Satu bulan kemudian sejak Anya memperkenalkan Artha dengan Arini.
"Gimana perkembangan hubungan kalian berdua?" Artha bertanya pada Anya mengenai hubungannya dengan Pasha saat mereka berdua makan siang bersama di luar kantor. Traktiran makan siang karena kekalahan Artha waktu di Takengon dulu. Kalau dihitung-hitung lagi, Artha masih hutang sepuluh kali lagi traktiran makan siang.
"Baik," Anya hanya menjawab singkat tapi berbalik bertanya pada Artha, "Gue liat lo dan Arini juga semakin dekat."
Artha tertawa kecil sambil menyeka bibirnya dengan tissue.
"Seperti yang lo liat sekarang," jawabnya misterius.
"Kalian akhirnya pacaran?" Anya mencoba menerka Artha yang kini menatapnya dengan tatapan geli.
"Menurut lo?" Artha balik bertanya.
"Ya mana gue tahu? Gue bukan dukun," Anya menimpali dengan tawa geli.
"Kalo gue dengan Arini jadian, lo cemburu?" tanya Artha tiba-tiba membuat Anya terpaku sesaat menatapnya.
"Tentu saja nggak," Anya menjawab acuh tak acuh. "Mana mungkin, Tha. Gue udah punya Pasha."
"Ya kali aja." Artha membuang pandangannya ke arah lain sambil menggaruk kepalanya yang rambutnya mulai tumbuh lebat lagi sambil terkekeh.
Dalam diam Anya sebenarnya mengakui tuduhan Artha. Benar ia merasa cemburu. Namun hanya cemburu pada sebatas ia merasa kehilangan seseorang teman yang biasanya memperhatikannya dan menggodanya dengan setiap rayuan recehnya. Sejak mengenal Arini, Artha tak lagi sama.
Sama halnya Anya. Sejak mengenal Pasha, ia pun tak lagi sama. Mereka kini bagai berada dalam dunia masing-masing yang berseberangan.
"Sorry ya kak kalo aku lama di toilet." Arini akhirnya muncul setelah hampir setengah jam meninggalkan Anya dan Artha hanya berdua saja.
"Kenapa lama di toilet? Gali sumur?" tukas Artha dengan nada bercanda.
"Iiiih…kak Artha bisa aja deh." Arini menghadiahi Artha dengan cubitan demi cubitan kecil di pinggang yang langsung membuat lelaki itu memekik kegelian.
"Geli dek, ampun geli."
"Abis kak Artha yang mulai duluan."
"Ya siapa suruh lama di toilet? Aku sama Anya sampai hampir lumutan nungguin kamu." Artha mencubit hidung mancung Arini dengan gemas membuat gadis cantik itu mengaduh kesakitan.
Sementara itu, Anya menonton keduanya sambil menghela nafas. Tak ingin merasa cemburu dengan kedekatan keduanya, namun tetap saja ia merasakannya.
Bip! Bip!
Suara notifikasi ponselnya mengalihkan perhatiannya. Anya membuka ponselnya dan menemukan Pasha mengirimi chat yang membuatnya terkejut sekaligus senang.
Pasha: Minggu depan ikut aku ke Lombok ya? Temani kondangan temen nikah.
Anya tersenyum sambil mengetik balasannya dengan cepat.
Anya: Iya, aku mau.
Pasha: Kita akan menginap semalam di sana. Kamu seneng, sayang?
Anya: Iya pastinya aku seneng. Sekalian liburan.
Pasha: Aku pastikan kamu nggak akan menyesal.
Setelahnya Anya mengangkat kepalanya dan menemukan sorot mata Artha yang tengah menatapnya dengan tatapan curiga.
"Hayooo…kak Anya kenapa senyum-senyum sendiri sambil liat hape?" Tapi Arini lah yang terlebih dahulu mencecarnya.
Membuat Anya tidak tahan lagi ingin berbagi cerita.
"Gue abis baca chat dari Pasha. Dia mau ngajak gue kondangan ke Lombok minggu depan," jawabnya riang.
"Waaaah, senengnyaaaa!" Arini tampak heboh sementara Artha meliriknya dengan sinis. Anya tahu Artha memang sepertinya kurang menyukai Pasha sejak bertemu pertama kali di Takengon.
