Chereads / LoveSick / Chapter 17 - Yang Tak Terduga

Chapter 17 - Yang Tak Terduga

Belum reda kekesalan Anya pada Artha gara-gara disebut murahan, bertambah satu lagi yang membuat mood Anya semakin buruk. Sebuah pesan singkat ia terima dari nomor tak dikenal. Dalam perjalanan ke bandara menuju Lombok bersama Pasha dan seorang asisten prianya.

- Jangan dekati Pasha.

Anya langsung menelpon nomor asing itu berkali-kali, tapi tidak pernah diangkat. Anya jadi penasaran. Siapa yang tidak senang dengan kedekatan ia dengan Pasha. Pasti pengirim pesan itu perempuan. Anya yakin.

"Kenal sama nomor ini nggak?" tanya Anya pada Pasha saat mereka dalam perjalanan menuju bandara.

Pasha memilih mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. Padahal ia sedang berkomunikasi dengan rekan bisnisnya.

"Mana, sayang?"

"Ini." Anya memperlihatkan nomor sekaligus pesan singkat misterius itu pada Pasha.

"Nggak tahu," jawab Pasha dengan kening berkerut.

"Pasti aku lagi diteror sama salah satu penggemar kamu deh."

Pasha tertawa.

"Resiko dekat sama pria ganteng," katanya bercanda sambil jemari tangannya mengusap lembut pipi Anya.

"Kepedean deh kamu." Anya mencubiti pinggang Pasha dengan gemas. Pasha lalu menangkap tangannya, mengecupnya lama.

"Udah...nggak usah digubris," katanya sambil menatap Anya lekat-lekat. "Abaikan saja. Ada sesuatu yang lebih penting," tambahnya tiba-tiba dengan tatapan yang lansung membuat Anya berdebar-debar.

"Apa yang lebih penting?"

"Aku sebenarnya punya kejutan buat kamu," jawabnya sambil meremas tangan Anya dengan lembut.

"Kejutan apa?"

"Kalau sudah sampai Lombok kamu juga akan tahu."

Hmm...Anya sebenarnya tidak terlalu senang dengan yang namanya kejutan. Ia sebenarnya paranoid dengan kejutan, karena ia pernah mendapat beberapa kejutan tidak menyenangkan sebelumnya. Seperti kejutan ditinggal pergi ibunya secara mendadak, kejutan dua kali ditikung oleh orang yang pernah ia sayangi hingga kejutan ayahnya mendadak menikahi seorang perempuan yang sangat Anya benci.

Anya harap kejutan dari Pasha adalah kejutan yang manis. Seperti kejutan dilamar di salah satu tempat romantis di Lombok misalnya...

Bip!

Ada SMS masuk lagi ke ponsel Anya saat ia dan Pasha sedang boarding pass. Dari nomor yang sama.

- Jangan dekati Pasha. Atau kamu akan menyesal.

Gila! Anya mendengus kesal. Ini benar-benar SMS teror. Anya membalas dengan cepat.

- Siapa sih lo?! Mau lo apa?

Dan SMS Anya dibalas dengan cepat dan keras.

- JANGAN DEKATI PASHA!!!

Arrrrggghhh....Sialan! Anya mengerang kesal.

Pasha yang melihatnya tampak uring-uringan lantas menggandengnya.

"Kamu kelihatan gelisah. Kenapa?"

"Aku dapat SMS teror itu lagi."

"Matikan saja ponsel kamu," saran Pasha.

"Ok." Anya menurut dan mematikan ponselnya. Tapi sebenarnya tetap tidak mengakhiri kekesalannya. Anya benar-benar penasaran dengan pengirim SMS teror itu.

Sampai di Bandar Udara Internasional Lombok, mereka dijemput mobil menuju ke sebuah resort di Senggigi, Lombok.

Sampai di resort, Anya sempat berkeliling resort dengan Pasha. Bergandengan tangan, menikmati pemandangan indah di sekitar resort. Bagian terbaiknya adalah saat Anya menemukan area infinity pool yang selain memperlihatkan keindahan lautnya juga ada penampakan pemandangan gunung Agung.

Menurut Pasha saat sunset pemandangan di infinty pool akan terlihat lebih indah. Anya jadi tidak sabar ingin segera berenang di infinity pool-nya. Anya sudah membeli baju renang baru kemarin, baju renang dengan model one piece yang sepertinya aman untuk menyembunyikan sedikit lemak di pinggangnya. Jika mengingat soal lemak di pinggangnya, Anya jadi teringat pertengkarannya dengan si mulut rombeng Artha. Lelaki sok ganteng menyebalkan.

Akan tetapi rasa-rasanya ada yang aneh yang ia rasakan sejak menempuh perjalanan dari bandara sampai resort. Anya merasa ada seseorang yang juga sedang menguntitnya atau itu hanya perasaannya saja? Gara-gara SMS teror yang ia terima, pikirannya mulai menjadi paranoid.

