Sejak insiden ciuman itu, Artha untuk sementara waktu menghindari zona teritorial Anya. Tidak ingin menderita ia cacat permanen atau minimal terkena cakar lagi. Seperti sekarang, di pipi kanan Artha ada goresan kuku yang cukup panjang. Pantas saja terasa perih setelah ditampar. Ternyata sempat tergores kuku tajam Anya juga. Artha jadi merasa mirip Kenshin Himura. Samurai kelas wahid yang punya bekas luka X di pipi. Tokoh anime terkenal yang pernah Artha tonton waktu SD.
"Pipi lo kenapa?" Jovan adalah orang pertama yang menyadari goresan merah tipis sepanjang lima sentimeter di pipi Artha.
"Anu...kena cakar tangan gue sendiri." Artha meringis malu menutupi fakta sebenarnya.
"Oo...kirain abis dicakar cewek," komentar Jovan lagi tanpa ekspresi tapi membuat Artha salah tingkah.
Saat ini Artha sedang mendampingi bosnya, Jovan bertemu dengan seorang klien. Seorang pria yang langsung membuat sebelah alis Artha berjengit kaget saat mendengar siapa nama klien yang sedang mereka tunggu.
Pasha Iskandar. Pria yang mengalahkan pesona Artha di mata Anya. Pria tampan sekaligus berbahaya menurut Artha.
Jadi meeting siang ini merupakan kesempatan emasnya. Kapan lagi bisa menyelidiki pria itu lebih dekat? Apalagi Artha sudah berbekal kisah curahan hati Rahma yang menyayat hati. Artha makin semangat. Selain untuk memperjuangkan cintanya juga untuk menolong Rahma.
"Pasha Iskandar itu orangnya bagaimana sih bos?" tanya Artha pada bosnya, Jovan. Mengingat Artha pernah melihat pria itu di resepsi pernikahan Jovan dan Amor. Sudah pasti Pasha adalah teman Jovan.
Jovan membenarkan letak kacamata minusnya yang sedikit melorot di hidung sebelum menjawab plus tatapan heran.
"Orangnya baik. Juga ulet," jawab Jovan irit sambil menyesap tehnya.
"Track record-nya cuma segitu doang bos?" Artha berharap pria itu punya reputasi yang buruk. Artha bisa jadikan itu sebagai alasan untuk menyerang kelemahan Pasha.
"Well...Kami bertemu pertama kali lima tahun yang lalu di kejuaraan paralayang di Bali. Dia punya beberapa usaha. Salah satunya pabrik biskuit. Sekarang ini dia sedang melirik ekspor kopi. Untuk itulah kita di sini. Selebihnya gue nggak terlalu mengenal pribadinya secara langsung." Jovan menjelaskan dengan cepat dan langsung ke point.
"Reputasinya bersih?"
"Bersih sepertinya..."
"Tidak punya reputasi semacam pria doyan clubbing, playboy atau pernah terjerat tindak kriminal misalnya..." Artha kian getol mengorek-korek.
"Gue belum pernah dengar sebelumnya," jawab Jovan sambil meringis sebenarnya heran dengan Artha yang tiba-tiba terlalu peduli dengan Pasha.
"Tapi sayang suka ngaret." Artha menimpali sinis sambil mengetuk-ketuk kaca arlojinya. Satu-satunya alasan agar Pasha nampak buruk. Sudah hampir satu jam mereka menunggu di restoran, dan pria itu belum muncul juga.
"Mungkin dia kena macet," ujar Jovan santai.
"Aah itu dia." Jovan tiba-tiba berdiri sambil mengancingkan kancing hitam jasnya. Artha mengikuti langkah bosnya yang berjalan menyambut sang 'klien agung'.
Artha melihat Pasha datang menghampiri bersama asisten pribadinya. Seorang pria.
"Hallo apa kabar Jov." Pasha menyalami Jovan sementara tangan kirinya menyentuh bahu Jovan. Tampak cukup akrab dan hangat dengan sang bos.
"Maaf gue terlambat. Jalanan macet."
Jovan balik menepuk bahunya. "It's ok. Mari kita duduk."
Pasha lalu melihat Artha dan mengulurkan tangannya dengan sopan. "Apa kabar bro. Kita pernah ketemu sebelumnya di Takengon bukan?"
"Ya, bagaimana bisa gue lupa." Artha meringis kaku, menjabat tangan Pasha dengan sedikit erat. Sempat terlihat ekspresi kaget Pasha karena remasan tangan Artha.
"Kalian sudah saling kenal?" tanya Jovan.
"Ya...saat di Takengon. Kami berjumpa di villa pak Abdullah Saleh," jawab Pasha kalem.
"Villa ayahnya Anya," bisik Artha pada Jovan yang dibalas dengan ekspresi 'oh i see'. Rupanya Jovan teringat alasan Artha dulu saat mendadak minta cuti menemani Anya pulang kampung. Ekspresi Jovan lalu berganti menjadi 'jangan bilang pria ini saingan lo Tha?'
Seolah punya ikatan batin yang kuat dengan bosnya, Artha hanya mengangguk-angguk membenarkan.
Lalu Jovan menepuk punggung Artha berkali-kali untuk menguatkan.Begitulah hubungan kontak batin yang begitu kuat antara Artha dan bosnya.
"Ok...mari kita mulai meeting-nya." Pasha memberi isyarat asisten pribadinya agar mengeluarkan macbook-nya. Meeting dimulai.
