Tahu tidak? Sesuatu yang lebih mengganggu jika dibandingkan dengan kabar bahwa Pasha ternyata mantan kekasih istri ayahnya.
Ciuman Artha.
Dampaknya membuat Anya seperti merasa terkena kejutan listrik namun sesudahnya menyisakan rasa kehilangan.
Sejak mencuri ciuman, manusia itu seolah menghindari Anya. Sudah tujuh hari, Artha tidak pernah menunjukan batang hidungnya apalagi memperlihatkan cengiran khasnya yang genit di kantor. Anya menduga Artha pasti takut dengan pembalasan susulan darinya.
Anya diam-diam menajamkan pendengaran saat ia masuk ke ruangan pak Andi, Manager Keuangannya sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
Seseorang yang lantas membuatnya menundanya menghela nafas sesaat.
Artha.
"Ok, pak Artha. Akan kami siapkan dokumennya...Ngomong-omong kapan pak Artha akan datang ke kantor?...Oh, rupanya begitu...Baik..."
Mendengar nama Artha si kutu jalang itu disebut, irama jantungnya juga mendadak tidak beraturan seperti ada DJ yang sedang mengubek-ubek jantungnya.
Aah...sialan! Gue kok jadi meriang gini. Anya menjerit dalam hati.
"Kamu kenapa? Kok bengong?"
Anya gelagapan saat pak Andi menegurnya. Menangkap basah dirinya yang sedang menguping.
"A...anu...saya nunggu bapak selesai bicara di telepon." Anya meringis canggung untuk menutupi rasa kagetnya.
"Sebelum saya serahkan berkas ini." Anya lalu menyerahkan map plastik warna biru yang dari tadi ia dekap. Setelah menyerahkan, Anya kembali ke kubikelnya. Melamun.
"Hallo...kak Artha..." Suara Arini saat menyebut nama itu pun kembali membuat Anya yang baru akan duduk mendadak membeku.
Sambil melakukan pekerjaannya, diam-diam Anya menajamkan telinga saat mendengar Arini sedang menelepon Artha di kubikelnya.
"Dokumen dari pak Andi mau diambil kapan, kak? Ooh...ok. Arini tunggu ya, kak. Sampai nanti..."
Artha mau kemari? Anya menegakan kepalanya. Merasakan jantungnya yang mendadak berdegub lebih keras dari biasanya.
Duh gusti....ini jantung kenapa lagi? Anya mengusap-usap dadanya berkali-kali untuk sekedar menenangkan.
Arini memperhatikannya dengan heran.
"Kak Anya kenapa? Kok ngusap-usap dada? Sakit kak?" teguran Arini mengejutkan Anya.
"Nggak kok!" Anya menyahuh dengan gelisah. "Ini treatment buat gedein payudara." Anya berkilah sambil mengusap kedua payudaranya dengan gerakan memutar, berusaha mengelabuhi Arini.
"Beneran kak?" bola mata jernih Arini melebar.
"Coba aja. Tiga kali sehari." Anya meyakinkan Arini yang langsung percaya begitu saja.
Arini kemudian menirukan kegiatan Anya dengan polos berkali-kali.
Damn! Lama-lama gue sakit jantung beneran. Fiuuuh...Batin Anya.
Anya mencoba mengatur ritme nafasnya lalu mencoba bertanya pada Arini. Tidak bisa ia diam saja. Ia harus bertanya pada Arini. Karena bertanya mungkin akan menawarkan rasa penasarannya selama beberapa hari ini. Meski lidahnya sebenarnya luar biasa gengsi untuk bertanya.
"Si playboy musang kapan mau kemari?" Suaranya sengaja buat sedatar mungkin agar Arini tidak curiga kalau ia sedang penasaran.
"Siapa kak?" Arini berhenti mengusap dada.
"Yang tadi lo telepon." Anya menegaskan meski dengan nada gengsi.
"Ooh...Kak Artha?" Arini tertawa namun sengaja melantunkan nama Artha dengan berirama seolah sedang menggoda Anya yang membalasnya dengan lirikan judes.
"Ciyeeee....kak Anya kangen sama kak Artha yaaa?" tukas Arini menembaknya begitu saja membuat jantung Anya kembali berdebar-debar lagi, lagi dan lagi.
Bola mata Anya melotot lebar. Berusaha menahan gerakan apa pun yang makin membuat Arini curiga bahwa karena ulahnya Anya menjadi gelisah.
"Enak aja kangen! Gue tuh lagi pengen banget tonjok hidungnya sampai mimisan." Anya beralasan sambil mengepalkan tangannya ke atas."Gue belum selesai kasih dia pelajaran! Pengen gue cakar-cakar mukanya!"