"Makanya nanti sepulang kantor, gue mau belanja baju sama bikini. Pasha bilang mau gue ajak jalan-jalan ke pantai juga," ujar Anya dengan wajah bahagia.
Namun tak disangka-sangka malah menuai reaksi sinis dari Artha.
"Ciih, bikini. Nggak malu sama lemak di pinggang?" Artha menyindir nyinyir.
Sungguh sindiran yang teramat pedas bagi telinga Anya. Membuat bola mata Anya melotot lebar karena tersinggung.
"Kenapa lo sekarang ngurusin lemak di pinggang gue? Suka-suka gue lah! Mau gue pamerin kek mau gue umpetin kek. Terserah gue! Kenapa lo yang malah sewot?" tangkis Anya dengan nada sengit.
Tak terima dengan omelan Anya, Artha malah balik mengomel, "Lo tuh kalo diingatin malah nyolot. Jangan menyesal ya nanti kalo Pasha tiba-tiba kabur setelah liat lemak di pinggang lo pada nyembul."
"Gue nggak butuh lo ingetin!"
"Dasar keras kepala."
"Berhenti campuri urusan gue, lele ningrat!"
"Hahaha…siapa yang sedang campuri urusan lo? Gue ingetin karna gue peduli sama lo!"
BRAAK!!!
Saking kesalnya dengan Artha, tanpa sadar Anya menggebrak meja hingga membuat semua orang di restoran Padang menatap ke arahnya.
"Bilang aja lo cemburu ama Pasha?!" Anya menuduh Artha yang berhasil membuat Artha makin tersulut emosi.
"Siapa bilang cemburu?"
"Sikap lo tadi yang bilang!"
"Mana mungkin lah gue cemburu." Artha tertawa mencibir.
"Helleeeew…ngaku aja deh lo."
"Gue bilangin ya. Gue sebagai teman cuma mau mengingatkan aja. Lo bakal pergi sama lelaki yang bukan muhrim lo terus mau pake bikini segala. Lo jadi perempuan jangan jadi murahan dong. Pamer aurat."
"Eh apa lo bilang tadi?! Gue murahan?" Anya tersentak mendengar Artha menyebutnya murahan.
Artha menepuk dahinya. Kata 'murahan' benar-benar khilaf dia ucapkan karena saking kesalnya pada Anya yang susah ia nasehati.
"Sorry gue nggak bermaksud..."
Anya bangkit dari kursinya, wajahnya memerah seolah sedang menahan tangis.
"Gue benci elo sekarang. Jangan pernah ketemu gue lagi," ucapnya dengan suara tertahan sambil melangkah pergi meninggalkan Artha dan Arini yang tak bisa berbuat apa-apa untuk melerai keduanya.
"Tapi gue masih punya hutang sepuluh kali traktir makan siang ke elo, Nyak," Artha berucap lirih penuh penyesalan setelah Anya pergi.
"Kenapa jadi begini sih kak?" Arini menghela nafas memandangi Artha yang tampak diam mematung dengan tatapan kosong.
"Sumpah, aku tadi nggak bermaksud buat merendahkan dia, dek."
"Tapi nyatanya kak Artha udah melakukannya." Arini menatap Artha dengan tatapan prihatin.
Artha mengusap wajahnya dengan frustasi.
"Aku cuma ingin menjaga dia dari hal-hal buruk, dek."
Arini menatap Artha.
"Ternyata benar dugaanku. Kak Artha sebenarnya suka sama kak Anya," tukas Arini mengejutkan. "Kak Artha selama ini sengaja mendekati aku karna ingin membuat kak Anya cemburu bukan?" tambahnya tiba-tiba.
Artha tertegun menatap gadis cantik yang ia anggap polos ini. Artha seketika menyesal dan merasa bersalah bukan hanya pada Anya saja, juga pada Arini yang diam-diam ia manfaatkan sejak awal.
"Nggak usah dijawab kak, aku udah tahu jawabannya. Sana cepetan kejar kak Anya." Arini tersenyum lebar seolah tanpa dendam.
Artha bergegas berlari mengejar Anya. Meninggalkan Arini yang mendadak menyesal karena menyuruhnya segera pergi.
"Tapi jangan lupa bayar dulu makanannya dong kaaak…" Arini menghela nafas penuh sesal. "Gimana ini? Masa aku yang bayar semuanya?"