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang baru ia dengar dari Anya.
"Samain aja kak."
"Ok. Vanilla Latte dua ya." Anya menerangkan pada waiter di depannya yang tampak mencuri-curi pandang pada Arini.
"Baik. Ada lagi kak? Camilannya nggak sekalian kak?" Waiter itu bertanya lagi untuk memastikan.
"Udah itu aja," sahut Anya agar waiter itu segera pergi membuat pesanan mereka berdua.
Anya melirik Arini yang masih saja menatap Gerald yang kini tampak meninggalkan café bersama temannya itu.
"Sayang banget ya kak. Mana ganteng banget…." Arini menghela nafas.
Sambil menikmati secangkir vanilla latte pesanannya, Anya menggerutu di depan layar ponselnya. Artha yang mereka tunggu-tunggu belum tampak juga batang hidungnya.
"Mutant lengkuas ngaret banget deh. Buang-buang waktu gue aja."
Anya lalu menatap chatingan terakhirnya dengan Pasha satu jam yang lalu. Pria yang kini menjadi kekasihnya itu, belum menghubunginya lagi.
"Sorry ya gue telat." Artha tiba-tiba telah berdiri di depan meja mereka, tersenyum lebar. Senyum yang mendadak membuat Anya mendadak speechless tiga detik.
Artha itu tidak terlalu ganteng, menurut Anya. Tampangnya standart saja seperti pria Indonesia tulen pada umumnya. Tapi punya senyum yang manis dan punya sorot mata yang kadang jenaka kadang nakal kadang serius tapi kadang bisa menjadi misterius.
Artha mengambil tempat duduk di depan Anya dan Arini.
"Kenapa telat?" sembur Anya judes.
"Gue udah bilang sebelumnya kan? Traffic," jawabnya kalem sambil melambaikan tangan memanggil waiter yang lansung datang tergopoh-gopoh dengan semangat.
Setelah memesan ice coffee, mata Artha akhirnya benar-benar tertuju pada sosok Arini yang dari tadi memperhatikannya. Pupil matanya membesar menatap sosok cantik di depannya yang tampak menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Kenalin temen gue, Tha," Anya buka suara.
"Artha." Artha mengulurkan tangannya pada Arini.
"Arini."
Keduanya lalu saling berjabat tangan dan menempel satu sama lain cukup lama, karena Artha yang tidak kunjung melepaskan.
"Kamuh kesini terbang yah?" tanya Artha tiba-tiba dengan tangan masih menempel dan matanya yang tak kunjung berkedip karena terpesona pada Arini.
"Nggak lah. Kak Artha ngaco deh. Mana bisa aku terbang. Aku nebeng mobilnya kak Anya kok." Arini tertawa geli dengan manisnya.
Anya memutar kedua bola matanya ke atas.
"Emang kenapa kak?" Arini dengan polos bertanya.
"Kirain bidadari kayak kamu bisa terbang," ujar Artha kemudian, berhasil membuat Arini tersipu malu dengan gombalan recehnya.
"Kuntilanak kale bisa terbang!" timpal Anya sadis sambil meletakan cangkir minumannya. "Udah udah salamannya jangan lama-lama. Belum halal!" Anya kemudian memaksa memisahkan tautan tangan Artha dan Arini yang masih tersipu malu.
"Jelous lo yaa," Artha mencibir.
"Jelous gigi lo!"
"Bilang aja lo jelous karena gue godain Arini bukannya lo." Artha mengedipkan sebelah matanya pada Arini.
"Gue nggak jelous! Gue pengen gumoh aja! Lagian gue nggak butuh lo digombalin." Anya menjulurkan lidahnya sambil telunjuknya menarik ke bawah kelopak bagian bawah matanya.
"Bilang aja cemburu."
"Lo mau gombalin gue sampai mulut lo mencong juga nggak akan mempan, pak Radeeeen!"
"Sudah…sudaaah…" Arini menengahi.