Setelah lelah berkeliling resort, Anya putuskan istirahat sebentar di kamar hotel untuk persiapan resepsi nanti malam. Sambil menunggu, Anya bisa bersantai ria sembari menikmati sunset di infinity pool yang kebetulan dekat dengan kamarnya. Sedangkan kamar Pasha berada di sebelah kamar Anya.

Pukul delapan malam, Pasha mengetuk pintu kamarnya. Menjemput Anya menuju ke tempat resepsi. Namun sebelumnya, ia menyelipkan sekuntum bunga kamboja di telinga Anya.

"Beautiful," ucapnya sambil mengecup kening Anya.

"Bunganya?" Anya mencoba menggoda Pasha.

Pasha menggeleng.

"Tentu saja kamu." Pasha meraih tangan Anya dan mengecupnya sebelum menggandengnya menuju tempat resepsi pernikahan teman Pasha, Dhana.

Resepsinya diadakan di sebuah area resort dekat dengan pantai Senggigi. Sesuai dengan dress code-nya yaitu beach formal, Anya malam itu mengenakan gaun satin selutut warna peach dengan model kerah lebar sehingga sedikit memperlihatkan bahu mulusnya. Sementara Pasha mengenakan kemeja putih santai dengan celana jeans. Tampak tampan seperti biasa, mengingatkan Anya pada style Jovan, suami sahabatnya.

Saat memasuki resepsi, Anya yang datang bergandengan dengan Pasha disambut beberapa teman Pasha. Dengan bangga Pasha mengenalkan Anya pada mereka sebagai pasangannya.

"Wow, pilihan lo boleh juga Sha." Salah seorang teman Pasha terang-terangan memuji Anya. "Cantik."

Anya hanya tersipu menanggapinya.

"Tentu saja." Pasha merangkul bahu Anya dengan posesif.

"Jadi kapan nih kita-kita terima undangannya?"

"Sabar. Tunggu saja." Pasha mengangkat gelas minumannya untuk bersulang. Anya mengikutinya tanpa banyak bicara. Sejujurnya ia cukup canggung berada di tengah-tengah teman Pasha yang tentu saja baru ia kenal malam ini.

Melihat Anya tampak kurang nyaman, Pasha menunduk untuk bertanya dengan cukup keras karena suaranya hampir-hampir tidak terdengar karena kerasnya alunan musik. "Kamu baik-baik saja kan?"

Anya mengangguk tersenyum sambil menyelipkan rambutnya di telinga. Angin pantai berkali-kali membuat rambutnya berantakan.

"Dance with me?" Pasha lalu mengulurkan tangannya yang disambut malu-malu oleh Anya yang langsung meletakan gelas minumannya. Pasha menariknya ke tengah arena dansa bergabung dengan tamu-tamu lain yang sudah lebih dulu berdansa.

Pasha menarik pinggang Anya agar lebih dekat hingga Anya dapat merasakan hangatnya tubuh Pasha. Anya mengalungkan kedua tangannya di leher Pasha dan mengimbangi setiap gerakan Pasha yang membawanya kian larut dalam alunan musik romantis.

Namun Anya sedikit khawatir dengan kedua lengan Pasha yang melingkari pinggangnya dengan posesif. Mengingatkan Anya akan ejekan Artha soal tonjolan lemaknya. Anya berharap Pasha tidak akan pernah menyadari bahwa bagian yang terasa empuk pada pinggangnya adalah lemak.

Dalam kekhawatiran yang berlebihan, Anya merasakan Pasha menempelkan kening di keningnya. Membuat Anya makin jelas merasakan hembusan nafas beraroma mint Pasha di wajahnya hingga Anya dapat melupakan rasa takutnya sejenak.

"Hei, ingat nggak? Sebelum kemari aku bilang soal kejutan buat kamu..." bisiknya tiba-tiba.

"Ingat."

"Setelah resepsi akan aku tunjukan," katanya bersamaan dengan ponsel di saku kemejanya yang tiba-tiba saja berdering. Memisahkan jarak keduanya yang tadinya menempel bagai perangko dan amplopnya.

"Sorry, dari rekan bisnis. Sepertinya penting." Pasha memilih pergi ke tempat lain untuk mengangkat teleponnya. Anya sedikit kecewa sebenarnya. Sekarang ia jadi kikuk di tengah resepsi. Berharap Pasha tidak lama meninggalkannya sendirian.

Udara dingin di pantai dan akibat minum tiga gelas lemon squash membuat Anya bergegas mencari toilet. Sambil berjalan cepat menuju toilet, Anya mengirim pesan pada Pasha agar tidak kehilangan jejaknya karena ia harus ke toilet terdekat yang ternyata lumayan jauh dan sempat membuatnya tersesat.

Tapi saat menuju toilet yang sudah di depan mata, ia melihat seseorang yang sangat ia kenal baru keluar dari toilet dengan wajah terkejut dan lansung pucat pasi karena tertangkap basah olehnya.

"Elooo?!!"

Sosok yang tadinya berusaha menutupi wajahnya dengan kerah bajunya akhirnya hanya bisa meringis pasrah di depan Anya.