Arini terkekeh sambil menutup mulutnya. Teringat cerita Artha yang habis mencium Anya tempo hari. Ciuman mahal katanya. Mahal bukan ditakar dari nilainya, tapi dari pengorbanannya. Gara-gara ciuman lancang berdurasi lima detik itu, Artha harus mengorbankan pipinya ditampar sekaligus mendapat cakaran, punggung sakit karena beberapa kali dipukul dengan sepatu heels hingga ia harus berlari memutari rooftop karena menghindari amukan Anya. Yang terburuk, komunikasinya dengan Anya pun makin memburuk.
"Jangan dong kak. Nanti kak Artha nggak ganteng lagi."
"Ganteng-ganteng monyet maksud lo?" Anya menimpali sambil cemberut.
"Tapi serius deh kak. Menurut aku, kak Artha sebenarnya ganteng juga loh. Kak Anya masa nggak menyadari sih selama ini?" ujar Arini tampak jujur memuji lelaki kurang ajar itu.
Anya sampai terperangah tak percayadengan Arini yang terlalu memuji si uler kadut. Masih lebih ganteng Gerald menurut Anya. Andai pria itu punya kehidupan yang normal.
Ooh...jangan lupakan juga. Masih ada Pasha yang ganteng dan membuat Anya gemetaran saat pertama kali mereka berdua bertemu di Takengon.
"Ah sudahlah...terserah lo. Dia mau kemari kapan?"
"Nanti siang kak."
"Bagus." Anya meremas kepalan tangannya. "Kalo ketemu nanti mau gue tonjok mukanya." Anya sudah tidak sabar ingin membalas Artha.
Diam-diam Arini mengirim pesan pada Artha.
Arini: Kak Artha batalin aja rencana kesini. Aku dengar sendiri kak Anya mau nonjok muka kak Artha kalo ketemu!
○●○
Artha membaca pesan dari Arini sambil meringis geli. Bagaimana ini? Ia sudah menahan rindu selama seminggu. Ingin bertemu tapi beresiko hidung patah, gigi depan copot, kehilangan segenggam rambut, tambahan cakaran di pipi atau mungkin tamparan cepat tanpa bayangan seperti yang dilakukan Anya tempo hari.
Hendak mengambil dokumen adalah alasan mengapa ia berani berdiri di kantor Anya. Sebelum menuju tempat Anya berada, Artha sebenarnya sudah siap lahir batin dan mengerahkan segala keberanian akan menanggung resiko kecelakaan dalam pertemuan mereka nanti.
Ia tidak pernah menyerah selama ini. Artha yakin BPJS kesehatan bersedia menanggung dampaknya.
- Om Artha jangan menyerah ya. Semangat! Everest dan Momo selalu dukung Om Artha!
Artha tertawa menatap layar ponselnya. Membaca pesan dari sepupunya, Amor. Semalam, Artha memang habis berkunjung ke rumah sepupunya. Niat awalnya yang hanya mau menengok si kembar membuatnya tidak tahan untuk bercerita mengenai Anya saat Amor yang melihatnya tampak galau mendesaknya bercerita.
"Cerita lah Tha. Dari pada punya masalah dipendam sendiri. Malah jadi hama di hati. Lo nanti jadi penyakitan. Karena sakit pikiran biasanya turun ke lambung. Asam lambung lo lalu naik ke jantung, lever, paru-paru, lalu lo ma-ti." Amor bahkan menakut-nakutinya dengan serombongan dampak yang akan ia terima jika selalu memendam masalah.
"Gila lo nakut-nakutin gue banget! Nggak segitunya kali?!"
Amor tertawa geli melihat wajah Artha yang berubah pucat.
"Jangan takut-takutin Artha, sayang. Kalo dia ga mau cerita, ya sudah." Jovan, suami Amor ikut menimbrung.
"Kalo dia mati, tinggal kita kubur," tambahnya, ternyata lebih sadis dan disusul tawa kencang Amor.
"Ya salaaam! Lo berdua kok sekarang sama sadisnya ya...."
"Makanya cerita."
Akhirnya karena takut mati, Artha mencurahkan isi hatinya tentang Anya pada Amor. Secara blak-blakan Artha menceritakan perasaannya pada Anya yang tak bersambut. Namun Artha sengaja tidak bercerita tentang ulahnya mencium Anya.
"Menurut gue, lo memang harus jujur sama Anya tentang perasaan lo. Tapi fokus di elo aja. Si mamah muda itu nggak usah lo bawa-bawa lagi. Mood Anya bakal berantakan kalo sekali lagi lo ungkit. Udah kena dampaknya kan?" Amor menyindir cakaran di pipi Artha.
Artha mengusap bekas luka goresan kuku Anya yang telah sembuh.
"Menurut gue, lo juga nggak bisa mendengar secara sepihak saja, Tha. Secara ini mamah muda rival bebuyutan dari awal Anya baru tumbuh payudara. Lo juga harus selidiki lagi. Dari pada cakaran di muka lo nambah lagi. Kegantengan lo yang nggak terlalu itu bakal lenyap. Modal apa lagi yang lo punya? Dompet aja udah mirip kaya kopiah," Amor menambahi ceramahnya panjang lebar.