Anya berhenti ribut dengan Artha. Ponselnya berdering, Pasha menelepon. Sontak Anya tersenyum lebar sambil meninggalkan Artha dan Arini yang mulai mengobrol akrab. Anya memilih menjawab telepon Pasha di sudut lain cafe yang lebih tenang.
"Hallo..." Anya mengangkatnya dengan suara super manis.
"Dinner tonight?" Pasha mengajaknya tanpa basa-basi.
"Umm...aku mau tapi aku baru pulang kantor. Lagi mampir di cafe bareng teman-teman. Kamu nggak keberatan nunggu lama? Aku pulang dulu ya buat mandi atau..."
"Nggak usah pulang. Kamu belum mandi aja tetap cantik kok," Pasha melarangnya. Membuat Anya melambung karena terlalu senang dengan pujian Pasha.
"Gombal." Anya merasa pipinya memanas karena malu.
"Jadi...aku jemput di mana?"
"Jangan jemput. Aku bawa mobil kok. Ketemu di mana?"
Anya menutup teleponnya dan kembali ke mejanya hendak berpamitan dengan Artha dan Arini. Sekalian untuk menitipkan Arini pada Artha agar diantar pulang.
Cuma ditinggal beberapa menit, Anya mendapati kedua insan berbeda jenis di depannya sedang bercanda seru. Artha dengan kelakar-kelakar basinya dan Arini yang wajahnya memerah karena tidak bisa berhenti tertawa. Tanpa memperdulikan seluruh pasang mata pria di cafe yang memandang iri pada Artha.
Anya berpura-pura batuk untuk memenggal interaksi mereka. Berhasil membuat keduanya beralih menatapnya meski hanya sesaat.
"Cepet banget akrabnya," sindir Anya tanpa sadar nadanya terdengar seperti cemburu.
"Iya nih kak Artha lucu banget orangnya. Aku dari tadi nggak bisa berhenti ketawa sampai sakit perut."
"Siapa dulu dong." Artha menyesap ice coffee-nya hingga tandas.
"Sa ae lo lengkuas rendang," Anya mencibir. "O iya, Tha. Gue mendadak diajak dinner nih sama Pasha. Gue titip Arini ya, Tha. Tolong anterin dia pulang."
Artha yang duduk bersandar hanya mengacungkan satu ibu jari tangannya.
"Yaaah...jadi nggak seru lagi dong kalo kak Anya pergi," protes Arini.
"Kata siapa? Kalian cuma berdua saja udah bisa bikin heboh satu cafe." Anya mengerling ke arah Artha yang malam ini jadi pusat kecemburuan para pengunjung pria di cafe.
"Pliss ya Tha. Anterin Arini. Jaga dia baek-baek. Lecet dikit gue gantung lo di jemuran."
Artha terkekeh. Anya yang selalu bersikap bar-bar namun tidak akan pernah bisa mengintimidasinya.
"Iya nyonyah meneer. Sana pergi. Gue nanti anterin Arini pulang jam sembilan."
"Kok jam sembilan sih kak? Jam sepuluh aja gimana?" Suara protes Arini kali ini terdengar lebih manja dari pada biasanya. Anya sampai memutar bola matanya lagi ke atas.
"Jangan dek, terlalu malam. Aku takut digantung sama papa kamu." Kali ini Artha dihujani dengan pukulan-pukulan kecil di lengannya oleh Arini.
"Auw...auw...tatit dek."
Anya menghela nafas beraroma kesal. Entah mengapa mendadak ia kesal melihat keakraban mereka berdua yang terlalu cepat menurutnya.
"Baguslah kalian akrab dengan cepat. Tugas gue kelar. Gue duluan ya," Anya berpamitan.
"Hati-hati," sahut Artha. "Jangan pulang larut malam," tambahnya dengan nada terdengar khawatir.
"Lo bukan bokap gue," Anya menyahut tanpa berbalik. Terus pergi meninggalkan Artha dan Arini berdua di café.