"Astaga! Ngapain lo di sini?! Jangan bilang lo nggak sengaja. Lo jelas-jelas nguntit gue!"

"Sorry, Nyak! Gue bisa jelaskan."

Wajah Anya memerah. Antara menahan marah dengan menahan pipis.

"Jangan pergi dulu lo! Tetap tunggu di sini. Gue mau pipis dulu. Awas ya kalo lo pergi. Lo harus beri penjelasan kenapa lo ada di sini!" Anya masuk ke toilet dengan gusar.

"Ok." Artha mendesah pasrah. Terpaksa harus menunggu atau Anya tidak akan pernah menerima apalagi memaafkan perbuatannya.

Setelah selesai buang air kecil, Anya menarik Artha ke tempat yang tidak akan terlihat oleh orang banyak. Di dekat pohon yang cukup besar untuk menyembunyikan mereka berdua.

"Sekarang gue mau tahu kenapa lo bisa ada disini?!" Anya memukul punggung Artha dengan tas cangklongnya berkali-kali hingga Artha meringis kesakitan.

Artha tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab atau tidak. Percuma berbohong, Anya tidak akan percaya semudah itu. Tapi jika ia beri tahu yang sebenarnya, Anya pasti bakal mengamuk. Artha bagai mendapat buah simalakama jadinya.

"Kenapa diam?"

"Ok, gue ngaku. Gue emang nguntit lo sampe ke Lombok karena gue khawatir sama lo."

Anya tertawa sinis. Menertawakan alasan Artha yang menurutnya tidak masuk akal. Kelakuan Artha jelas seperti kelakuan penguntit yang sakit jiwa. Membuat Anya jadi teringat SMS teror yang ia terima sejak pagi.

"Jangan-jangan lo juga yang teror gue dengan SMS-SMS!" tukas Artha dengan keras.

Artha buru-buru menyilangkan kedua tangannya. "Bukan gue, sumpah. Gue nggak pernah SMS lo."

"Terus siapa?! Kalo bukan lo." Anya terus mencecar Artha dengan tuduhannya.

"Mana gue lihat."

Anya menunjukan SMS-SMS dari nomor tak dikenal pada Artha. Lelaki itu langsung mengerutkan dahinya.

"Apa jangan-jangan dari kak Rahma," ceplos Artha yang akhirnya ia sesali. Mata besar Anya langsung terbelalak lebar. Terkejut bukan main dengan nama yang barus saja disebut oleh Artha.

Rahma? Ibu Tirinya. Seseorang yang sejak dulu tidak pernah senang melihatnya bahagia.

"Apa?!" Anya mendadak mencengkeram kerah Artha kuat-kuat. Ekspresinya jadi lebih mirip singa betina yang lapar saat mendengar Artha menyebut nama istri ayahnya.

"Lo pasti udah sekongkol lama ya sama Rahma?! Gue tahu sekarang!" Anya berteriak tepat di depan wajah Artha.

"Makanya lo selalu sinis tiap kali gue sama Pasha!"

"Bukan gitu. Ini nggak seperti yang lo pikirkan Nyak," Artha mencicit ketakutan makin disudutkan oleh Anya.

Anya melepaskan cenkeraman tangannya pada kerah kemeja floral Artha yang telah kusut olehnya. Tapi aura kemarahannya masih sangat besar. Anya saat mengamuk akan sangat menakutkan. Untung saja di lokasi tempat mereka berada tidak ditemukan perabotan atau barang pecah belah yang bisa dilempar.

"Kenapa sih dia selalu nggak senang gue bahagia...Sampai-sampai pengaruhi lo buat bantu dia..." Anya mengusap matanya yang mulai basah.

"Nyak...gue dan kak Rahma..."

"Pergi!"

"Nyak, dengarkan penjelasan gue..." Artha berusaha meraih tangan Anya.

"Pergi lo kaki tangan Rahma! Gue nggak mau lagi lihat muka lo! Gue benci ama lo!" Anya menepiskan tangan Artha yang hendak meraihnya dengan kasar lalu berlari menjauhi Artha.

"Tungguuu, Nyaaak!" Artha mengejar Anya.

"Jangan ikutin gue lagi! Pergi lo micin tumpah!" Anya berbalik untuk menendang Artha namun gagal karena Artha pandai berkelit.

"Anyaaak..."

"Mulai detik ini, kalo gue lihat muka lo lagi dalam jarak seratus meter. Gue laporin lo ke kantor polisi!"

"Hah?!" Artha melongo. "Atas dasar apa?"

"Tindakan tidak menyenangkan dan persekongkolan jahat!" teriaknya yang terakhir kali sambil berlari menuju area resepsi.

Artha berhenti mengejar lalu bersandar lemas pada pohon terdekat sambil mengusap-usap dada. Menghadapi Anya yang sekarang seperti sedang menghadapi harimau betina Sumatra yang sedang murka. Lebih baik jangan mencoba mengganggu lagi atau kena cabik lah muka Artha nanti.

"Duh...gusti..."

Misinya telah gagal. Akan lebih sulit baginya kini menghadapi Anya yang kini semakin membencinya.