Artha mengerucutkan bibinyar. Tidak terima dibilang tak bermodal. Andai Amor tahu, tabungan buat menikah pun sudah ada di rekening. Cukup buat ongkos beli cincin kawin, bayar penghulu, sewa organ tunggal, catering, sewa gedung, bahkan untuk biaya honeymoon sampai ke Kongo sekali pun.
Tapi sedikit banyak, dan lebih banyak sedikitnya, wejangan dari Amor cukup melegakan hatinya.
Kini di depan lorong menuju ruangan Anya, dengan tegap dan gagah berani Artha terus melangkah. Dia sudah siap dengan beberapa helai plester luka di saku celananya.
Tepat saat itu, Anya muncul dari dalam ruangan. Anya dengan Arini di sampingnya yang bibirnya langsung mengembang lebar begitu melihatnya. Sedangkan Anya dengan tatapan membunuhnya. Mirip seekor elang yang sedang mengintai mangsa.
"Kak Artha! Wait...Arini ambil dukumennya di meja." Arini teringat soal dokumen lalu masuk lagi ke ruangan. Praktis, membiarkan Artha berdua saja dengan Anya yang wajahnya penuh dendam kesumat.
Ya rabb...selamatkan hamba. Artha berdoa dalam hati.
Saat melihat Anya berdiri mematung dengan tatapan dinginnya, perlahan Artha melangkah maju sambil berkata, "Sorry, untuk seminggu yang lalu." Memaksakan lidahnya yang mendadak tidak lentur seperti biasanya untuk berbicara.
Anya hanya menghela nafas dengan kasar. Artha yakin Anya masih sangat kesal padanya.
"Tolong jangan diam aja, Nyak. Kalo lo masih marah. Lo boleh tampar muka gue lagi. Tapi pliss jangan pake kuku. Perihnya sampe berhari-hari." Artha memohon dengan wajah super memelas. Seperti wajah orang belum makan tiga hari.
Permohonan yang lantas tidak membuat Anya menjadi iba. Anya kembali menampar Artha.
Plaaak!
Tamparan di pipi kiri. Tidak cukup kuat tapi lumayan sakit. Namun kali ini untungnya tidak ditambah cakaran.
"Itu buat kekurang ajaran lo," kata Anya dengan nada tenang dan pelan. Artha sebenarnya kagum dengan gerakan tangan Anya yang sangat cepat. Artha curiga sepertinya Anya bekas pemain sulap.
"Gue terima tamparan ini, asal lo maafin gue."
Plaaak!
Kali ini pipi yang kanan. Sama cepat dan kerasnya. Artha meringis sambil mengusap kedua pipinya. Rasanya kini bagai ada koyo yang menempel di kedua pipinya.
"Jangan ulangi lagi," kata Anya tegas.
"Nggak akan Nyak. Gue janji. Gue akan minta ijin dulu setiap mau ci..."
Anya melangkah pergi begitu saja. Sebelum Artha melengkapi kalimatnya.
"…cium lo," lanjutnya pelan sambil menghela nafas panjang. Akhirnya ia merasa lega karena Anya sepertinya telah memaafkannya.
****
Anya langsung bersandar di dinding lift. Sendirian dan lemas. Bertemu Artha langsung membuatnya teringat kembali ciuman mereka di rooftop.
Emosinya yang menumpuk sejak kemarin, menguap begitu saja begitu bertatap muka dengan Artha yang tiba-tiba minta maaf padanya. Alih-alih marah, Anya malah salah tingkah. Lagi-lagi karena mengingat ciuman itu. Membuatnya frustasi. Kenapa ia harus merasakan perasaan aneh yang kini harus mati-matian ia sangkal?
Ia pernah berkali-kali dicium Pasha dan selalu terasa manis. Tapi efek dicium Artha rasanya begitu mengganggu. Anya sampai stress karena tidak bisa berhenti memikirkannya.
Ponsel Anya berdering. Dari Pasha. Anya tarik nafas sepanjang mungkin sebelum menjawab.
"Hallo, sayang."
"Aku ingin kita bicara."
"Soal apa?"
"Soal rencana lamaran kamu. Gimana kalo kita ajukan tanggalnya?"
"Kapan?"
"Minggu depan."
"Kenapa tiba-tiba berubah?"
"Karna menunggu hingga bulan depan terasa lama, sayang." Terdengar suara Pasha tertawa saat mengucapkan.
"Uhm...ok." Mendadak Anya merasa ragu.
"Kamu bener nggak keberatan?"
"Ng...nggak. Lebih cepat lebih baik."
"Bagus. Jangan terlambat makan siang ya. Tiga hari lagi aku kembali ke Jakarta. Give me a kiss..."
"Muaah."
"See you, sayang."
Anya memejamkan mata. Seharusnya ia lega. Rencana lamarannya dipercepat. Seperti sedang diberi kemudahan oleh Tuhan. Namun seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Tidak kasat mata, tak berbau tapi berasa. Tentang perasaannya pada Artha.