Meeting santai itu hanya berlangsung kurang dari dua jam, berlanjut dengan makan siang bersama diselingi dengan obrolan ringan seputar kehidupan pribadi masing-masing
Bos Jovan dengan semangat menceritakan bayi kembarnya yang sangat ia banggakan. Tidak ketinggalan juga soal istrinya yang cantik dan lebih senang mengurus bayi kembarnya sendirian tanpa babysitter.
Sedangkan Artha lebih memilih banyak diam sambil mengamati interaksi keduanya. Hasilnya Artha tidak menemukan apa-apa. Pasha sangat irit membagi informasi tentang kehidupannya, keluarga apalagi masa lalunya. Hidupnya terkesan lurus dari setiap ceritanya. Tanpa ia sadari Artha diam-diam sudah banyak tahu tentang dirinya dari Rahma.
Bahwa Pasha dan Rahma pernah menjadi sepasang kekasih.
Artha berasumsi, Pasha sepertinya sengaja mendekati Anya hanya untuk menyakiti Rahma yang lebih memilih menikah dengan Abdullah Saleh, ayah Anya. Sang calon mertuanya, jika Tuhan mengizinkan.
Sayangnya, Anya terlalu keras kepala, tidak pernah mau mendengarkan Artha. Anya sudah terlanjur terhipnotis pesona Pasha.
Tanpa Artha sadari, Pasha rupanya memperhatikan kejanggalan pada sikap Artha. Sebelum meninggalkan restoran, Artha dan Pasha bertemu di toilet pria. Bukan janjian tapi kebetulan memang punya misi yang sama. Pipis dengan urinoir bersebelahan.
Sambil melakukan kegiatan buang air kecilnya, Artha melirik ke bagian bawah Pasha. Artha menyeringai nakal seolah sedang membanding-bandingkan sesuatu di kepalanya. Pasha balas melirik dengan tidak nyaman.
"Apakah sebelumnya kita pernah punya masalah?" Pasha menegur langsung terus terang. Menembak Artha saat mereka lagi-lagi bersama-sama mencuci tangan di washtafel.
"Mengapa bertanya seperti itu?" Artha balik bertanya.
Pasha tertawa sinis.
"Karena sepertinya lo nggak suka dengan gue."
Artha balas tertawa sinis.
"Mungkin."
"Apa karena Anya?" tembaknya. Kali ini mereka berdiri berhadap-hadapan.
Senyum cengengesan Artha seketika lenyap. Berubah serius. Keduanya saling berhadapan bagai werewolf dan vampire yang sedang berebut kepemilikan. Artha werewolf-nya karena ia memiliki lebih banyak bulu di tubuhnya dibandingkan Pasha.
Tinggi Mr. Vampire dan werewolf sebenarnya setara, hanya saja tubuh Mr. Vampire jauh lebih kekar dan keras di balik setelan jas mahalnya. Jadi kalau lima menit kemudian tiba-tiba terjadi saling adu jotos, Artha sangsi werewolf kurus bisa menang.
"Lo sepertinya juga menyukai Anya? Itulah alasan lo mengapa mengikuti dia ke Takengon. Padahal lo bukan siapa-siapa. Gue bener kan?" lanjut Pasha. Tepat sasaran. Artha tidak akan mengelak.
"Kalau iya kenapa?"
Pasha tertawa singkat. Sinis.
"Sayang ya...yang Anya pilih gue," ujarnya memancing emosi Artha.
Artha tiba-tiba mencengkeram kerah kemeja Pasha dengan keras. "Gue tahu siapa lo dan apa mau lo sebenarnya pada Anya dan Rahma! Gue peringatin lo dari sekarang. Pergi dari Anya dan jangan ganggu Rahma lagi!" Artha melepas tangannya setelah selesai berbicara. Kedua tangannya merapihkan sedikit kekusutan pada kerah Pasha juga.
"Wow...kenapa Rahma juga lo bawa-bawa?" Pasha sengaja pura-pura terkejut. "Lo bikin gue gemeteran bro."
"Ngomong-omong terima kasih atas peringatan lo. Tapi lo nggak akan bisa buat Anya berpaling dari gue. She loves me so much! Gue sangsi dia akan mendengarkan lo. Lihat saja nanti." Pasha mengedipkan sebelah matanya yang tampak licik sebelum pergi.
Artha mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. Andai Pasha itu bukan klien sekaligus teman Jovan, sudah ia hajar barusan. Bukan cuma sekedar memamerkan gigi taring seperti tadi.
"Lama amat ke toiletnya kayak cewek," Jovan menyindir seperti biasa dengan ekspresi flat-nya saat Artha akhirnya muncul setelah Jovan lama menunggu di parkiran mobil. Duduk manis bersama sopirnya.
"Eike abis beranak dalam kubur* boo! Mau cepetan cebok mules mulu. Lambreta deh jadinya." Artha berbohong, mencari alasan dengan menirukan gaya bahasa bencong.
Jovan tertawa geli sambil geleng-geleng kepala.
"Ayok pak, cap cuz." Artha memberi perintah pada sopir Jovan. Kali ini serius. Percakapan antara ia dan Pasha di toilet sudah pasti membuatnya berang sekaligus makin membuatnya kehilangan ketenangan. Pria itu kini terang-terangan menantangnya. Lihat saja nanti. Raden Bagus Arthayaksa itu setangguh Raden Gatotkaca. Otot kawat tulang besi tapi hati selembut squishy.